“Goenawan Mohamad adalah penyair dengan suasana hati yang tangguh” demikian kata Linus Suryadi AG. Hal ini tercermin dalam pemakaian metafor, struktur makna dan idiom yang menjadi satu bulatan pesona atau taksu dalam tiap puisinya. Di samping dunia kasusastraan peran Goenawan di bidang jurnalistik tidak bisa di kesampingkan, GM (panggilan akrabnya) sangat pantas dilabeli sebagai salah satu sastrawan terkemuka yang karya-karyanya banyak memengaruhi penyair lintas generasi bahkan sampai sekarang.
Salah satu karya puisi GM yang cukup epik, sekaligus merupakan anggitan yang membagikan semacam sentience monumental dalam sajian estetik ialah puisinya berjudul “Saya Cemaskan Sepotong Lumpur” berikut ini:
Saya Cemaskan Sepotong Lumpur
Saya cemaskan sepotong lumpur di koral halaman
Saya cemaskan sepotong daun di koral halaman
Saya cemaskan kau, malam yang mengigau dengan gerimis tak kelihatan
1978
Analisis Makna Subjektif-Teoritis
Secara visual puisi ini memiliki elemen-elemen stilistika berulang namun ia sekaligus membentuk kesatuan (holistik) sehingga menciptakan spektrum lain pada tiap barisnya. Pada baris pertama kita akan di suguhi kata-kata yang memberi kesan dari perasaan gundah-gulana, takut, tertekan dan menimbulkan suatu ketidak nyamanan yakni Saya cemaskan. Di sini GM belum nampak bermain-main dengan idiom maupun metafor khas yang acapkali kita dapati dari berbagai tulisan beliau, ia justru secara eksplisit membentuk struktur lesikal dari tiap kata tersebut.
Pada kata selanjutnya kita akan ditakjubkan oleh sebuah leksem (se) potong lumpur di koral halaman. Pada kata inilah kita akan mendapati kekhasan GM koral halaman, koral di sini bisa bermakna kerakal, batuan karang ataupun lapangan yang terkurung pagar untuk mengandangkan atau menangkap ternak. Tetapi bila dilihat konteks gramatikal maka akan lebih bertendensi pada makna kedua yakni lapangan ternak. Lantas apa relevansinya sepotong lumpur dan koral halaman?
Pertama, apabila dikaji secara semantik kata lumpur bisa kita interpretasikan sebagai sebuah rintangan, kesusahan dan hal yang tak diinginkan namun sejatinya mengandung hal yang kita idamkan (tanah sawah dibajak, berlumpur dahulu sebelum mampu menjadi tempat subur menabur benih padi) yang mana secara komprehensif di baris pertama ini GM mencoba mengartikulasikan suasana batinnya yang tengah tak menentu sebab ada sesuatu yang dirasa sedang mencoba melawan keserasian, ketenangan, dan kenyamanan. Sesuatu yang dimaksud ini bisa jadi memiliki hubungan yang cukup intim dengan GM, hal ini dibuktikan dengan kata halaman yang berarti memiliki intensitas kedekatan dengan rumah (naungan) merefleksikan salah satu hal utama dalam kehidupan.
Pada baris kedua, GM memberi kesan yang hampir-hampir mirip dengan baris pertama. Ia mencoba mengontruksi semacam aliran hulu yang sama sehingga pembaca akan semakin larut dalam kekentalan imaji perasaan yang mengintervensi emosi yakni saya cemaskan, namun kali ini ia memakai idiom lain. Dari yang semula lumpur beralih ke daun seraya tetap memakai leksem (se) potong, di mana (se) potong memproyeksikan sesuatu yang terkoyak dari kebersamaan atau semacam parsial pula (ter)pisah, sendiri dan tidak menutup kemungkinan justru mengalami alienasi.
Adapun kata daun (nomina) dalam pemahaman penulis, kata daun apabila dipakai dalam konteks puisi sering kali mengandung takrif konotatif sebagai redaman gejolak, naungan, kelenjar kesabaran dan bagian dari ketentraman sekaligus kejernihan. Sehingga saya cemaskan sepotong daun dikoral halaman berarti sebuah lingkaran keadaan, seluk-beluk di mana si saya atau GM ini tengah mengalami keresahan akut terhadap suatu hal-ihwal yang berhubungan dengan kebiasaan, kelaziman dan jalan lurus di dalam ranah nyamannya.
Terakhir, pada baris ketiga GM lagi-lagi membentuk pola yang sama sebentuk reduplikasi dengan menyuguhkan imaji dari perasaan yang gundah-gelisah, risau dan marai mikir aneh-aneh. Tapi kali ini GM benar-benar menegaskan arah tujuan dari perasaannya kepada hal yang mawujud dan egaliter yaitu “kau”, dan “kau” di sini dipertautkan dengan kata malam yang mengigau. Kata malam yang mengigau merupakan sebentuk majas personifikasi di tambah kata “mengigau” sendiri merupakan resultan dari perpindahan makna secara onomatope. Di samping itu GM menorehkan semacam pesona kekal dengan idiom penuh gerimis tak kelihatan di mana “gerimis” sendiri simile dari perasaan sayu, tangis, redam, kesedihan.
Apabila di kaitkan dengan kata sebelumnya yakni saya cemaskan dan yang menarik hal-hal tersebut seakan dirahasiakan, dipendam tak dapat dijamah “tak kelihatan”. Sehingga hanya si saya dan kau yang tau-menau atau setidaknya preunderstanding akan hal tersebut. Sebab hanya si saya yang dapat mengetahui “gerimis” pada si kau.
Begitulah sedikit uraian dan analisis terhadap salah satu puisi GM, yang mana GM selalu hadir dengan kemampuan menata kata, kecermatan suasana dan keterampilan pemilihan diksi, GM adalah lawan dari monodimensional!