slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Kriminalitas Jalan Pintas Keterdesakan - Metafor.id
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sunday, 1 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi Cangkem

Kriminalitas Jalan Pintas Keterdesakan

Muhammad Aziz Rizaldi by Muhammad Aziz Rizaldi
7 December 2021
in Cangkem
0
Kriminalitas Jalan Pintas Keterdesakan

https://i.pinimg.com/originals/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Siapa yang tak tahu kriminalitas? Pasti semua orang pernah mendengar kata itu. Fenomena kriminal akhir-akhir ini meningkat. Pandemi COVID-19 menjadi faktor utama terbesar terjadinya hal tersebut. Menurut catatan Polri per 18 Mei 2020 selama masa pandemi angka kriminalitas naik 7,09 persen. Perampokan, pencurian, dan penjambretan berseliweran di mana-mana. Apalagi seluruh pekerjaan sangat susah untuk dicari. Bahkan banyak sekali orang yang telah mendapatkan pekerjaan namun di-PHK. Apa lagi yang dijadikan alasan kalau bukan pandemi ini? Tidak hanya rakyat kecil yang merasakan. Mereka yang usahanya tergolong sudah berjalan saja banyak yang mengalami kerugian.

Berita kriminalitas sudah terpampang dengan jelas di berbagai media, di smartphone, sampai di otak kita tentunya. Jendela kriminalitas menjadi catatan merah di negara ini. Mereka yang tergolong mampu memecat karyawan-karyawannya sebagai jalan pintas. Sedangkan mereka yang kurang mampu menggunakan jalan kriminal sebagai pintu keluarnya.

Sungguh sangat membuat hati terisak pilu. Sebenarnya pemerintah sudah berupaya untuk memberi bantuan. Namun, masih banyak yang belum menerima atau salah sasaran. Itulah yang membuat mereka berani mencuri, menjambret, dan merampok. Pada hari-hari sebelum adanya pandemi saja sudah begitu banyak. Intinya pandemi ini menjadikan semua lapisan menjadi korban.

Sastra yang Mencoba Mengerti Keadaan

Karya sastra memang sudah menjadi media mengekspresikan keadaan. Karya sastra tidak lahir dari bualan-bualan semata. Namun, karya sastra dilahirkan oleh mereka yang peduli dengan keadaan. Sastrawan berusaha untuk memotret keadaan di sekitarnya. Maka dapat dikatakan bahwa karya satra merupakan sebuah potret zaman. Sebagai potret zaman, karya sastra akan terus abadi dan tidak akan hilang dimakan zaman.

Dalam sebuah karya sastra, pengarang berusaha untuk menghadirkan isu-isu sosial dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra disisipi dengan situasi dan kondisi lingkungan dan masyarakat. Khususnya keadaan lingkungan dan masyarakat tempat sebuah karya sastra dikarang. Karya sastra menjadi sebuah alat untuk mengungkapkan gagasan-gagasan kritis pengarang. Banyak sekali karya sastra yang berupa kritik situasi dan kondisi lingkungan ia diciptakan.

Cerpen, sebagai salah satu bagian dari karya sastra, dapat mencerminkan masalah-masalah sosial berkaitan dengan isu sosial terutama kriminalitas. Tak terhitung lagi pengarang Indonesia yang mendasarkan isu kriminal sebagai dasar sebuah karya diciptakan, salah satunya adalah Hilmi Faiq. Dalam sebuah karyanya yang berjudul Seorang Ayah yang Mencemaskan Mimpinya, Hilmi mencoba mengangkat topik kriminalitas. Dalam karyanya Ia mencoba menggambarkan keterdesakan Aku dalam kondisi pandemi yang membuatnya nekat memilih kriminalitas sebagai jalan pintas.

Menelisik Karya Hilmi Faiq yang Dijadikan Kritik Sosial (Kriminalitas)

Lewat karyanya yang berjudul Seorang Ayah yang Mencemaskan Mimpinya, Hilmi Faiq mencoba menggambarkan mengkritiki keadaan sosial. Sudah patut diketahui bahwa karya sastra kerap kali berasal dari kritikan-kritikan yang digubah oleh pengarang. Hilmi Faiq mencoba menggambarkan peliknya kehidupan rakyat miskin di masa pandemi. Melalui tokoh utama, yaitu Ayah (gambaran keluarga miskin) berusaha memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. Seorang Ayah yang hanya berpangku tangan menunggu orang memperkerjakannya.

Seorang buruh tani yang bekerja sesuai dengan perintah pemilik lahan. Dalam kondisi seperti ini setiap orang tentunya berpikir dua kali untuk mengeluarkan uang yang banyak. Juragan tanahnya tidak menyewa orang karena ingin menghemat. Orang-orang saat ini merasakan paceklik yang mencekik.

