• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Kamis, 21 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Resensi

Analisis Puisi Goenawan Mohamad “Saya Cemaskan Sepotong Lumpur”

Hisyam Billya Al-Wajdi by Hisyam Billya Al-Wajdi
23 April 2021
in Resensi
0
Gambart Artikel : Analisis Puisi Goenawan Muhammad Saya Cemaskan Sepotong Lumpur

Source Gambar : https://www.whiteboardjournal.com/ideas/goenawan-mohamad-berbicara-orde-baru-dan-pergerakan-anak-muda/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

“Goenawan Mohamad adalah penyair dengan suasana hati yang tangguh” demikian kata Linus Suryadi AG. Hal ini tercermin dalam pemakaian metafor, struktur makna dan idiom yang menjadi satu bulatan pesona atau taksu dalam tiap puisinya. Di samping dunia kasusastraan peran Goenawan di bidang jurnalistik tidak bisa di kesampingkan, GM (panggilan akrabnya) sangat pantas dilabeli sebagai salah satu sastrawan terkemuka yang karya-karyanya banyak memengaruhi penyair lintas generasi bahkan sampai sekarang.

Salah satu karya puisi GM yang cukup epik, sekaligus merupakan anggitan yang membagikan semacam sentience monumental dalam sajian estetik ialah puisinya berjudul “Saya Cemaskan Sepotong Lumpur” berikut ini:

Saya Cemaskan Sepotong Lumpur

Saya cemaskan sepotong lumpur di koral halaman
Saya cemaskan sepotong daun di koral halaman
Saya cemaskan kau, malam yang mengigau dengan gerimis tak kelihatan

1978

Analisis Makna Subjektif-Teoritis

Secara visual puisi ini memiliki elemen-elemen stilistika berulang namun ia sekaligus membentuk kesatuan (holistik) sehingga menciptakan spektrum lain pada tiap barisnya. Pada baris pertama kita akan di suguhi kata-kata yang memberi kesan dari perasaan gundah-gulana, takut, tertekan dan menimbulkan suatu ketidak nyamanan yakni Saya cemaskan. Di sini GM belum nampak bermain-main dengan idiom maupun metafor khas yang acapkali kita dapati dari berbagai tulisan beliau, ia justru secara eksplisit membentuk struktur lesikal dari tiap kata tersebut.

Pada kata selanjutnya kita akan ditakjubkan oleh sebuah leksem (se) potong lumpur di koral halaman. Pada kata inilah kita akan mendapati kekhasan GM koral halaman, koral di sini bisa bermakna kerakal, batuan karang ataupun lapangan yang terkurung pagar untuk mengandangkan atau menangkap ternak. Tetapi bila dilihat konteks gramatikal maka akan lebih bertendensi pada makna kedua yakni lapangan ternak. Lantas apa relevansinya sepotong lumpur dan koral halaman?

Pertama, apabila dikaji secara semantik kata lumpur bisa kita interpretasikan sebagai sebuah rintangan, kesusahan dan hal yang tak diinginkan namun sejatinya mengandung hal yang kita idamkan (tanah sawah dibajak, berlumpur dahulu sebelum mampu menjadi tempat subur menabur benih padi) yang mana secara komprehensif di baris pertama ini GM mencoba mengartikulasikan suasana batinnya yang tengah tak menentu sebab ada sesuatu yang dirasa sedang mencoba melawan keserasian, ketenangan, dan kenyamanan. Sesuatu yang dimaksud ini bisa jadi memiliki hubungan yang cukup intim dengan GM, hal ini dibuktikan dengan kata halaman yang berarti memiliki intensitas kedekatan dengan rumah (naungan) merefleksikan salah satu hal utama dalam kehidupan.

Pada baris kedua, GM memberi kesan yang hampir-hampir mirip dengan baris pertama. Ia mencoba mengontruksi semacam aliran hulu yang sama sehingga pembaca akan semakin larut dalam kekentalan imaji perasaan yang mengintervensi emosi yakni saya cemaskan, namun kali ini ia memakai idiom lain. Dari yang semula lumpur beralih ke daun seraya tetap memakai leksem (se) potong, di mana (se) potong memproyeksikan sesuatu yang terkoyak dari kebersamaan atau semacam parsial pula (ter)pisah, sendiri dan tidak menutup kemungkinan justru mengalami alienasi.

Adapun kata daun (nomina)  dalam pemahaman penulis, kata daun apabila dipakai dalam konteks puisi sering kali mengandung takrif konotatif sebagai redaman gejolak, naungan, kelenjar kesabaran dan bagian dari ketentraman sekaligus kejernihan. Sehingga saya cemaskan sepotong daun dikoral halaman berarti sebuah lingkaran keadaan, seluk-beluk di mana si saya atau GM ini tengah mengalami keresahan akut terhadap suatu hal-ihwal yang berhubungan dengan kebiasaan, kelaziman dan jalan lurus di dalam ranah nyamannya.

