Kami diberi kabar, kabar tidak baik-baik saja kehilangan pahlawan yang tak semua
sadar hadirnya, lelah peliknya, pengap sengapnya. Kehilanganmu diumumkan di muka layar
televisi besar di ruang makan, di layar kecil telepon genggam mahal, di radio usang, di surat
kabar, di majelis rapat, di selebaran dan di perbincangan.
Kami diberi kabar, bahwa orang gagah yang menyusuri perairan menjaga keamanan
bertemu macam ikan di lautan, yang ditayangkan berseragam hitam dan berjumlah 53 orang
tak ada lagi kabar keberadaan.
Doa-doa tak putus terapal, dari seluruh negeri yang menerima kabar tidak baik-baik saja. Anak yang
menanti datang kehadiran, istri yang merindukan hangat pelukan, ayah ibu yang tak lupa sebelum keberangkatan
dicium tangan. Menanti dengan tidak baik-baik saja, kabar semoga baik-baik saja.
Berbagai tampilan muncul bak pagelaran, menampilkan harapan. Kabar yang akan berkabar adalah kabar
baik-baik saja yang diharapkan semua. Kembali menuju pelukan, ternyata tak ada apa-apa yang terjadi
pokoknya semua baik-baik saja.
Waktu berlalu, menanti tak pasti memutuskan satu persatu tali harap. Namun lainnya masih tak segan menggenggam
dengan penuh khusyuk yang dibangun di doa-doa malam di bulan ampunan, di minggu pagi di gereja, di mana saja tempat
Tuhan yang ada di mana saja. Doa terbersit di pasar, terapal di jalan, terpekik di kendaraan, pokoknya di mana ada
berita dari seluruh negeri tersiar.
Doa-doa kita tak lebih pengasih dari pemilik Asih. Ia dekap erat kepulangan amerta 53 dengan gemerlap di dalam kedalaman
tempat terdalam segala harap terengkuh angkuh. 53 kembali dengan jumawa, bukan lagi pulang kepelukan terkasih di sudut daratan, ia menembusnya menuju langit tempat pulang keabadian. Menembus batas amerta!
Puisi ini didedikasikan untuk 53 Prajurit KRI Nanggala 402 yang menjalankan tugasnya menjaga samudera selama-lamanya.