Sholeha saat ini sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dia tak bisa sekolah karena tidak mempunyai gawai. Hal sepele, bukan? Namun, gawai saat ini sudah seperti bagian hidup semua orang. Ayah ingin menyekolahkan Sholeha sampai dia menjadi orang. Sholeha satu-satunya harapan keluarga ini. Sehingga Ayah berusah keras untuk membelikan gawai. Namun, apa daya? Kondisi begitu mencekik, kantong kosong tak akan mampu membeli gawai. Hingga akhirnya Ayah memberanikan diri untuk mencuri gawai di salah satu toko. Namun, apesnya, ia ketahuan dan lantas diamuk massa.

Saat-saat genting seperti saat ini angka kriminalitas naik drastis. Orang yang menganggap dirinya kurang mampu berani terjun ke lembah hitam untuk bertahan hidup. Namun, apa salahnya mereka, Si Rakyat kecil mencoba melawan nasib. Sebuah takdir Tuhan yang memaksa untuk tetap dijalani. Mereka hidup seperti dalam penjara, penjara kesengsaraan. Banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi tapi apa daya? Mereka tak mampu memenuhi itu dan terpaksa mencari jalan pintas. Jalan pintas itu adalah perilaku kriminal, sesuatu yang tak asing bagi mereka. Rakyat kecil sangat rentan untuk melakukan kriminalitas. Mereka beralasan tidak mampu mencari makan melalui jalan halal.

Laki-Laki yang Bertanggung Jawab dengan Jalan yang Salah

Telah menjadi kodratnya seorang laki-laki untuk bekerja keras. Laki-laki normal hidupnya hanya diisi untuk bekerja dan malam hari digunakan untuk beristirahat. Yang dimaksudkan dengan laki-laki normal adalah mereka yang bertanggung jawab sebagai mana mestinya. Karena di sekitar kita masih banyak laki-laki yang menganggur, mengandalkan istrinya yang bekerja di PT. Kerjaan laki-laki yang seperti ini hanya mengasuh anak, jika sudah punya anak, dan hanya mondar-mandir bersama teman-temannya. Fenomena seperti itu disebabkan oleh pernikahan dini, pernikahan yang dilakukan tanpa kesiapan fisik dan rohani. Tapi, banyak juga yang menganggur karena keadaan seperti yang digambarkan Hilmi Faiq dalam karyanya.

“Sebagai buruh tani, upahku tak pernah bisa menggapai harga HP. Pernah aku tanya harga HP ke sebuah toko di kota. Yang paling murah, harganya setara dengan upahku satu bulan setengah bekerja. Itu baru terbeli jika kami sekeluarga berpuasa. Kemungkinan bisa beli HP makin kecil karena sejak empat bulan yang lalu sudah jarang pemilik lahan menyewa tenagaku untuk menanam atau memanem. Musim sedang tak bagus dan mereka juga mengurangi pengeluaran akibat pandemi. Selama bisa dikerjakan sendiri, mereka tidak bakal menyewa kami, para buruh tani.” (SAMM, 2020).

Pengarang berusaha merefleksikan orang-orang di sekitarnya yang tidak dapat bekerja karena sedang tidak dibutuhkan tuannya. Ia menjadikan tokoh Aku yang bertindak sebagai kepala keluarga sebagai cerminannya. Aku yang hanya mengisi harinya sebagai buruh tani yang mengandalkan tuan tanah, ketika tak dibutuhkan ia menganggur.

Aku yang mempunyai seorang anak perempuan, Soleha namanya. Soleha masih sekolah, sekolah daring namanya. Sekolah daring dilakukan di tengah pandemi. Syarat mengikuti sekolah daring adalah memiliki HP. Hal tersebut yang membuat Aku bingung. Aku hanya orang miskin yang tidak mampu membeli HP. Dia tidak bekerja saat pandemi. Hal tersebut memaksa Aku yang terdesak keadaan untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Jalan pintas yang diambil adalah mencuri, sebuah tindakan kriminal yang bisa menjerat dirinya dengan hukum.

Yang Katanya Negara Hukum

Indonesia merupakan negara yang menjadikan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Sudah pasti di negara kita dipenuhi dengan berbuih-buih peraturan. Kita sebagai satu dari berjuta-juta warga wajib menaatinya. Namun, ironisnya praktik di lapangan seperti hukum rimba. Mereka yang diduga mencuri langsung digebuki, dihajar habis-habisan oleh mereka yang ingin menjadi pahlawan. Bahkan, hukum terlalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Mereka yang menjadi tersangka korupsi diberikan keringanan sampai-sampai masuk media televisi. Mereka yang menjadi tersangka pencurian babak belur dihajar habis-habisan oleh emosi.

“Semua umpatan itu bersahutan bersama tendangan, pukulan, gebukan, dan ludahan mereka. Aku bahkan merasa badanku melayang sebelum menghujam ke tanah. Berkali-kali entah apakah bagian-bagian badan ini nanti masih berfungsi lagi. Ada yang terasa patah di bawah ketiak kanan, mungkin tulang rusuk. Aku hanya bisa bersedekap melindungi organ dalam dada, sementara kepalaku bebas mereka hantam.” (SAMM, 2020).