Terakhir, pada baris ketiga GM lagi-lagi membentuk pola yang sama sebentuk reduplikasi dengan menyuguhkan imaji dari perasaan yang gundah-gelisah, risau dan marai mikir aneh-aneh. Tapi kali ini GM benar-benar menegaskan arah tujuan dari perasaannya kepada hal yang mawujud dan egaliter yaitu “kau”, dan “kau” di sini dipertautkan dengan kata malam yang mengigau. Kata malam yang mengigau merupakan sebentuk majas personifikasi di tambah kata “mengigau” sendiri merupakan resultan dari perpindahan makna secara onomatope. Di samping itu GM menorehkan semacam pesona kekal dengan idiom penuh gerimis tak kelihatan di mana “gerimis” sendiri simile dari perasaan sayu, tangis, redam, kesedihan.

Apabila di kaitkan dengan kata sebelumnya yakni saya cemaskan dan yang menarik hal-hal tersebut seakan dirahasiakan, dipendam tak dapat dijamah “tak kelihatan”. Sehingga hanya si saya dan kau yang tau-menau atau setidaknya preunderstanding akan hal tersebut. Sebab hanya si saya  yang dapat mengetahui “gerimis” pada si kau.

Begitulah sedikit uraian dan analisis terhadap salah satu puisi GM, yang mana GM selalu hadir dengan kemampuan menata kata, kecermatan suasana dan keterampilan pemilihan diksi, GM adalah lawan dari monodimensional!

Tags: analisis puisianalisis puisi GMgoenawan mohamadsaya cemaskan sepotong rumput
ShareTweetSendShare
Previous Post

Dua Lelaki

Next Post

Game yang Lagi Viral di Tahun 2021

Hisyam Billya Al-Wajdi

Hisyam Billya Al-Wajdi

Penulis lahir di Bantul, Yogyakarta. Pada 11 Februari 2002. Saat ini menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga, Prodi Aqidah Filsafat Islam. Puisinya dimuat beberapa media  dan antologi bersama. Selain berkecimpung di dunia kampus, penulis juga menyibukkan diri mengelola kebun di halaman belakang rumah. Penulis menetap di Bantul,Yogyakarta.

Artikel Terkait

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
Resensi

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

26 April 2025

 “Manungsa kuwi gampang lali, Le. Mula kowe kudu sregep nyatheti. Nyatheti opo wae kanggo pangeling-eling. Mbesuk yen simbah lan ibumu...

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas
Resensi

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas

28 Maret 2024

Deretan kasus perundungan akhir-akhir ini terus bermunculan. Belum lama ini ramai tajuk berita seputar kasus perundungan di Binus School Serpong,...

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard
Resensi

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022

Judulnya Educated. Buku memoar yang mengantongi lika-liku kehidupan sebuah keluarga ‘penjaga’ lembah indah, Buck’s Peak, Idaho Amerika Serikat. Tara Westover...

Menyoal Tirani: Pelajaran Penting Demokrasi Abad Ini
Resensi

Menyoal Tirani: Pelajaran Penting Demokrasi Abad Ini

9 Agustus 2022

Pada abad ke-21 ini, kita menghadapi pelbagai persoalan demokrasi di Indonesia—merujuk kepada kebebasan berpendapat dan pemenuhan hak-hak masyarakat—menjadi indikator penting...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Menjadi Perempuan Berparas Cantik, Prioritas-kah?

Menjadi Perempuan Berparas Cantik, Prioritas-kah?

11 September 2021
Telur, Susu, dan Viagra di Cafe Puisi Mbeling

Telur, Susu, dan Viagra di Cafe Puisi Mbeling

27 Januari 2021
Perempuan di Mata Asghar Ali Engineer

Perempuan di Mata Asghar Ali Engineer

29 Juni 2021
Gambar Artikel Puisi Tentang Kopi - Setabah Kopi

Setabah Kopi

24 Desember 2020
Gambar Artikel Kedalaman dan Sajak untuk Novel Baswedan

Kedalaman dan Sajak untuk Novel Baswedan

3 Desember 2020
Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

16 Februari 2021
Dismorfia Kehidupan

Dismorfia Kehidupan

1 Februari 2022
Gambar Artikel Bias Kegelisahan dan Kenangan

Bias Kegelisahan dan Kenangan

17 November 2020
Gambar Artikel Lirih Menangis

Lirih Menangis

17 Januari 2021
Berteman dengan Kegagalan

Berteman dengan Kegagalan

7 Mei 2022
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.