Diam dalam keramaian itu perilaku yang anomali. Bahkan seseorang yang introvert sekalipun, pasti akan bersuara ketika berada dalam sebuah pesta yang ramai. Setidaknya itulah logika yang saya yakini.
Sama halnya dengan Prabowo Subianto. Saat suasana sedang gaduh, kadernya ada yang bikin ulah, pemuka agama yang mendukungnya saat pilpres sedang terkena masalah hukum, ormas pendukungnya menjadi korban pelanggaran HAM, Pak Prabowo Subianto tetap tidak bersuara.
Perilaku ini berbeda dengan beliau yang dulu. Prabowo yang dulu adalah sosok yang selalu terusik ketika ada distorsi dalam kebijakan, ada disfungsi dalam penegakan hukum, selalu ceriwis meski tetap tegas menanggapi problem yang dihadapi oleh bangsa. Bahkan Beliau dulu yang terdepan dalam membela seorang Ratna Surempaet ketika tersandung masalah penganiayaan. Meskipun pada akhirnya penganiayaan itu ternyata sebuah drama dan gimmick yang dibuat-buat.
Kalau masalah drama saja begitu membuatnya berapi-api, kenapa sekarang beliau hanya diam ketika ada pelanggaraan HAM yang menimpa Ormas yang mendukungnya dulu? Walaupun proses pencarian fakta tetap berlangsung, tapi ke-enam orang tersebut benar-benar meninggal.
Apakah fungsi Menteri pertahanan itu hanya seputar militer? Hanya seputar menjaga wilayah? Hanya persoalan persenjataan? Dan tidak memperhatikan ketahanan Hak Asasi Manusia seorang warga Negara? Saya pribadi sungguh bertanya-tanya soal itu.
Kenapa beliau hanya berbisik di telinga sang adik, ketika ada kader partainya yang melakukan korupsi? Bukannya dulu beliau begitu tegas ingin membrantas korupsi. Ingin menyeret pelaku korupsi dengan tangannya sendiri jika pelakunya dari kader partainya sendiri?
Ke mana suaranya saat Habib Rizieq yang dulu membela dan mendukungnya terkena kasus hukum? Masih bersemayam di dalam ingatan, bagaimana beliau begitu mesra dengan Habib Rizieq, sampai-sampai beliau berkata akan menjemputnya sendiri jika memenangkan pilpres, tapi ketika sang Habib telah tiba di Indonesia, kenapa tidak ada penyambutan dari beliau, walau hanya sekadar ucapan selamat datang. Semudah itukah beliau melupakan seorang Habib Rizieq?
Perilaku itu membuat banyak orang bertanya-tanya, beliau ini kenapa, kok jadi pendiam begini? Apa yang membuatnya terkesan acuh tak acuh dengan kondisi saat ini?
Beliau, dulu begitu mengkritik gaya pemerintahan yang nice guys, gaya pemerintahan yang lembek saat diplomasi, tapi kenapa saat ini beliau malah mempraktikan itu?
Apakah saat ini, tanggung jawab untuk menyinyiri pemerintah sudah dilimpahkan kepada seorang Fadli Zon saja? karena juru bicara beliau, Danhil Azhar pun begitu melempem akhir-akhir ini. Hanya seorang Fadli Zon yang ‘masih’ setia terus-terusan melakukan rong-rongan kritikan. Meskipun kadang kritikannya tidak subtansial. Kasihan betul dia, berjuang mengkritik sendirian.
Belakangan, muncul pembelaan atas diamnya Prabowo dari seorang Rizky Irmansyah yang seorang kader partai Gerinda. Dia memposting sebuah foto yang bergambar dirinya dengan Prabowo, sambil bertuliskan caption: “Diam bukan berarti tidak memperhatikan. Diam bukan pengkhianatan”. Statement seperti ini hanya dalih karena sejatinya Pak Prabowo memang tidak ingin berbicara.
Apapun itu, patut diyakini, bahwa perilaku seseorang bisa berubah, meski perubahan itu terkesan anomali dan terkesan dipaksa oleh lingkungan. Apalagi dalam dunia politik, semuanya begitu cair, begitu fleksibel.
Terlebih status Menteri yang disandang oleh Pak Prabowo menjadi segel yang mengawasi setiap gerak-gerik dan statement-nya terkait sebuah isu. Ancaman reshuffle bisa menghantui ketika beliau berusaha membela ataupun bersimpati dengan oposisi.
Diamnya Pak Prabowo memberikan kita selaku rakyat jelata tentang 3 hal penting. Pertama, bahwa macan yang ganas pun, giginya akan ompong juga jika berada dalam ekosistem oligarki. Gigi taringnya akan keropos oleh desakan lingkungan elite–elite pemerintah. Gigi gerahamnya akan berlubang oleh manisnya kursi kekuasaan.
Kedua, Diamnya Pak Prabowo adalah karena telah dijinakan oleh seorang ‘opung’ Luhut Binsar Panjaitan. Sisi intimidatif sosok Pak Luhut membuat seorang Pak Prabowo lebih memilih diam, daripada di-reshuffle dan posisinya nanti malah digantikan oleh Pak Luhut?
Serta yang ketiga, boleh jadi, rongrongan saat oposisi dulu cuma gimmick dan drama belaka. Cuma gertakan seseorang yang ingin mencicipi kekuasaan. Ketika mendapat kekuasaan, atau minimal menjadi bagian dari kekuasaan, idealisme tentang keadilan, kesejahteraan yang dahulu digaung-gaungkan telah larut ke dalam genangan kepentingan. Karena sejatinya, meski di masa lalu berada dalam barisan terdepan oposisi, beliau tetap soerang elite dari kalangan oligarkis juga.[]