Dulu saat masih menyelami dunia anak-anak, rasanya ingin segera beranjak menapaki dunia para orang remaja. Kemudian, akan naik tingkat lagi menuju orang dewasa. Lalu, akan kembali lagi ingin menjadi bayi yang tak tahu apa-apa.
Memang hidup selabil itu, ya? Kadang ingin A dan B pada waktu yang bersamaan, yang mana itu mustahil untuk dilakukan.
Seperti halnya aku, manusia amatir yang mencoba menulis tapi kurang terlatih menulis. Terkadang orang menulis untuk menyampaikan ide gagasannya, menggambarkan imajinasinya, mencari pundi-pundi uang untuk mengisi dompet keringnya, tapi aku memulai tulisanku atas dasar ingin segera sembuh dari kehidupan yang dulunya menyakitkan.
Kenapa dulu? Memang sekarang sudah tidak? Ya, masih ada sedikit-sedikt, sih. Tapi, tentu saja tak sepedih dulu sebelum akhirnya memutuskan untuk menulis. Tak terbesit sekecil pun ingin dikenal orang. Bahkan untuk melanjutkan menulis setelah menemui kata “sembuh” saja, belum ada bayangan.
***
Oke, aku mulai dengan judul yang terpampang di awal. Menemui aku yang aku adalah salah satu yang menjadi dasarku menuliskan sebuah buku. Sebuah novel yang menceritakan perjalanan menemui kesembuhan dengan penerimaan dan keikhlasan bahwa duniaku memang harus berjalan sebagaimana jalan yang telah dibuat oleh Tuhan. Jika itu pedih, ya memang seharusnya seperti itu.
Dalam diri kita, tidak hanya ada aku yang punya nama Pra, Budi, Siti, ataupun nama-nama lainnya yang kalau disebutkan satu dunia, tak cukup lembar untuk menuliskannya. Aku yang memiliki nama ini adalah aku yang memiliki identitas saja untuk dikenal. Dia bukanlah aku yang suka main musik. Dia bukanlah aku yang suka menari. Dia bukanlah aku yang suka menulis. Pun dia bukanlah aku yang aku.
Bingung? Sepertinya tidak. Karena sepertinya yang mampir di website ini para manusia-manusia cerdas yang suka merendah untuk melangit. Jadi, untuk memahami hal seperti itu, hanya secuil dari kuku hitam kalian yang jarang dipotong, kan?
Malam itu, entah kenapa rasa hati seperti kosong saja. Kesedihan menumpuk sampai tak tahu sedih yang sebenarnya itu disebabkan oleh apa. Hanya bisa merenung berbaring di atas kasur sprei merah marun.
Kejadian pertama dimulai dengan suara yang terus mengganggu tak tahu datangnya dari mana. Kalau itu dari luar diriku, mungkin akan terdengar dari telinga. Tapi, ini tidak. Ia seperti datang dari dalam diri, tetapi dengan nada suara yang berbeda-beda. Karena tentu saja aku mengenal suaraku sendiri seperti apa.
Ada 3 suara di sana. Berdasarkan pemahaman sempitku ini, itu adalah suara satu wanita dewasa, satu pria remaja, dan satu gadis kecil yang suaranya masih cempreng-cempreng layaknya anak kecil yang belum matang suaranya.
“Lagi mikirin apa?” tanyanya.
Dengan sigap aku menjawab, “Nggak tahu. Bingung,” ucapku.
“Kenapa sering melamun?”
“Cerita aja sama kita.”
“Dia sebenarnya baik kok.”
“Ah, udahlah nggak usah dipikir.”
“Kamu akan baik-baik aja.”
Ya, kurang lebih seperti itulah percakapan yang muncul dalam benakku sendiri dan dengan polosnya aku menjawab pertanyaan itu. Sampai pada suatu titik di mana aku mempertanyakan, “Mereka ini siapa?” Hanya, beruntungnya ia tak muncul sebagai suara negatif layaknya suara-suara yang sering muncul pada orang-orang yang mengidap Skizofrenia.
***
Hari demi hari terus dihantui oleh suara mereka. Ada rasa senangnya dan rasa takut juga. Senangnya karena tak lagi merasa kesepian. Takutnya kalau keterusan, akan berakhir disangka orang gila karena ngomong sendirian.
