• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Thursday, 20 November 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Milenial Kelana

Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm

Jafar Suryomenggolo by Jafar Suryomenggolo
15 November 2025
in Kelana
0
Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm

Lukisan "Frukostdags" karya Hanna Hirsch Pauli (1887)

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Nama Hanna Hirsch Pauli mungkin terasa asing. Itu wajar. Bahkan, di negara asalnya, Swedia, banyak juga yang belum mengenalnya. Justru karena terpinggirkan dari ingatan publik itulah Museum Nasional di Stockholm mengadakan pameran khusus pelukis perempuan ini sejak 19 Juni 2025 hingga 11 Januari 2026.

Sebagai perempuan yang hidup semasa pergantian abad lalu, Hanna Hirsch (13 Januari 1864-29 Desember 1940) menghadapi berbagai tantangan sosial zamannya. Meski relatif lebih bisa memilih jalur hidupnya, kebanyakan perempuan Swedia pada masa akhir abad ke-19 masih sulit untuk bisa hidup mandiri dari penghasilannya sendiri. Dari segi ekonomi, perempuan masih terpaksa bergantung pada laki-laki anggota keluarga; baik itu ayahanda, suami, kakak, adik, atau bahkan anak laki-laki dan paman.

Ketika itu, angin perubahan yang mewakili hak-hak perempuan masih amat terbatas. Perempuan di Swedia baru diperbolehkan masuk ruang kuliah di universitas sejak 1861 (di Amerika Serikat sejak 1833, di Prancis sejak 1860, di Swiss sejak 1867, di Inggris sejak 1869). Baru sepuluh tahun kemudian, 1871, satu mahasiswi diterima masuk kuliah di Swedia (yaitu Betty Pettersson). Dan Akademi Seni Rupa Swedia baru membuka pintu bagi mahasiswi sejak 1864, ketika Hanna lahir.

Lahir dalam keluarga Yahudi, Hanna juga mengalami prasangka sosial di dalam masyarakat Swedia yang mayoritas Kristen-Lutheran. Ada berbagai pembatasan sosial-politik atas komunitas Yahudi di Swedia. Orang Yahudi hanya boleh tinggal di dalam wilayah pemukiman komunitasnya, dan menikah antara sesama Yahudi. Pria Yahudi tidak boleh masuk dunia politik dan tidak bisa menjadi anggota parlemen.

Perubahan baru terjadi sejak 1838 dengan dicabutnya pembatasan politik atas orang Yahudi. Menyusul pada 1863, larangan pernikahan antara orang Yahudi dengan orang Swedia ikut dicabut. Dan baru sejak 1870, atau 6 tahun setelah Hanna lahir, orang Yahudi diperbolehkan menetap di luar wilayah pemukiman komunitasnya. Hanna mengalami prasangka sosial akibat latar belakang keluarganya. Antisemitisme membayangi Hanna bahkan hingga akhir hidupnya, saat seluruh Eropa berada dalam cengkeraman fasisme Nazi pimpinan Hitler.

Bakat Melukis

Kehidupan sosial Hanna Hirsch dan berbagai tantangan yang dihadapinya tersebut menjadi latar belakang yang penting untuk mendalami lebih dari 130 karyanya yang disajikan di pameran ini.

Di ruang masuk pameran, pengunjung langsung disajikan 2 karya ternamanya: “Frukostdags” (“Waktu Sarapan”), dan “Familjerupp vid lampan” (“Keluarga di Bawah Lampu Meja”). Lukisan “Waktu Sarapan” bernuansa impresionisme, aliran seni rupa yang dominan di Eropa pada masa itu.  Sementara lukisan “Keluarga di Bawah Lampu Meja” yang diselesaikannya dua tahun sebelumnya bernuansa realisme. Isinya menggambarkan kehidupan sehari-hari orang biasa. Dalam hal ini, adalah kehidupan keluarga Hanna sendiri.

