Gejala virus COVID bukan hanya menjadi gejala internasional, tetapi juga sudah menjadi gejala yang berefek samping pada kebudayaan. Hampir setahun era pandemi mewabah di bumi. Banyak orang yang kehilangan keluarga karena efek kejam dari virus yang bernama COVID-19. Keluaga yang kehilangan anggotanya, menjadi korban kekejaman COVID-19 benar-benar tak bisa melihat saat-saat terakhir, saat mereka dibutuhkan.
Kenangan-kenangan yang berlalu hanya menjadi getir kepahitan bagi wanita dan anak-anak yang kehilangan keluarganya. Sedangkan kelayakan hidup sudah dialihfungsikan. Dengan semangat penyembuhan yang mereka sebut new normal, manusia harus bersembunyi selama dua minggu di dalam rumah. Pasar-pasar sepi, pedagang dan orang-orang yang menambatkan hidup dalam sistem pendapatan setengah hari itu digusur dari tempat pencarian kerja. Banyak pekerjaan yang tutup sehingga menambah angka pengangguran. Akibatnya banyak sarjana sia-sia dalam pengorbanannya mencari ilmu.
Itu belum jadi efek dari pandemi yang begitu besar. Ini masih gejala kecilnya saja. Yang paling berpengaruh besar adalah gejala kebudayaan. Selain dari efek ekonomi yang benar-benar mengalami degradasi karena memang mengalami fase resesi, fase degradasi kebudayaan juga sudah digerus habis. Suara rakyat yang sudah tak karuan itu semakin merambah kemana-mana. Siapa yang diuntungkan dalam hal ini tentu sudah jelas, yaitu orang-orang borjuis dan kapitalis. Mereka semakin melahap habis ekonomi rakyat di setiap daerah. Pasar modal telah meringkus habis secara cepat keuangan.
Kini bukan lagi revolusi palsu seperti yang digelorakan oleh Bung Karno dahulu. Selama bertahun-tahun bangsa kita melalui tahapan evolusi yang sangat lama. Revolusi yang didengungkan oleh para pejabat hanya perubahan-perubahan sistem kerja yang kerap berganti orang birokrasi, sedangkan sistem kerjanya tidak juga menemui hasil dari apa yang diharapkan masyarakat. Segala sesuatu telah dinilai dengan uang.
Budaya uang sejak lama dipaksakan diberlakukan oleh era Orde Baru. Masyarakat dipaksa mengikuti kehendak sebuah pola piramida. Rantai makanan ini, dapat digambarkan sebagai yang berada di atas hanyalah yang berkuasa mutlak atas kehidupan di bawahnya. sistem kasta yang disama ratakan hanyalah omong kosong, nyatanya sistem itu tetap berlaku sampai sekarang, hanya dimanipulasi bentuknya saja oleh orang-orang penguasa.
Esensinya, sistem rantai makanan aristokrat serta pola piramida ini berlaku erat kepada negara dan bangsa yang selalu berkembang ini. Kapan harapan akan diwujudkan, jika amanah sudah dipikul oleh orang yang tidak memiliki tanggung jawab. Janji-janji dipasang di baliho-baliho, mengemis rakyat untuk memilih, alhasil rakyat dibohongi. Selalu dibohongi, tetapi syukur saja nurani bangsa ini masih tetap humanis. Gejala-gejala kebudayaan sudah kehilangan kesehatan.
Budaya terdiri dari dua kata, yaitu budhi dan daya. Budhi artinya berpikir, sedangkan daya adalah kemauan. Definisi kebudayaan adalah kemauan untuk berpikir. Kebebasan berpikir sudah perlahan hilang, apalagi kebebasan berpendapat, sudah direnggut begitu saja tanpa persetujuan rakyat. Era pandemi ini telah kehilangan sebuah kebudayaan yang bernama humanisme. Pelaku seni budaya jadi pengangguran. Tidak ada pendapatan sama sekali. Mereka beralih menjadi semacam budak pandemi yang sudha jadi tidak berdaya.
Tidak hanya pelaku seni budaya, kebudayaan secara luas adalah masyarakat, bahasa, dan pengetahuan. Tiga faktor kebudayaan tersebut telah terkurung dalam sangkar batu-bata. Menjadi katak tempurung yang tidak bisa melihat zaman pencerahan. Budaya belajar juga sudah tidak efektif dengan digantikan melalui media internet. Manusia ditahapkan menjadi mesin atau buruh pabrik secara merata. Label penjualan smartphone dan wifi menjadi laris manis.
Orang-orang yang kehilangan ekonomi secara cepat dan para pengangguran menjadi zombie. Manusia yang hidup, tapi jiwanya mati. Bagaimana mereka dikekang secara terus menerus. Kemauan berpikir semakin tumpul jika kemauan hidup untuk bergerak sudah lusuh.
Bantuan sosial yang digalakkan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang kurang pangan, masih tidak merata. Tetapi di depan pers, mereka katakan sudah terpenuhi bantuan sosial di setiap sudut desa. Ada seorang janda tua yang hidup sendiri di rumah. Merupakan seorang warga tetangga desa. Ketika bantuan sosial resmi terjun di desanya, dia mengaku tidak mendapatkan bantuan sosial. Katanya sudah habis. Tidak ada warga tetangga yang memberitahu padanya perihal adanya bantuan sosial.
Ini sebuah sorotan kebudayaan. Bagaimana seorang tetangga tega tidak mau memberitahukan adanya kabar bantuan sosial kepada dirinya. Ternyata tetangganya yang juga sudah manula itu membawa dua bingkisan sembako. Bagaimana ini bisa terjadi keserakahan, jika benar-benar sebuah keadaan memaksakan kehendak seperti itu. Sungguh zaman edan, siapa pun yang tidak berlaku edan atau serakah, tidak mendapatkan jatah.
Sudah terlihat sebuah sorotan yang terjadi dalam kepincangan pandemi. Seharusnya gaji-gaji pejabat yang banyak itu dipotong beberapa persen, untuk kepentingan rakyat pengangguran karena berlaku sistem boikot di rumah. Bagaimana mereka bisa menyandang gelar perwakilan rakyat, jika mereka tidak merasakan penderitaan dan mewakili kesengsaraan rakyat yang diwakilinya. Berpikir dong, jangan hanya sistem. Kalau sistem, rakyat adalah seni kreatif dalam mengolah kebudayaan.
Sungguh, kita sebagai bangsa kesatuan harus merasa prihatin dengan adanya pengangguran dan kemalasan yang menjadi budaya buruk baru, telah berevolusi di negara ini. Dimanakah peran intelektual yang katanya maha budaya itu. Mereka juga telah menjadi orang-orang malas sambil tiduran di atas buku baca-baca tentang sejarah pandemi, tanpa melihat kenyataan dari pandemi.
Sejujurnya, masyarakat dalam kebingungan sudah setahun pandemi belum juga usai. Masyarakat tidak tahu arah sebab ketika mereka akan melakukan tindakan budaya, pejabat keamanan sudah menghentikan langkah mereka dan melakukan tilang dengan logo kata ‘jera’. Langkah kaki dan aktivitas hidup sudah dianggap ibarat maling motor saja. Jangan katakan ini sebagai sebuah hal yang biasa. Tanggap darurat, jelas sudah ini harus kita tanggapi sebagai warga budaya yang ekspresif. Perwakilan rakyat jangan hanya melakukan rapat kosong, tetapi sisihkan uang tabungan untuk pemilih setia mereka. Rakyat mengaum di bawah pandemi.[]