Kemudian, aku putuskan untuk tak lagi menggubris suara itu ketika muncul. Mencoba mengalihkannya dengan mendengar musik atau sekadar membaca. Apakah berhasil? Alhamdulillahnya itu berhasil.
Namun, kejadian aneh lagi muncul dua atau tiga hari setelahnya. Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya menjalankan kewajiban menunaikan sholat lima waktu, kan? Ya, pada saat itu tepatnya sholat Ashar. Aku fokuskan pikiranku pada diriku dan membangun pemahaman sedang berada di hadapan Tuhan sebelum akhirnya melakukan takbiratul ihram.
Tiba-tiba saja aku melihat dia. Sosoknya kecil, menunduk, tanpa senyum, tapi terlihat tenang sekali. Dia jauh lebih fokus daripada aku. Aku berusaha fokus kembali karena ingin memastikan bahwa mungkin yang aku lihat tadi hanya sebuah imajinasi yang tak penting.
Siapa sangka bahwa meski berkali-kali aku mencoba fokus, aku tetap saja melihatnya. Ia berada dalam diriku. Jika digambarkan seperti dalam diri ini hanya sebuah ruang kosong yang tak ada apa-apa. Kemudian, ada layer dari sosok dia di dalamnya. Aneh? Tidak masuk akal? Mengada-ada? Ya, sama seperti ucapan teman-temanku padaku saat aku mencoba menceritakannya.
Setiap kali aku termenung dan memfokuskan segalanya pada diriku, maka yang aku temui adalah dia. Penuh dengan ketenangan, tapi ada rasa sedih di sana. Dianggap halusinasi? Ya, aku bahkan sempat berpikir seperti itu. Punya sixth sense? Ini yang nggak masuk akal, karena bahkan aku tak punya keturunanan magis seperti itu dalam keluarga besarku.
Dari situ aku mencoba banyak membaca artikel tentang kesehatan mental. Entah bisa berapa kali sehari menghabiskan waktu berselancar di dunia maya untuk sekadar ingin menemui jawaban.
Akhirnya, aku menemukan sebuah artikel yang membahas tentang Innerchild. Di situlah aku mulai belajar memahami dia siapa dan kenapa dia ada. Dari situ pula aku semakin giat untuk belajar menyelami diriku sendiri daripada menyelami orang lain untuk mencela. Bukankah itu kebiasaan kita sebelumnya? Jika iya, maka aku sarankan untuk menghentikan itu semua.
Tak ada manfaatnya mengurusi hidup orang lain, sebab diri kita sendiri jauh lebih berhak untuk diurus. Bukankah untuk sekadar sowan menemui diri kita sendiri saja kita jarang melakukannya? Bukankah kita lebih sibuk mengetuk pintu orang lain untuk mengenal dia daripada mengenal diri kita?
Sejak kejadian itulah aku mencoba untuk menulis. Karena tidak semua rasa bisa diucapkan dengan kata-kata. Dan tidak semua telinga ikhlas mendengarkan kisah hidup kita.
Dengan menulis aku me-recall luka-luka lama yang ada dalam benak. Aku tuangkan dalam bentuk cerita dan menyamarkannya di balik sosok yang kuberi nama. Dari situ aku seperti melepas segalanya. Memandang lukaku dari perspektif yang berbeda. Hingga penerimaan dan keikhlasan dari setiap langkah dan kisah yang terlampaui bisa melebur dengan ketenangan.
Itulah sebabnya, menulis bisa menjadi obat dari luka yang kita pendam. Menjadi obat dari overthinking kita yang semalam suntuk mengusik pikiran. Menjadi dunia baru yang bisa kita bentuk dalam frasa-frasa indah. Jadi, siapa pun kalian yang sedang dipatahkan hatinya karena cinta, orang tua, harapan, ataupun cita-cita, tidak ada salahnya mencoba untuk menulis. Jangan sampai kegalauanmu hanya membuang waktumu sia-sia. Mending buat karya dengan menulis di metafor misalnya. [penyunting: “ciye promosi, makasih lho ya…heuheu.”]
Comments 1