Wanita itu berjalan tertatih-tatih tetapi tak sampai merangkak. Wajahnya tampak letih. Dikungkung hawa dingin dan aroma Subuh. Bertabur remang kuning lampu jalanan dan asap kendaraan yang walaupun jalanan masih sepi bukankah asap akan selalu berputar di kota yang tidak pernah mati? Videotron di ujung perempatan berkelip-kelip, menampilkan iklan sampo dan artis cantik jelita dengan rambut hitam panjang tergerai dan mata berkilau juga pipi kemerah-merahan serta senyum menawan yang akan membuat lelaki-lelaki menaruh hati padanya. Rumiah terkekeh. Bukankah dulu aku juga seperti itu, pikirnya.
Seketika itu pula, azan Subuh berkumandang. Susul menyusul dari satu surau ke surau yang lain. Dari satu muazin ke muazin lain. Seperti sebuah vokal grup, yang bernyanyi susul menyusul antar personil. Rumiah diam sejenak, tak ingin lantunan azan itu terlewatkan sia-sia, meskipun biasanya azan sudah sering dilewatkan sia-sia, namun Rumiah tak ingin melewatkannya.
Rumiah menghela napas. Sesaat terasa hangat. Seperti pelukan ibu sesaat sebelum melepasnya untuk pergi ke sekolah sambil berkata, “Hati-hati ya, nduk.” Ingatan indah yang teramat indah menguar di kepalanya. Rumiah tersenyum. Meskipun kecil, itu tetaplah sebuah senyum. Hingga tak lama ingatan semalam mendesak. Rumiah hanya bisa mendapatkan satu tamu, dengan perut besar dan wajah beringas yang pastinya bernas, serta bau badannya yang seakan tak pernah mau lepas dari tubuh Rumiah.
Setidaknya azan Subuh beribu kali lebih baik daripada dengus berahi si gendut tadi, pikirnya lagi. Air matanya terkumpul, namun enggan meluruh. Segera menampik ingatan tersebut, juga ingatan ribuan malam sebelumnya.
Sesudah berjalan berlangkah-langkah—yang tentunya tak perlu dihitung–terlihat para jemaah berkerumun di depan surau kecil, di depan rumah sewaannya yang tunggakan sewanya belum juga terbayar. Mencari sandal masing-masing, bersiap meninggalkan surau. Meski Rumiah kerap—mungkin hampir selalu—tidak tidur malam, tak menjadi alasan untuk matanya jadi tidak awas. Ada rasa gelisah di hati Rumiah.
Rumiah memperlambat langkahnya. Sangat lambat. Tak ingin sampai dilihat para jemaah. Kebanyakan jemaah berumur setengah abad, melangkah pelan dan khidmat meninggalkan surau. Rumiah menghentikan langkah. Tak ingin memperpendek jarak. Perasaan gelisah berubah menjadi takut, benar-benar tak ingin dilihat oleh mereka, sesenti pun lekuk tubuhnya—apalagi dengan pakaian maha ketat yang masih membungkus tubuhnya itu—walaupun Rumiah sedikit banyak yakin kalau penglihatan jemaah sudah tak awas. Satu per satu dilihatnya menghilang hingga jemaah terakhir ikut menghilang di ujung trotoar.
Rumiah melepas sepatu high heels-nya yang penuh sesak. Dihapusnya pula gincu dengan lengan bajunya. Dengan penuh rasa ganjil, Rumiah melangkah masuk. Surau itu kecil, hanya beberapa depa dengan sebuah serambi yang tak kalah pula kecilnya. Di surau kecil dan sepi, suara jam dinding terasa lebih nyaring. Sajadah hijau tua panjang yang ujungnya menggulung, rak tua berisi sarung dan mukena yang tak terlipat, aroma kitab suci tua yang sampulnya telah hilang entah kemana, lampu remang, dan bau cat tembok surau yang sudah keropos di beberapa sisi.
