Lonceng yang Berdentang di Sekujur Tubuhmu
dalam petualangan musim
kau dibangunkan derita
bayangan masa lalu yang pekat
bertamu di ruang pikiran
saban harinya
sementara timbunan debu-debu
yang setia dikumpulkan
sepasang telapak tangan
masih saja kau sembunyikan
di balik wajahmu yang cerlang
seiring perjalanan waktu
pikiranmu terbuka
bahwa lonceng yang berdentang di sekujur tubuh
adalah sabda usia yang mulai rapuh
maka kau pun membungkus hari-harimu
dengan dzikir dan doa
menggapai ma’rifat dalam sujud panjang
saat kematian semakin menyala-nyala
Kuala Dua, 2021
Menakwil Mimpi
di bibir danau Sentarum
kau bercerita tentang takdirmu
yang dipatuk sekumpulan gagak
ketika malam buta
tubuhmu gemetar dimandikan asin keringat
kala bahasaku meriwayatkan kesedihan
gegas berkunjung di jendela matamu
yang kuambil dari teduh bibir Yusuf
saat kebenarannya dipenjara
aku mencoba meniupkan doa doa
pada batinmu yang gelisah
sembari menunjuk mata danau
terlihat langit sedang bercemin
dan memantulkan muasal derita
“Kepada-Nya kita menundukan wajah.”
Kuala Dua, 2021
Lelaki yang Baru Membuka Pintu
di saat matahari
mengintip di kaki langit
ia bergegas menuju bahagia
perut sudah kenyang
diganjal sepotong roti dan secangkir kopi
ia merapikan waktu sebaik mungkin
lewat meja yang setia mencatat riwayat lelahnya
sebab dari balik jendela
kesalahan mengintai dengan nyalang
ini pertama kalinya
ia menelan keringatnya sendiri
sebelumnya
hari begitu telaten mengasuhnya di langit kamar
terkapar tak tentu arah
Kuala Dua, 2021
Pada Tiap Kenangan yang Tak Bisa Kau jangkau
di sudut malam
yang harum akan doa
aku gemar menyusun kenangan kita
yang gugur dari ingatan
di halaman rindu
meski harus terkalung kepedihan
hingga tenggelam di keruh air mata
sebut saja aku berlebihan
sebab kehilangan, seperti angin
sulit untuk dihindari
sesekali ingin aku meruntuhkannya
namun cinta masih bara di matamu
biarlah kutaruh sabar di beranda waktu
sampai kau mengajakku menari di terangnya masa depan
Kuala Dua, 2021
Melankolia Perjalanan Musim
Kulihat penderitaan mulai menghunjam
seperti belati menancap jantungku
kematian beranak-pinak, maut mengintai di setiap penjuru
lantaran disergap segerombolan wabah tak kentara
Semua orang dibelenggu sepi
memilin takdir di pelataran rumah
mengepakkan doadoa dan merangkai puisi
meski begitu, kami tetap setia menimbun air mata
Kini getirnya hidup semakin kental
menyeret nasib keluar dari pintu kerja
sebab pundipundi yang digenggam perusahaan
tak dapat menenangkan amuk kelaparan
Entah sampai kapan?
musimmusim menelan kepedihan;
mengusir jauh kecemasan
agar menghidu aroma kedamaian
Kuala Dua, 2021