Lukisan “Frukostdags” (1887) | Hanna Hirsch Pauli
Lukisan “Familjerupp vid lampan” (1885) | Hanna Hirsch Pauli

Lukisan “Keluarga di Bawah Lampu Meja” menggambarkan sang ibunda (Pauline), kakak perempuan (Betty), dan satu kerabat pria yang sedang duduk bersama diterangi cahaya lampu minyak tanah (parafin). Lukisan tersebut adalah tugas akhirnya di Akademi Seni Rupa Swedia, yang kemudian lolos seleksi untuk dipamerkan dalam pameran 150 tahun berdirinya Akademi. Dalam pameran, lukisan tersebut memperoleh penghargaan kedua, medali Hertigliga. Penghargaan itu menjadi bukti pengakuan atas bakatnya.

Saat itu, ia berusia 21 tahun. Dan memang baru 1884, setahun sebelumnya, Swedia mengakui perempuan sebagai individu dewasa di mata hukum ketika berusia 21 tahun. Jadi, Hanna menjadi bagian dari generasi pertama perempuan Swedia yang memperoleh pengakuan hukum sebagai individu dewasa dan karenanya, bisa bebas memilih jalan hidupnya sendiri. Ia langsung menuju Paris.

Kebebasan di Paris (1885-1887)

Paris pada akhir abad ke-19 adalah kiblat utama dunia seni modern. Semua seniman, tak terkecuali Hanna muda, ingin hidup di jantung perubahan dunia seni rupa akibat gebrakan aliran impresionisme pada 1860-an yang dimotori oleh 4 pelukis muda: Claude Monet, Pierre-Auguste Renoir, Alfred Sisley, Jean Frédéric Bazille.

Demam impresionisme melanda Eropa. Meski tidak ada kata sepakat di antara para penggagasnya mengenai apa “impresionisme” itu, lukisan yang dianggap masuk aliran ini mengutamakan kesan-kesan cahaya dan tampilan warna cerah yang ditangkap mata (impresi) daripada bentuk detail. Aliran ini mendobrak pakem-pakem seni rupa klasik realisme dan naturalisme yang dianggap kaku dan kolot.

Di mata dunia seni rupa Paris pada masa itu, lukisan “Keluarga di Bawah Lampu Meja” boleh jadi terlihat “kuno”. Tak heran, Hanna mulai belajar teknik melukis baru ala impresionisme. Ia masuk Akademi Colarossi, sekolah seni rupa yang dianggap progresif dan juga, menerima mahasiswi.

Dalam salah satu suratnya ke Betty (kakak) tertanggal 5 November 1885, Hanna merasa bebas di Paris sebab menurutnya:

“Di sini, seni tidak diperlakukan dengan malu-malu dan seremonial seperti di Swedia. Orang yang menjadi model lukisan telanjang tidak merasa perlu bersembunyi di balik tirai saat melepaskan pakaian, melainkan lebih suka berbincang-bincang dengan kami para siswa lukis dan menghangatkan diri bersama di dekat penghangat ruangan. Malah juga (setidaknya menurut pengamatanku dan tergantung kebiasaan), perempuan yang menjadi model lukisan biasa berpose apa adanya sekalipun saat mereka sedang menstruasi”.

Di Paris, Hanna menyewa kamar studio bersama Venny Soldan, seniman asal Finlandia yang seumuran. Mereka menjadi teman dekat sepanjang hidup. Dalam satu kesempatan, Hanna bahkan melukis Venny yang sedang duduk di lantai studio apa adanya: “Porträtt av Venny Soldan” (Potret Venny Soldan). Lukisan ini berhasil lolos seleksi untuk dipamerkan dalam pameran tahunan bergengsi Paris Salon pada 1887.

Lukisan “Ungherre” (1886-1887) | Hanna Hirsch Pauli
Lukisan “Porträtt av Venny Soldan” (1887) | Hanna Hirsch Pauli

Di Paris pula, pada 1886, Hanna berkenalan dengan Georg Pauli, sesama pelukis Swedia yang menjadi pelopor Konstnärsförbundet (Perhimpunan Seniman). Ini adalah perkumpulan independen terdiri dari para pelukis muda yang bersebrangan dengan Akademi Seni Rupa Swedia yang dianggap abai atas angin perubahan seni rupa sebagaimana yang terjadi di Paris. Saat itu, Georg berusia 31 tahun, sekitar 8 tahun lebih tua darinya.

