Kepada Kekasihku
Gadis Utara yang sendu.
Ingin aku ceritakan perihal gundah yang terus berdatangan belakangan ini. Gundah yang entah seperti tamu tak diundang.
Maukah kau dengar sejenak?
Dalam perjalananku menuju tempat yang jauh. Sesaat di perbatasan suatu negara. Di lereng pegunungan Tatra. Ada sebuah pondok kecil, atapnya dari ilalang. Hamparan sabana luas membentang. Pohon-pohon Oak berjejar serupa nyiur berbaris di pinggir pantai yang berada di depan kampung halamanmu.
Kamu tahu?
Di ujung sana ada sebuah pohon sedang berbunga warna-warni yang tidak bisa aku sebut satu persatu.
Tentunya ada warna merah yang paling kentara di antara yang lain. Merah yang benar-benar berani menampakkan diri. Warnanya Membias memancarkan keangkuhan akan jati diri. Tidak diragukan lagi. Ia memang tercipta sebagai pengingat akan dirimu.
Betapa tidak?
Di bawah pohon itu. Ada Tempat duduk yang teduh dan terbuat dari batu. Menancap begitu saja di dalam tanah. Aku percaya, batu itu memang berada di bawah rindang pohon berbunga itu sejak sedia kala. Tanpa ikut campur tangan manusia sedikit pun.
Dengan hamparan sabana yang luas. Angin gunung berdesir menuruni tebing menciptakan gemerisik dedaunan pohon-pohon, ilalang, pun rumput-rumput bergoyang.
Bisa kamu bayangkan. Aku berada di tempat itu tepat persis saat mentari pagi menampakkan diri. Arunika membias menembus cakrawala, segaris dengan ingatan akan dirimu. Cahaya indahnya membangkitkan aroma tanah yang lembab dan meneteskan sisa-sisa embun.
Kekasih.
Tempat itu aku tidak tahu namanya. Karena ketidaktahuanku, aku pun menyebutnya sebagai tempat kenangan.
Dari tempat yang jauh itulah aku merenungi perihal berita yang aku terima dari sebuah surat kabar. Duka dari tanah kelahiranmu. Kampung yang selalu kau sebut-sebut. Bahkan kau agung-agungkan sebagai muara segala kata-katamu.
Sesaat daun berjatuhan, pun bunga berguguran tepat persis di depanku. Di bawah pohon yang teduh. Aku memandang hamparan hijau bak permadani yang penuh impian. Tidak ada suara berisik orang-orang berbicara politik. Tidak ada riak-riak kampanye, pun obral janji-janji. Hanya ada suara angin dan kicau burung-burung.
Apa begitu juga dengan dirimu? Mungkin saat kau membaca surat ini, dirimu sedang berada di pesisir pantai sembari menikmati debur ombak, dan memandang perahu para nelayan dari kejauhan.
Jujur. Aku berpikir jika mengunjungi tempat ini, maka aku tidak akan terusik oleh apapun di luar sana. Gumamku ketika beranjak kemari dengan kereta express yang berwarna kelabu.
Gadis Utara, penyuka pantai
dan perayu yang ulung
Dalam sejarah peradaban manusia yang panjang. Membentang dari waktu ke waktu. Abad ke abad. Yang di bawahnya mengalir sungai-sungai air mata duka. Dan di muaranya memendung penderitaan dan keserakahan.
Adakah yang merampas merdekamu, kekasih?
Aku menangis tersedu-sedu ketika membaca surat kabar yang aku ceritakan ini. Betapa sekelompok orang membela ke-akuannya yang angkuh tanpa peduli nasibmu.
Apa kamu tidak tahu pesisir pantai tempat kita bermain dulu? Yang ada simpang jalan di dekat pohon Ketapang, ada Berugaq di bawahnya itu.
Ah. Mungkin kau lupa. Masih ingat tidak! Ketika sore hari. Saat pantulan matahari yang hendak tenggelam di balik gunung Agung yang cahayanya membias membentang menuju kedua bola matamu.
Aku yakin kamu pasti sudah ingat.
Waktu itu, kita Menikmati senja saat hari hendak berganti Magrib. Ada desah angin laut yang bersekutu menghadirkan senyummu di dadaku. Di matamu tercermin lanskap lautan luas yang lengkap dengan segala impian di dalamnya. Impian para nelayan yang hendak menuju pulang dari peraduan nasib.
Dari surat kabar itulah aku akhirnya menjadi tahu. Tempat-tempat yang pernah ada kenangan kita telah hilang. Pecahan karang-karang berserakan telah tertukar dengan batu-batu material bangunan.
Begitu kira-kira inti dari surat kabar yang menghadirkan sesak di dadaku.
Aku seharusnya tidak peduli. Apalagi hal semacam itu sudah bukan menjadi urusanku. Karena jelas, suaraku tidak didengar. Kata-kataku tidak se-ampuh rayuanmu kepadaku. Tetapi sekali lagi, aku tidak bisa untuk tidak sedih. Karena tempat itu adalah museum kenangan kita. Yang menyimpan lukisan wajahmu saat kita menikmati matahari tenggelam. Ada kenangan yang terus aku jaga. Jangankan melihatnya secara langsung. Membacanya saja dari surat kabar membuatku ingat tentang segala hal menyangkut dirimu, menyangkut kita.
Kekasih
Hal yang membuat nyeriku menyeruak hingga ke tulang-tulang adalah bau bacin dari popok-popok bayi dan sejenisnya yang tak aku ingat namanya. Tumpukannya berserakan menggantikan warna putih pecahan karang-karang yang selalu menjadi mainan ketika kita menikmati senja.
Meskipun dalam perjalanan pengembaraanku ke negeri yang jauh, berjarak denganmu tentu saja pilihanku secara merdeka. Dari jauh-jauh waktu, aku sudah memikirkan perihal perjumpaan kita di tempat tumpukan popok-popok bayi itu. Barang tentu, dirimu tidak sudi menikmati sebuah pertemuan dari jamuan rindu dibersamai oleh pemandangan tidak elok dan aroma bacin.
Bahkan katanya, dari surat kabar yang aku baca, ada banner-banner perihal perhelatan poliitk lima tahunan di berbagai tempat yang pernah kita singgahi dulu. Oleh karenanya, aku juga tidak mau menjamu temu di tempat-tempat itu.
Dari tempat nan jauh ini aku berbagi kabar kepadamu. Lewat tulisan yang entah apa masih sudi mau kau baca. Aku kirimkan kegelisahan sekaligus kerinduanku yang mengharu biru. Yang setiap waktunya membuatku merenung dan berpikir ulang tentang perpisahan. Meskipun semua ini tidak seabadi sampah-sampah yang aku ceritakan tadi. Butuh berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun untuk sampah bisa hilang.
Kamu bisa membayangkan betapa ketakutanku perihal itu semua. Pemandangan sampah-sampah popok-popok bayi dengan aroma bacinnya itu akan memburamkan lukisan wajahmu di ingatanku, di tempat itu. Di bawah pohon Pandan dengan hiasan serakan pecahan karang.
Untukmu.
Dari atas batu, tempat yang aku sebut di awal tulisan surat dan di sinilah aku memikirkanmu. Oleh karena warna merah menyala dari bunga pohon yang mengingatkanku akan pantulan matahari sore di bola matamu. Warnanya yang membias keberanian sejati dari seorang kekasih.
Adakah kau dengar suara jeritan kesedihanku? Kesedihan dari seorang yang sendiri.