• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Rabu, 27 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Resensi

Perempuan Sumba dan Budaya Kawin Tangkap

Resensi Buku "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam"

Alifatul Lusiana U. C. by Alifatul Lusiana U. C.
23 Juni 2021
in Resensi
0
Perempuan Sumba dan Budaya Kawin Tangkap

dok. penulis

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Untuk menebus sebuah kemerdekaan perempuan, ada harga mahal yang harus dibayar. Demikianlah sekutip kalimat yang muncul di benak saya pasca membaca karya yang begitu memukai karya Dian Purnomo berjudul “Perempuan Yang Merindukan Bulan Hitam”. Buku ini menceritakan sebuah perjuangan seorang wanita membebaskan diri dari budaya setempat yang cenderung merugikan wanita. Ironisnya, budaya ini masih mengakar kuat.

Buku ini menceritakan seorang wanita bernama Magie Diella, seorang perempuan Sumba yang telah menamatkan pendidikan dari universitas ternama di Jawa Tengah. Karirnya baru saja dimulai saat sebuah tragedi mencengangkan yang menjadikan novel bertebal 312 halaman ini tercipta.

Sebuah adat yang masih kental di masyarakatnya hingga kini, yaitu mewajarkan penculikan perempuan dalam sebuah proses perjodohan keluarga lantaran harga pernikahan yang tak kunjung mencapai kata sepakat. Ya, inilah kejadian yang menimpa Magie Diella di tengah zaman yang sudah serba modern. Adat ini disebut “kawin tangkap”.

Cerita berawal pada suatu hari di sebuah perjalanan menuju lokasi pekerjaan sebuah penculikan oleh segerombol laki-laki asing menimpa diri Magie dengan perlakuan kasar dan penuh ancaman. Penculikannya berakhir di suatu rumah lelaki yang jauh lebih tua dan berkuasa di kampungnya, dalam keadaan tak sadar karena kaget ia dibawa masuk ke dalam sebuah kamar.

Kemarahan mendidih dirasakan oleh Magie saat terbangun dari pingsannya dan menyadari tubuh bagian bawahnya tidak tertutupi pakaian. Kemarahannya sungguh menyesakkan; kepada semua orang. Tidak ada satu halpun yang bisa ia lakukan karena semua masyarakat mewajarkan adat ini. Magie merasa terpukul kala mendengar orang tuanya akhirnya menyepakati pernikahannya dengan lelaki tua itu.

Berbekal emosi dan kemarahan, di malam hari ia nekat bunuh diri dengan menggigit pergelangan tangannya lantaran tidak menemukan benda tajam di sekitarnya. Beruntung (atau celakanya?), Magie ditemukan tepat waktu dan bisa diselamatkan. Dian Purnomo secara kompleks dan detail menceritakan tekanan yang dialami Magie. Pasalnya, sepulang dari rumah sakit pasca percobaan bunuh diri, pernikahan hanya diundur. Bukan dibatalkan.

Magie merasa bahkan keluarganya lebih memilih harga diri suku dan budaya dibandingkan rasa kemanusiaan. Baginya, mereka tuli terhadap penderitaan diri Magie yang merasa telah dilukai. Magie akhirnya mencari organisasi perlindungan perempuan. Berbekal dukungan para aktivis perempuan yang hanya ia kenal nama, Magie memutuskan melawan orang tua, keluarga dan adatnya. Ia kabur dari rumah hingga berbulan lamanya.

Karya ini pada akhirnya menceritakan kegigihan seorang Magie dan tekadnya melindungi dirinya sendiri sebagai seorang perempuan. Sekian lamanya Magie pergi dari rumah. Begitu tiba merasa aman, ia pulang ke rumah. Magie mendapati Ama Bobo (panggilan untuk ayahnya) sakit keras. Sungguh kepala batu, Ama Bobonya meminta Magie menikah dengan lelaki tua itu lagi dengan dalih permintaan sebelum mati karena sakit.

Dengan segala kekuatan, Magie melawan dengan cara yang lebih cerdas kali ini, namun juga lebih menyiksa batinnya. Perjuangannya bukan hanya melawan seorang lelaki tua, tapi juga lelaki itu sangat berkuasa dan memiliki banyak koneksi di berbagai jalur para pejabat hukum. Banyak yang menyarankan Magie berhenti melawan karena hanya orang yang tak waras yang mampu melawan lelaki itu.