Mereka diperkenalkan oleh Robert Thegerström: “Georg, apakah kau kenal Hanna Hirsch? Ia juga pelukis. Sayangnya, ia berbakat!”. Ungkapan “sayangnya” tersebut mengandung nada seksisme yang masih kental pada masa itu. Bakat melukis pada perempuan dianggap kesia-siaan sebab perempuan pada akhirnya diharapkan mengurus rumah tangga belaka.

Georg dan Hanna tidak peduli dengan cetusan seksisme itu. Mereka langsung merasa dekat dan bahkan, Hanna tidak malu-malu melukis Georg: “Ungherre” (Bujangan). Lukisan ini menandai awal hubungan asmara mereka.

Keluarga dan Kawan

Berdua, mereka kembali ke Stockholm dan menikah di catatan sipil pada 28 Oktober 1887. Hanna Hirsch resmi menjadi Hanna Hirsch Pauli. Mereka berbulan-madu ke Italia selama hampir setahun dan selanjutnya, kembali menetap di Stockholm. Mereka memiliki dua putra dan satu putri, yakni: Torsten (lahir 1889), Göran (lahir 1891), dan Ruth (lahir 1896). Georg dan Hanna setia hingga akhir hayat.

Lukisan “Sonen Göran” (1891) | Hanna Hirsch Pauli
Lukisan “Vänner” (1907-1910) | Hanna Hirsch Pauli

Pada masa 1890-an, Hanna seperti kebanyakan pelukis Swedia pada saat itu, terpengaruh juga aliran romantisme-nasional, yang menjadi gerakan populer di kalangan seniman Skandinavia umumnya. Aliran ini menggali ilham dari cerita rakyat/legenda/mitos khas Skandinavia. Terkadang, juga pemandangan alam khas Nordik. Hanna menghasilkan sejumlah lukisan simbolis beraliran romantisme-nasional. Namun, ini tidak lama. Ia kembali beralih ke arah realisme dan lukisan potret.

Di antaranya yang menarik adalah “Sonen Göran” (Putra kami, Göran) dan “Vänner” (Kawan-kawan). Lukisan “Sonen Göran” adalah salah satu dari sekian banyak lukisan bertema keluarga yang menggambarkan perkembangan detail dan sentimental kehidupannya sebagai seorang ibu. Di dalam semua lukisan bertema keluarga, anehnya Hanna tidak pernah muncul bersama anak-anaknya. Boleh jadi, hal tersebut menjadi caranya menangkap satu momen intim dalam keluarga, dengan mengambil jarak darinya.

Lukisan “Vänner” digarapnya selama beberapa tahun, dengan terlebih dulu lewat serangkaian sketsa awal. Di dalam lukisan tersebut, ia menggambarkan kawan-kawannya yang sering berkumpul bersama di rumahnya berdiskusi berbagai hal, dari soal budaya hingga soal politik. Di pusat lukisan tersebut, dalam terang lampu meja, duduk Ellen Key, seorang intelektual feminis-sosialis yang ide-idenya akan pendidikan bebas bagi anak-anak dan kesetaraan perempuan punya pengaruh besar di kalangan kaum terdidik elite Swedia (dan Eropa umumnya) pada masa itu. Contohnya, perempuan bisa punya anak tanpa harus menikah resmi – tergolong ide radikal saat itu.

Merayakan Hanna Hirsch Pauli

Tidak semua lukisan karya Hanna bisa dibahas dalam tulisan ini. Dengan memperkenalkan beberapa karya-karyanya di sini, kita bisa juga ikut merayakan Hanna Hirsch Pauli sebagai salah satu pelukis perempuan dari Swedia. Dari sudut kebaruan aliran seni ataupun teknik menggambar, ia memang tidak membawa perubahan penting bagi dunia seni rupa Swedia. Karena itu pula, namanya tenggelam setelah Perang Dunia II usai.

