Belakangan sering kali kita melihat berbagai fenomena yang melibatkan nafsu amarah. Orang-orang saling menuntut balas apa yang dianggap sebagai kejahatan atau setidaknya perbuatan tidak menyenangkan. Nafsu menuntut balas tersebut terjadi pada banyak kasus. Mulai dari kasus lansia mencuri singkong hingga kasus politikus saling ejek di media sosial kerap kali berbuntut saling tuntut. Fenomena ini tentunya menjadi cukup meresahkan bagi saya yang mengidam-idamkan tempat tinggal yang damai sejuk sentosa.
Keresahan yang demikian akhirnya menuntun saya sebagai seorang penikmat filsafat untuk mundur kembali ke masa lampau tepatnya pada abad 1 M. Pada masa itu di wilayah kekuasaan Romawi, hidup seorang anggota senat yang kebetulan dianggap sebagai filsuf. Ia adalah Lucius Annaeus Seneca, atau belakangan akrab dipanggil Seneca.
Seneca adalah satu filsuf stoic yang secara garis besar pemikirannya berbicara soal etika keseharian. Dalam etika keseharian, salah satu point paling penting yaitu tentang bagaimana mengendalikan hawa nafsu. Salah satu hawa nafsu paling besar adalah nafsu amarah. Seneca merupakan salah satu filsuf stoic yang memiliki andil besar dalam diskusi tentang amarah. Dalam surat yang ia tulis untuk kakaknya, Lucius Annaeus Novatus (dalam Alkitab dikenal sebagai Gallio), Seneca berkata bahwa amarah amat sangat berbeda dengan jenis-jenis nafsu yang lain yang masih memiliki kadar kedamaian.
Amarah adalah “kegilaan”, ujarnya. Dan, seperti yang dapat kita amati pada masa masa kini, Seneca juga berujar bahwa amarah yang tidak dikelola dengan baik akan terus berlanjut pada perilaku dendam.
Pemicu Amarah
Sebelum berbincang tentang dendam yang nantinya akan menjadi topik utama dalam esai singkat ini, tentunya kita perlu membahas tentang apa-apa saja yang memicu amarah dalam kaca mata Seneca. Masih dalam suratnya yang ditujukan Novatus, Seneca mengatakan bahwa pemicu amarah bukanlah berasal dari luar diri kita. Perasaan tersakiti kita sendirilah yang memicu amarah. Seneca menyarankan agar kita tidak lantas percaya pada perasaan tersebut.
Hal lain yang menjadi pemicu seseorang menjadi mudah marah adalah kemewahan. Bagi Seneca, kondisi hidup yang serba ada membuat manusia jadi serba marah pada hal-hal kecil yang dirasa tak biasa terjadi di kehidupan sehari-harinya. Seorang yang terbiasa hidup miskin dan tidak memiliki kendaraan tidak akan marah ketika harus berjalan kaki menuju pasar. Sedangkan orang kaya yang terbiasa naik mobil ke manapun dia pergi lalu terpaksa berjalan kaki karena ban mobilnya bocor mungkin akan kadung marah dengan apa yang menimpanya.
Sebagaimana perkataan Seneca: “Jika kemanjaan telah menghancurkan pikiran dan tubuh, maka tak akan ada lagi pekerjaan yang dapat dilakukan. Bukan karena beratnya suatu pekerjaan, melainkan yang melakukannya adalah orang lemah.”
Menyoal Dendam
Pucuk amarah adalah dendam. Begitulah setidaknya yang disampaikan oleh Seneca. Lantas bagaimana seharusnya kita merumat rasa amarah kita agar tidak memuncak pada hasrat dendam? Seneca memiliki beberapa pesan singkat untuk Novatus:
Pertama, menurutnya kita benar-benar harus menyingkirkan amarah sejak awal kedatangannya. Seperti tertera di surat untuk Novatus: “Yang terbaik adalah langsung menyingkirkan amarah begitu ia datang, membasmi benihnya, dan berusaha sekuat tenaga agar tidak tenggelam ke dalamnya…”. Seneca berpesan demikian karena percaya bahwa begitu kita tenggelam dalam amarah, kita akan sulit mengembalikan kewarasan. Nalar akan terberangus begitu saja sesaat setelah kita tenggelam dalam amarah.
Kedua, dalam beberapa kasus, perbuatan jahat dan keji memang perlu dijatuhi hukuman. Namun, sebelum menjatuhi hukuman pada seorang terdakwa, kita perlu berhenti sejenak. Merenungi dan menyingkirkan berbagai unsur amarah. Sebagaimana dikatakan oleh Seneca: “Bagi orang yang tengah mempertimbangkan hukuman, tidak ada yang lebih tidak pantas selain amarah.”.
Hukuman akan lebih bersifat konstruktif jika didasari oleh akal, bukan amarah. Seorang hakim boleh saja menghukum orang lain yang dinilai melakukan tindak kejahatan, tetapi bukan untuk membalaskan dendam, melainkan karena menegakkan keadilan adalah kewajiban baginya.
Menurut Seneca, sebagai seorang yang sedang mempertimbangkan hukuman bagi orang lain, seorang hakim amat sangat perlu mengingat satu hal, yaitu bahwa tidak ada satu pun manusia yang tidak berbuat salah. Dalam wejangan Seneca: “Kita hanyalah orang jahat di tengah sekumpulan orang-orang jahat. Hanya ada satu hal yang dapat mendamaikan kita, yaitu kesepakatan untuk saling memaafkan.”[]
Referensi
Seneca. How to Keep Your Cool (Sebuah Panduan Klasik Mengelola Amarah), Jakarta: KPG, 2021.