Dasarnya saya suka makan, makanan apapun, termasuk makan ketan. Penganan ini bisa dinobatkan sebagai menu kesukaan saya. Ketan dimodifikasi apapun, saya suka. Ngomongin ketan, perlu tahu bagaimana sejarah lahirnya panganan khas itu. Ketan lahir di Nusantara, loh. Ada yang tau sejarahnya?
Sumber tertentu menceritakan, ketan sudah ada sejak zaman Majapahit. Ketan juga menjadi hidangan sakral. Sering disuguhkan dalam hajatan, atau peringatan hari-hari istimewa. Selama ini menyadari atau tidak? Atau mengira kalau ketan adalah makanan simbah, jadul, ndeso? Tidak jua…
Saya tahu panganan ketan, sejak kecil dan waktu itu bersama simbah. Seringkali Mbah membuat ketan dicampur dengan parutan kelapa dan ditambah sedikit garam, dinikmati pas hujan-hujan. Maknyusss nikmatnya.
Ada juga, pengalaman makan ketan dengan campuran kacang yang digiiling. Lebih-lebih makjyoss nikmatnya. Ditambah lagi, perasaan saya akan bahagia karena makan di tempat kelahiran saya. Apapun yang berkaitan dengan tanah kelahiran, ada rasa spesial yang mungkin tidak dirasakan orang lain.
Ketan juga punya filosofi, loh. Saya ingin berbagi, mungkin ada sebagian dari teman-teman yang sudah tahu. Ah, tidak mengapa. Ketan berasal dari Bahasa Jawa; keraketan, atau ikatan yang kuat. Ini menyimbolkan merekatkan antar keluarga atau teman. Sehingga pantas saja ketika dihidangkan dalam acara keluarga atau berkumpul dengan orang-orang yang disayang.
Ada juga rasa manis yang khas, diibaratkan sebuah pertemuan yang indah, nyaman, berkesan—dikonotasikan dengan rasa manis itu dari kandungan tepung (karbohidrat) di dalam ketan. Ini dituturkan oleh Chef Ucu Sawitri. Kalau bicara filosofi memang suka ‘dalem’. Karena sudah paham makna filosofi ketan, jadi ketika makan mungkin ada doa yang terselip, “Semoga makanan ketan di waktu hajatan keluarga bisa menjadi lantaran kebaikan dalam keluarga, Aaamiinn”. Memang orang Jawa itu ribet, ribet yang berarti luhur. Hehe.
Sudah dulu tentang masa lalu bersama ketan. Sekarang mari beralih ke perkembangan ketan yang sempat mengalami naik daun. Ada jajanan tansu (baca: ketan-susu). Makanan yang konon dikata tradisional, makanan simbah kita. Tapi, saat ini sudah menjadi favorit muda-mudi. Dengan inovasi dan marketing serta seasoning yang mantap, menjadikan ketan bereinkarnasi. Wowoow. Bisa kita temui tansu dengan taburan choco chip, matcha, atau mints, dan masih banyak lagi. Padahal yo, lawaran (rasa asli) juga enake poll. Wes gurih poko’e.
Kisah Seputar Tansu
Sewaktu di Pare, Kota Kediri, saya sempat menikmati kota Inggris versi Indonesia itu selama kurang lebih satu bulan. Tentu saja kesempatan ke Pare itu tidak hanya belajar saja, karena ada kebutuhan lain yang harus terpenuhi juga. Misal, traveling dan kuliner. Makan tidak sekedar makan, membuat perut kenyang, tapi ada sensasi lain, ketika berburu kuliner (food traveller). Seperti ala TV, Pak Bondan misalnya atau video mukbang di kanal Youtube.
Setiap sore, sambil jalan-jalan sekaligus menjajaki aneka penganan. Dalam pencarian itu ditemukanlah tansu. Sebelumnya pernah mencoba tansu, tapi hanya satu versi, belum menemui saingan. Waktu itu kakak tingkat saya yang menciptakan ide, di antara orang-orang yang belum mengetahui. ‘Sepemahaman saya’. Ternyata, ketika di Pare saya menemukan makanan yang saya suka dan blader (istilah Jawa di tempat saya yang berarti ‘Tersebar di mana-mana’). Sering kali ketemuan dengan teman dan sekedar kumpul-kumpul di warung tansu.
