Aturan yang berbunyi “perempuan selalu benar, lelaki selalu salah” agaknya sudah sangat mendarah-daging dalam setiap diri perempuan. Para perempuan memang tidak mengikrarkannya seperti Sumpah Pemuda. Namun, mereka nyata-nyata mengimplementasikannya pada tiap langkah kaki, tiap kedipan mata, tiap hembusan napas, tiap denyut nadi. Tingkat ketaatan perempuan pada aturan tersebut bahkan melebihi tingkat ketaatan mereka pada orang tua. Dilihat dari realitas sosial yang ada, aturan termaktub itu nyatanya semakin melekat ketika seorang perempuan telah menyandang status sebagai “emak”.
Contoh dari hal itu bisa kita lihat di jalanan. Ketika ada seorang emak-emak yang menyalakan lampu sein kiri tapi beloknya ke kanan, kemudian si emak tersebut tertabrak oleh pengendara di belakangnya, maka sudah bisa disimpulkan siapa yang salah (lebih tepatnya ‘disalahkan’). Nggak hanya di jalanan, di rumah pun berlaku aturan yang sama. Misal, ketika kita nggak sengaja nabrak gelas yang ada airnya, pasti kita (anaknya) yang dimarahi. Tapi ketika yang nabrak gelasnya emak, kita juga yang dimarahi.
Berdasarkah hal tersebut, maka generalisasi bahwa semua laki-laki itu sama, perlu dihadirkan penyeimbang. Sebab, faktanya semua perempuan itu juga sama. Iya, sama-sama nggak pernah mau dekat dengan kata ‘salah’ meski jelas-jelas dirinya salah.
Dalam buku “Seni Memahami Wanita” yang ditulis oleh Claudia Sabrina dipaparkan bahwa wanita/perempuan adalah makhluk yang kompleks. Misal, perempuan berkata bahwa ia ingin A. Ketika lelaki telah memberikan A, perempuan tadi tiba-tiba berubah pikiran dan menginginkan B. Saat lelaki memberinya B, si perempuan berkata bahwa A ternyata lebih baik. Jelas laki-laki akan kelimpungan menghadapi sikap tersebut. Belum lagi ujung-ujungnya si perempuan memberi cap pada si lelaki bahwa ia tidak peka. Lalu di mana kata ‘maaf’ dari si perempuan? Hampir mustahil itu terucap.
Meski demikian, bila kita cukup jeli dalam memperhatikan, kita akan menemukan momen-momen dimana para para perempuan mengucap kata ‘maaf’. Ucapan ‘maaf’ tersebut terbilang tulus, dan pada momen-momen tersebut si perempuan nggak menyalahkan pihak lain―terutama laki-laki. Berikut beberapa momen perempuan minta maaf dengan tulus dan dari lubuk hati yang paling dalam.
- Menolak Laki-laki yang Nembak Dia
Yap! Di momen ini pasti terucap kata ‘maaf’ dari lisan perempuan. Kata ‘maaf’ tersebut biasanya diikuti baris kalimat yang bervariasi, tergantung seperti apa sosok si lelaki yang nembak. Bila si lelaki adalah seorang good boy, maka si perempuan akan berucap, “Maaf! Kamu terlalu baik buat aku”. Alasan tersebut sebenarnya jauh dari kata rasional. Mayoritas perempuan pasti ingin punya suami yang baik, ingin anaknya nanti punya ayah yang baik. Jadi, alasan tersebut bisa dibaca sebagai upaya si perempuan untuk menutupi ketidaksukaannya pada si lelaki, sekaligus ia (sepertinya) berusaha untuk tidak menyakiti hati si lelaki tersebut terlalu dalam.
Nah, beda lagi ketika si lelaki adalah sosok yang asyik di mata si perempuan. Ucapan penolakannya akan jadi begini, “Maaf! Kita temenan aja”. Ini merupakan ungkapan tidak langsung dari si perempuan supaya laki-laki tersebut berkenan menjadi badut. Terdengar jahat dan menyakitkan? Sudah tentu, brader! Tapi bagaimana pun kita (para laki-laki) harus sadar akan hal tersebut.
Permintaan maaf dari perempuan―dalam kasus ini―yang paling menyakitkan adalah, “Maaf! Aku sudah punya pacar”. Bisa jadi, permintaan maaf tersebut hanya sebuah pengalihan isu supaya si lelaki tidak lagi mendekatinya. Padahal belum tentu perempuan tersebut beneran udah punya pacar. Dengan kata lain, perempuan tersebut ingin si laki-laki segera menjauh dari hidupnya, tapi ia membungkus dan membumbuinya dengan kata ‘maaf’.
- Sidang Skripsi
Kalau ini jelas harus minta maaf dengan tulus dan mengakui kesalahan. Sebab jika tidak, urusannya bisa makin runyam. Kecuali jika perkara yang dianggap salah oleh dosen penguji masih bisa dilawan dengan argumen yang logis, itu tidak apa-apa. Permintaan maaf perempuan di momen ini merupakan satu metode supaya dirinya tetap aman. Tanpa permohonan maaf, tidak menutup kemungkinan dosen penguji akan menilai mereka sebagai mahasiswi yang nihil tata krama. Dampak fatalnya adalah dosen penguji tidak akan meluluskan mereka. Oleh seba itu, demi bucket migi-migi dan instastory, eh! Maksud saya demi bakti pada orang tua dan masa depan yang lebih baik, para perempuan rela mengikis egonya untuk bisa mengucap kata ‘maaf’ dan mengakui kesalahannya saat sidang skripsi.
- Cerita Fiksi
Cerita fiksi di sini bisa berupa cerita dalam cerpen/novel, bisa juga berupa sinetron. Yang paling dominan dan secara gamblang menampilkan perempuan minta maaf sih, ya, di sinetron. Bila kita memperhatikan sinetron-sinetron yang tokoh utamanya seorang perempuan (Inayah, misalnya), pasti kita akan melihat sosok si tokoh utama yang sering sekali minta maaf dan mengakui kesalahan, padahal dirinya nggak salah. Tentu saja si tokoh utama perempuan tersebut mengucap ‘maaf’ dengan tulus. Tulus demi memancing emosi penonton supaya mereka bersimpati pada dirinya. Kalau nggak gitu, ya nggak laku dong sinetronnya.
Mungkin ulasan dari saya cukup segitu saja, daripada nanti saya dibombardir oleh kaum cewek, apalagi kaum emak-emak. Nah, kalau menurut kalian, di momen apalagi perempuan berani meminta maaf secara tulus?[]