Tidak menyerah dan melawan ambang batas waras, Magie melawan melalui berbagai jalur dan cara–bahkan hingga membahayakan hidupnya. Namun pada akhirnya usahanya berbuah hasil. Usaha Magie terakhir kalinya mempertaruhkan banyak hal dan itu tidak sia-sia. Ada harga mahal yang ditebusnya, tidak hanya untuk dirinya, Magie juga menunjukkan kepada wanita di sekitarnya agar berani bersuara saat diinjak dan suara mereka dibungkam.

Magie bahkan harus menerima cemoohan lantaran mengingkari dan melawan adatnya. Ia disebut-sebut sebagai wanita yang lupa adat dan lupa kebaya. Seperti apakah perjuangan Magie yang pada akhirnya membuahkan hasil? Karya ini sungguh menguras emosi dan memberikan ruang hampa tersendiri di hati pembaca. Dian Purnomo bahkan banyak menggunakan panggilan dan istilah sesuai dengan budaya setempat hingga pembaca mampu merasakan desir emosional dan suasana setempat dalam kejadian ini.

Novel ini memiliki banyak pesan bahwa ada adat dan kebudayaan kita yang perlu dijaga dan ada yang perlu diperbaiki. Apalagi jika budaya tersebut tidak memperlakukan manusia layaknya manusia, atau merugikan suatu pihak. Pesan lainnya adalah karya ini meyadarkan kita bahwa kejadian merendahkan perempuan itu nyata dan masih terjadi di bumi ini. Tidak terelakkan, perempuan harus belajar. Setidaknya perempuan harus berani bersuara demi menciptakan dunia yang lebih aman dan nyaman huni–untuk semua manusia, laki-laki maupun perempuan, yang berkuasa maupun yang biasa.[]

Identitas Buku

Judul Buku      : Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam
Penulis            : Dian Purnomo
Tebal               : 312 halaman
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit    : 2020

Tags: adatbukukuasaperempuanperjuanganresensiSumba
ShareTweetSendShare
Previous Post

Jika Pulang Selalu Tentang Pergi

Next Post

Pendidikan, Multiple Intelligences dan Persoalan Era Digital

Alifatul Lusiana U. C.

Alifatul Lusiana U. C.

Asal dari Bojonegoro dan tertarik kepada dunia kepenulisan. Dapat disapa lewat Instagram @aliflusiana.

Artikel Terkait

Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
Resensi

Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

24 Agustus 2025

Dalam hidup ini, pastinya kita pernah mengalami situasi keterburu-buruan. Waktu seolah-olah mengejar kita. Tak ada waktu lagi untuk sekadar duduk...

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
Resensi

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

26 April 2025

 “Manungsa kuwi gampang lali, Le. Mula kowe kudu sregep nyatheti. Nyatheti opo wae kanggo pangeling-eling. Mbesuk yen simbah lan ibumu...

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas
Resensi

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas

28 Maret 2024

Deretan kasus perundungan akhir-akhir ini terus bermunculan. Belum lama ini ramai tajuk berita seputar kasus perundungan di Binus School Serpong,...

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard
Resensi

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022

Judulnya Educated. Buku memoar yang mengantongi lika-liku kehidupan sebuah keluarga ‘penjaga’ lembah indah, Buck’s Peak, Idaho Amerika Serikat. Tara Westover...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Tiga P, Uraian Sajak Rendra Kesaksian Bapak Saijah

Tiga “P”

24 Januari 2021
Dari Pesisir

Dari Pesisir

12 Agustus 2021
Gambar Artikel Sajak Asal Njeplak

Sajak Asal Njeplak

20 Desember 2020
Gambar Artikel Wisata di Tarempa : Perjalanan Menuju Tarempa, Kepulauan Anambas

Perjalanan Menuju Tarempa, Kepulauan Anambas

30 April 2021
Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

4 April 2023
Gambar Artikel Aku dan Impian Terbesarku: Pengalaman Tinggal di Jerman

Aku dan Impian Terbesarku: Pengalaman Tinggal di Jerman

29 November 2020
Gambar Artikel Anomali Rokok dan Sepak Bola

Anomali Rokok dan Sepak Bola

8 Januari 2021
Nanda dan Kisah Pilunya

Nanda dan Kisah Pilunya

19 Juli 2021
Gambar Artikel Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

2 November 2020
4 Nilai Humanistik dalam Film “Hotel Transylvania: Transformania”

4 Nilai Humanistik dalam Film “Hotel Transylvania: Transformania”

1 Maret 2022
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.