Ternyata betul kata orang-orang, bahwa setelah kematian akan terus ada kehidupan. Bahkan kematian saya, yang tempo hari tersuratkan dengan judul “Akhirnya Aku Mati!”, seolah-olah membikin saya tersadar. Membikin perenungan yang kurang lebih menyimpulkan bahwa bila saja saya—wadah dari kebodohan saya sendiri—telah mati, bukan berarti kebodohan-kebodohan itu tak ada kembali.
Nilai-nilai tidak akan pernah mati. Entah baik atau buruk, keduanya punya potensi untuk terus ada atau sekadar pudar. Atau bisa juga terus-menerus ada dengan kemasifan jumlah pelakunya. Kemunafikan akan terus berlanjut, cacat nalar tidak kunjung memudar, namun mufakat untuk kebaikan semakin mbulak warnanya.
Dengan semakin berkembangnya dunia per-packaging-an utawa perbungkusan produk, agaknya berbanding lurus dengan cara manusia membungkus maksud-maksud bajingannya. Tléthong dibungkus dengan lembaran emas, untuk menarik mata-mata kedonyan dalam busuknya tipudaya. Sedangkan air zam-zam dibungkus dengan plastik bening ukuran 1kg, yang justru tidak memunculkan keyakinan orang untuk mempercayai air di dalam plastik itu zam-zam atau air PDAM.
Mbok ayo laahh, kita main fair saja. Kalau memang mau mbajing, ya jalan saja dengan pethentang-pethenteng, sirahé didhangakno, dan segeralah membajingi semua orang. Ndak perlu kepalanya nunduk-nunduk, berlagak sopan, membaik-baikkan orang lain di depannya, tapi menebar virus-virus benci di dalamnya. Buat apa? Kurang enak makananmu? Kurang cocok rokokmu?
Ya tapi mau bagaimana lagi, selain sambat dan misuh-misuh qouliyah maupun bathiniyah. Setidaknya masih ada harapan untuk tidak buru-buru menceburkan diri dalam fenomena bungkusan itu tadi. Masih ada niatan untuk plas-plos dalam bermaksud, entah baik atau buruk. Dengan terus berusaha meminimalisir keburukan itu, tentunya.
Kembali ke babagan pasca-kematian saya tadi, sepertinya saya menemukan pijakan-pijakan reborn untuk kehidupan saya selanjutnya. Dengan bekal buku-buku yang sedikit berdebu, saya me-restart apa saja yang harus saya restart. Software yang bermukim di jasad saya ini agaknya sudah versi lawas, teramat lawas. Belum kunjung ter-update.
Sementara buku-buku itu sedang saya eja pelan-pelan, dengan software yang masih belum karuan, saya lengkapi dengan kehadiran pemusik-pemusik andalan saya. Saya membuka lebar-lebar pintu software untuk memilih dan memilah mana saja apa-apa yang harus diambil atau disimpan dulu. Dan yak, John Mayer kini jadi pijakan baru saya. Bersamaan dengan terdengarnya Dewa 19 dan Pamungkas, yang belum lama ini saya telusuri secara intensif nilai-nilai karyanya.
Di kenduri cinta yang diwadahi metafor.id kali ini, saya ingin fokus dan membatasi jarak pandang ke salah satu lagu dari si John Mayer. Bukan Gravity atau Slow Dancing in A Burning Room yang memang saya sendiri memasukkannya dalam daily playlist. Bukan pula New Light yang membikin para pendengar lagu itu merasa paling “Mayerism” atau penganut John Mayer, atau sebut saja fans berat John Mayer. Bukan. Melainkan I Guess I Just Feel Like, lagu dengan runtime 285 detik yang dirilis di tahun 2019 silam.
Meski I Guess I Just Feel Like awalnya dirilis single, di 16 Juli nanti bakal di-sewadah-kan dalam album “Sob Rock”, album yang akhirnya rilis setelah 4 tahun dari album terakhirnya, The Search of Everything (2017). Meski di lagu ini chord-chord-nya tidak begitu rumit, buat saya John Mayer tetap nggathéli. Dengan Martin D-45 dan Epiphone Casino, dibikinlah kedua gitar itu untuk meratap sambil berharap. Meratap sambil berharap? Ya memang, bagi saya. Coba dengar saja lagunya dengan headphone, dan akrabilah kesunyianmu.
***
“I guess I just feel like
I guess I just feel like
Nobody’s honest
Nobody’s true
Everyone’s lying
To make it on through
I guess I just feel like
I’m the same way too”
Tiada orang yang sepenuhnya mendedikasikan kejujuran dalam tindak-tanduknya. Pun dengan kemunafikan, selalu terbawa-serta dan menjadi polusi dari segarnya udara Subuh. Semua pembohong dengan kelicikan, keberanian dan kebodohannya sendiri. Ah, untuk mencapai apa-apa sepertinya harus bersedia menjalankan apa-apa saja. Tak perlu payah-payah memikirkan birokrasi dan tata cara berkebaikan, kalau jadi bajingan saja bisa dengan mudah dijalankan.