Meski begitu, kita bisa melihat Hanna sebagai seniman yang teguh, berkemauan keras (kadang juga keras kepala). Itu semua demi menapaki jalan hidupnya sendiri; pilihannya sendiri sebagai individu dewasa. Ia tidak terperangkap dalam pandangan sosial politik zamannya atas peran gender perempuan dan latar belakang keluarganya. Pameran ini berhasil menampilkan Hanna secara utuh: sebagai perempuan muda, ibu, seniman, dan kawan diskusi.

Hanna tidak berada di pinggiran kehidupan budaya pada masa perubahan sosial-politik di Swedia. Justru, ia berada di dalamnya dan terlibat. Itulah sebabnya, melalui lukisan-lukisannya, kita juga bisa meneropong berbagai segi perubahan yang dilalui Swedia pada masa pergantian abad lalu, termasuk kemajuan gerakan perempuan.

Jika ada kesempatan berkunjung ke Swedia, silakan mampir ke Museum Nasional di Stockholm. Engkau bisa menyaksikan langsung karya-karya Hanna yang disimpan secara permanen di sana. Mungkin juga, kita perlu mendorong Kedutaan Besar Swedia untuk menggelar pameran lukisan karya Hanna di beberapa kota di Indonesia.[]

Tags: biografi senimangerakan perempuanHanna Hirsch Paulikelanamuseumpameran lukisanpelukisperempuansejarah seni rupaseni lukisSwedia
ShareTweetSendShare
Previous Post

Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman

Jafar Suryomenggolo

Jafar Suryomenggolo

Jafar Suryomenggolo, menulis buku "Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita" (EA Books, 2022) dan "Serikat Buruh 1945-1948" (Marjin Kiri, 2024), serta menerjemahkan "Dunia Hantu Digul" (Insist Press, 2023) dan Recuerdos de Patay (Marjin Kiri, 2025).

Artikel Terkait

Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
Kelana

Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi

9 August 2025

Narasi canggih soal kopi di coffee shop terdengar terputus dari asalnya: alas. Rasa yang belum menyatu itu menyembulkan sebuah ide...

Menjajaki Belanda: Dekapan Mimpi yang Jadi Nyata
Kelana

Menjajaki Belanda: Dekapan Mimpi yang Jadi Nyata

5 July 2022

Belanda, mungkin negeri ini tidak asing bagi orang Indonesia mulai dari yang tua sampai yang muda. Terlebih bagi saya. Dalam...

Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia
Milenial

Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

24 March 2022

Sebelumnya saya pernah menulis tentang bagaimana proses panjang perjuangan menuju Jerman dan menjalani kehidupan di sana--teman saya juga pernah menuliskan...

Proses Menuju dan Lika-Liku Menjalani Hidup di Jerman
Kelana

Proses Menuju dan Lika-Liku Menjalani Hidup di Jerman

17 December 2021

The Law of Attraction atau mungkin juga berkat dari Tuhan. Ini adalah yang aku rasakan setelah aku bisa menginjakkan kaki...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Gambar Artikel Puisi Tentang Pandemi : Puisi-Puisi Fajar Sedayu (Yogyakarta)

Puisi-Puisi Fajar Sedayu (Yogyakarta)

31 October 2020
Gambar Artikel Jahm bin Shafwan: Sosok Ekstremis Klasik di Islam

Jahm bin Safwan: Sosok Ekstremis Klasik di Islam

28 December 2020
Bumi Rantau dan Hilangnya Pengharapan

Bumi Rantau dan Hilangnya Pengharapan

8 December 2021
Belajar Menulis

Belajar Menulis

1 April 2021
Perempuan di Mata Asghar Ali Engineer

Perempuan di Mata Asghar Ali Engineer

29 June 2021
Gambar Artikel Pecel Lele Batas Kota

Pecel Lele Batas Kota

8 November 2020
Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

10 March 2022
Gambar Artikel Kemarin dan Rindu

Kemarin dan Rindu

31 October 2020
Gambar Artikel Seringai Pedih yang Ia Tulis

Seringai Pedih yang Ia Tulis

28 December 2020
Nanda dan Kisah Pilunya

Nanda dan Kisah Pilunya

19 July 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (49)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (13)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.