Setelah tergerak untuk kepoin filosofi ketan, menjadi flashback memori setiap kumpul di Pare kala itu. Mulai dari Angkringan Lembayung atau tansu depan Global English. Setelah menggantuk-gathukkan versi saya, ternyata praktiknya sudah demikian. Bahwa ketan selalu merekatkan. Adapun orang lain tidak setuju, bebas saja, ra masalah.
Masih dengan ketan. Di paragraf sebelumnya, saya sempat mengatakan bahwa saya tahu tansu pertama kali dari kaka tingkat saya. Beliau, orang yang tidak mau diam, banyak akal, dan nggak capek untuk bereksperimen. Sebut saja Ka’ Madno Wanakuncoro. Akhir-akhir ini beliau tambah boom creativity, menyimak aktivitas sosial medianya yang penuh menguras akal mungkin juga menginspirasi, menurut saya. Dan juga sedang menggerakkan muda-mudi untuk sadar berliterasi, menulis dan menyimak Metafor.Id. Silahkan kepoin saja ya! Jadi panjang pembahasan. Hehe.
Lanjut tentang kisah tansu Kang Madno Wanakuncoro. Ketika itu, saya tidak tahu persis, bagaimana awal mulanya. Saya hanya sempat tanya, kenapa memilih bisnis atau bakul tansu. Ya, saya kira jawabannya seperti saya yang alay mengisahkan ketan. Ternyata tidak! Berani-beraninya saya menyama-nyamakan dengan beliau. Kang Madno Wanakuncoro cukup menjawab, “ISENG”. Wah wah, penonton kecewa. Akan berhenti sampai situ, ketika sebenarnya saya ingin mengulik filosofi tansu (ketan susu) dan menjadi pilihan bisnis anak muda.
Tapi saya kembali pada filosofi di awal pembahasan. Ketan itu keraketan, merekatkan. Lagi-lagi saya flashback, menyinggahi kenangan yang ada hubungannya dengan beliau. Tansu Kang Madno Wanakuncoro turut meramaikan atau menjadi sumber dana usaha ketika acara peringatan Harlah organisasi kami. Saya sebut kami, karena di situ saya dan Kang Madno Wanakuncoro juga menjadi anggota di organisasi tersebut. Di situlah makna tansu, keraketan (merekatkan).
Tansu sebagai sumber dana usaha; bagaimana menjajakan ke teman yang lain, menawarkan ketika ada tes PBSB di UIN Sunan Gunung Djati, dan sempat diborong petinggi kampus, Pak Kepala Biro AUPK UIN. Tapi saya lupa yang diborong, pisang keju atau tansu, karena tidak hanya tansu yang ikut-ikut merekatkan, tapi pisang keju juga.
Tidak hanya itu, ketika anggota sendiri yang membeli, dan makannya harus dibagi. Bukankah itu sebuah nilai ‘merekatkan’, juga ‘manis ketika dikenang?’. Layaknya filosofi rasa manis dari karbohidrat di dalam ketan, seperti yang sudah diungkapkan di atas. Cukup saja, ya. Kenangan tidak ada habisnya, jika tidak move on dan lekas menciptakan kenangan baru. Terimakasih, Tansu!
Terakhir, kenapa saya ingat tansu di masa lalu? Karena pada suatu waktu, saya dipertemukan dengan teman lama. Dia sedang menjalani kuliah dan kehidupan di Malang. Dia nyletuk, “Bar dan cafe-cafe atau kedai yang dipenuhi anak kuliahan di Malang, kebanyakan yang jualan tansu, Mbak. Di situ kumpul organisasi lah, kerkom (kerja kelompok), pacaran lah, atau sendirian bersama kenangan. Hehe”.
Cerita panjang lebar dengan teman saya cukup lama, kerena tidak bertemu kurang lebih empat tahun. Memang betul menurut saya, ketika tahu bahwa ketan sama dengan keraketan (merekatkan), itu bukan tipu-tipu. Tapi nyata adanya. Terima kasih sekali lagi ketan, karenamu saya bisa menghabiskan waktu perjumpaan dengan teman lama saya.
Filosofi orang Jawa bukan kuno atau jadul. Seperti yang saya katakan: luhur. Selain itu juga, tidak dapat dipungkiri, bahwa nilai luhur itu terletak pada bagaimana orang merasakan, memposisikan, dan menghayati pengalaman dengan dirinya sendiri. Bagi saya, itulah arti menjadi otentik.[]