“Hei, berbohong itu butuh usaha, tidak mudah!” Katanya. Jalan pintas mana yang kamu ambil itu, Dul, hingga kanan-kiri disasak, dibabat, dan dihancurkan tanpa peduli kerusakan orang lain? Sebelum ke orang lain, bagaimana dengan dirimu sendiri? Puas dengan segala penghancuran dan pengrusakan itu?
Menyalah-nyalahkan sepertinya tak cocok buatku, sebab aku bukan orang yang punya kuasa atas gerak-gerik kewajiban orang lain. Maka, aku juga mengakui bahwa menghindari agar tak munafik itu lebih sukar kulakukan daripada melakukannya.
“I guess I just feel like
Good things are gone
And the weight of my worries
Is too much to take on”
Sepertinya kita ini menjemur kebaikan terlalu lama. Begitu lama. Hingga kebaikan itu memudar warnanya. Mbulak mangkak karena kesengajaan kita yang keterlaluan lama menanggalkannya. Atau mungkin kebaikan itu lari tunggang-langgang dari diri kita, sebab kita lebih nyaman menunggangi kendaraan dengan onderdil dan kecanggihan yang luar biasa keburukannya.
Dan berat beban dari kekhawatiran itu menumpuk, menggunung tinggi, sampai-sampai kita wegah atau merasa tak mampu untuk memikulnya. Wis jan tenan, cek nemen e awak dewe iki rek.
“I think I remember
The dream that I had
This love’s gonna save us
From a world that’s gone mad
I guess I just feel like
What happened to that”
Setitik ingatan muncul kembali di kesadaranku. Ini tentang mimpi, yang memang kusebut mimpi karena tampaknya amat sulit untuk mewujudkannya. Mungkinkah cinta akan menyelamatkan kita dari tabir-tabir kepalsuan ini? Dari keangkuhan kita yang dengan bangganya lebih memilih menjilati tléthong ketimbang menyesap zam-zam? Dari bungkus-bungkus yang seolah-olah mewah tapi isinya bubrah?
Kebengisan dunia dan seisinya bisa hilang dengan hadirnya cinta? Mimpi! Mbél! Telék! Orasi besar-besaran tentang cinta tapi penyampaian dan kelakuannya nol puthul. Kosong blong. Babar blas tidak merepresentasikan cinta itu sendiri. Sekali lagi, telék!
“I guess I just feel like
The joke’s getting old
The future is fading
And the past is on hold”
Keseriusan kita menggarap dunia kok nampaknya cuma lelucon. Konyol bahkan tolol. Mungkin memang kita terlalu banyak nonton konten komedian di medsos, hingga gumedhé bahwa kita ini penikmat lelucon yang tak sama sekali disadari sedang melakukan lelucon.
Ah, andai saja aku kenal para malaikat penghuni langit, segeralah ku-japri, “Sugeng sonten, Malaikat, ada lelucon apa hari ini yang njenengan saksikan?” Mungkin saja beliau hanya menjawab hal yang terkonyol dan tertolol. Mungkin juga menjawab agak panjang via voice note WhatsApp. Atau paling parah, bisa saja beliau memblokir kontak saya karena tak perlu naik ke langit untuk melihat kekonyolan manusia di bumi. Wong di sekitar juga sak mbrek banyaknya.
Dengan lelucon yang terlakukan tanpa sadar dan kebaikan yang memudar seiring waktu, maka pudarlah pula masa depan yang indah-indah itu. Yang dijanjikan para pemimpin dan para pemilik kuasa atas kewajiban kita. Masa lalu yang baik-baik juga tertahan nilai-nilainya. Digantung dalam kesukaran kita untuk terlihat apa adanya.
“But I know that I’m open
And I know that I’m free
And I’ll always let hope in
Wherever I’ll be
And if I go blind I’ll still find my way
I guess I just felt like
Giving up today”
Tapi setidaknya aku tahu, aku bebas dan selalu membuka nilai-nilai apa saja yang pantas untuk dipijaki. Begitu pula dengan kalian. Kalau saja tidak bisa menyudahi kekonyolan itu, ya kuharap kita ini selalu terbuka akan harapan-harapan. Dengan tetap menyandarkan harapan pada sepantas-pantasnya tempat untuk berharap. Setidaknya jika sudah buta mata kita dari melihat harapan, masih ada yang menuntun kita menemukan jalan.
****
Kurang mesra kah cara John Mayer me-lullaby-kan kita dalam hidup yang begini-begini saja? Dengan rintihan dan teriakan Epiphone Casino-nya di sepanjang bagian coda?
Nggathéli memang, not-not yang bunyi via jemari John Mayer semakin memberi saya harapan dari segala kematian. Afu kowe, John! Jingan!!
Yogya – Tuban, Juli 2021