Pada nukilan tersebut Hilmi Faiq juga menggambarkan sebuah kebiasaan masyarakat Indonesia. Sebuah kebiasaan ketika ada maling, tanpa pandang bulu mereka yang geram akan main hakim sendiri. Apakah selamanya yang seperti itu akan terlihat benar? Tentu saja tidak, hal yang seperti itu tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan. Mereka menggebuki orang yang diduga maling dengan dalih membuat jera. Tapi apa benar demikian? Memang sebagian ada yang jera dengan perlakuan tersebut, namun bagi mereka, residivis-residivis yang lama bermain di dunia hitam tidak ada efeknya.

Jika dilihat dari kacamata kemanusiaan, mereka yang main hakim sendiri tidak selamanya baik dan benar. Mengapa dikatakan demikian? Karena banyak maling-maling yang berseliweran hanya untuk jalan pintas saja. Mereka baru pertama kali mencuri karena keterdesakan. Kalau benar mereka berpegang teguh pada nilai kemanusiaan seharusnya tanyakan dulu alasan mereka mencuri, untuk apa mencuri? Mengapa mencuri?

Agaknya pertanyaan-pertanyaan demikian dapat membuat semua orang memahami, memahami apa yang dinamakan dengan duri kesengsaraan, namun pertanyaan-pertanyaan seperti itu dihapuskan oleh api emosi. Mereka main hakim sendiri karena sudah geram dengan keadaan. Sungguh sangat memilukan kehidupan di negara yang katanya negara hukum namun seperti hidup di negara hukum rimba.

***

Sekali lagi, perlu diingat bahwa karya sastra merupakan media yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan gagasan, dan perasaannya. Sastrawan juga dapat menjadikannya sebagai media kritik. Salah satu di antaranya adalah Hilmi Faiq, ia mencoba membumbui karyanya dengan kritik sosial. Ia mencoba menggambarkan kejadian nyata di tengah pandemi seperti pencurian, penjambretan, perampokan, dll.

Namun, perilaku kriminal ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan. Kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi karena keterdesakan sehingga akhirnya melakukan kegiatan kriminal. Bahkan lebih parahnya lagi ada perilaku kriminal yang dianggap benar, yaitu amukan massa terhadap pencuri yang berusaha dimunculkan.

Sudah umum memang jika pencuri dihajar sampai babak belur oleh warga. Namun, sebenarnya itu sudah menyalahi hukum dan nilai kemanusiaan. Apalagi jika mereka mengamuk tanpa mengetahui alasan terjadinya pencurian. Pencurian yang seperti demikian terjadi karena ada yang salah dengan perilaku bermasyarakat. Coba jika sesama tetangga bisa mengerti dan membantu pasti tidak akan terjadi yang demikian.[]

Tags: cangkemKriminalitas Jalan Pintas Keterdesakanmuhammad aziz rizaldisambatologi
ShareTweetSendShare
Previous Post

Tips Menjaga Kesehatan Mental Anak Muda di Masa Pandemi

Next Post

Bumi Rantau dan Hilangnya Pengharapan

Muhammad Aziz Rizaldi

Muhammad Aziz Rizaldi

Lahir di Purbalingga pada 7 April 2001. Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMP. Ia saat ini tinggal di Bobotsari, Purbalingga

Artikel Terkait

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 March 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan
Cangkem

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

21 March 2022

Silakan kalau anda ingin memfitnah saya sebagai orang yang sedang misuh atau berkata kasar sejak dari judul. Tapi kontol sebagai...

Cengkraman Lelaki Idaman
Cangkem

Cengkraman Lelaki Idaman

18 January 2022

Mbak, kalau kamu dapat dentang chat yang sibuk mengajakmu munajat tengah malam. Aku bisiki dulu ‘ndak ada jaminan, kalau doi...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Gambar Artikel Bung Karno Di Ende, Remah remah kisah dari ende

Remah-remah Kisah dari Ende

7 January 2021
Dua Lelaki

Dua Lelaki

23 April 2021
Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

9 August 2021
Perilaku Umat Beragama Kiwari: Sebuah Ironi

Perilaku Umat Beragama Kiwari: Sebuah Ironi

29 March 2021
Menyoal Cinta Vs Primbon Weton Jawa

Menyoal Cinta Vs Primbon Weton Jawa

26 July 2021
Dongeng Pak Tua Menjangkau Cahaya

Dongeng Pak Tua Menjangkau Cahaya

23 February 2021
Pada Suatu Kangen dan Kontradiksi Interminus

Pada Suatu Kangen dan Kontradiksi Interminus

6 August 2021

Bahagia itu Sederhana

3 July 2021
Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

13 January 2022
Tamu

Tamu

10 July 2022

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
  • Aku Merangkum Desember

Kategori

  • Event (10)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (8)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In