Semua tetap terasa janggal dan aneh bagi Rumiah meskipun ia sudah berulang-ulang kali mengunjungi surau ini setiap habis malam. Ingatan tentang malam ini dan tak lupa juga ribuan malam sebelumnya memenuhi kepala. Bukankah Tuhan Maha Pemaaf? pikirnya lagi-lagi. Air matanya kini menetes. Cukup satu tetes. Sebab, buat apa menangisi hal yang kerap ia lakukan.
***
Hidup tak pernah jadi lebih indah semenjak sosok cinta pertama Rumiah meninggalkan ia dan ibunya. Kala itu ia masih anak SMU yang belajar sebuah sekolah kecil di pinggir desa. Rumiah anak tunggal. Tak ada sanak, tak ada saudara. Ibunya pun tak lain hanyalah seorang pelipur lara ayahnya sepulang kerja menjadi buruh. Semenjak ayahnya meninggalkannya, ibunya susah mati mencari pekerjaan agar keluarga kecilnya tetap hidup. Menjadi pembantu saudagar kaya kala pagi dan menjadi tukang cuci piring di warung kala sore. Malam pun terkadang ibunya masih mencari-cari pekerjaan yang secuil upahnya masih bisa diterimanya—lagi-lagi soal mencuci piring.
Rumiah begitu sedih melihat ibunya yang banting tulang untuknya. Sempat tebersit di hati kecilnya untuk tak usah melanjutkan sekolah dan hanya ingin membantu ibunya yang tak pernah memasang wajah gembira sepulang mencari upah. Hingga datanglah seorang saudagar kaya murah senyum kenalan ayahnya dari kota yang membawa janji dan harapan segar–yang sejatinya busuk.
Ditawarkannya sebuah pekerjaan untuk Rumiah dengan upah besar di kota gemerlap nun jauh di sana. Rumiah yang tahu kondisi rumah tangganya yang kalang kabut bersikeras untuk ikut. Sang ibu kalut. Antara tak ingin melepas sang buah hati namun kondisi ekonomi juga sakit. Akhirnya tanpa fafifu, diizinkanlah Rumiah bekerja di kota seperti yang telah dijanjikannya dan ditinggalkannya ibu sendirian.
Rumiah tertegun dari balik kaca mobil ketika melihat pemandangan kota yang berkelip-kelip. Bagi Rumiah pemandangan kota dimalam hari amat menyilaukan. Di desa ia hanya pernah melihat pemandangan kota lewat buku-buku pelajaran dan ensiklopedia perpustakaan sekolah. TV? Ah apa itu TV? Si murah senyum itu membawanya ke sebuah rumah yang besar dengan pagar kuat dan halaman luas—dengan rumah yang tak kalah luas pula. Dibawanya ia masuk ke lantai dua. Tembok rumah itu penuh ornamen dan lukisan-lukisan abstrak di sepanjang dinding lantai bawahnya, serta vas bunga yang penuh dengan ornamen pula.
Masuklah ia ke kamarnya dengan AC dan kasur empuk serta meja rias yang megah. Si murah senyum bilang kamar itu untuknya beristirahat. Rumiah manggut-manggut dan melangkah masuk untuk menaruh tasnya di atas kasur. Sikap aneh ditunjukkan si murah senyum. Si murah senyum tak kunjung pergi dari depan pintu dan tetap senyam-senyum di sana.
Seketika itu murah senyum berubah menjadi setan berkepala hitam dengan seringai yang begitu panjang melangkah masuk dan menghampiri Rumiah dengan membawa sebuah tali lasso yang entah muncul dari mana lalu mengikat kedua tangannya dan lagi-lagi dengan tanpa fafifu ia merobek-robek sandang Rumiah dan merenggut kesuciannya tanpa ampun sampai puas.
Setelah ia puas, Rumiah diseret keluar kamar dan dibawa ke belakang rumah melewati lorong-lorong yang mana di dalam lorong-lorong tersebut terdapat lorong-lorong dan kamar-kamar pula. Dimasukkannya Rumiah yang belum juga memakai busana ke salah satu kamar yang lebih kecil daripada kamar neraka tadi, tapi sama mewahnya.
Terdengar suara orang bercakap di balik pintu.
“Tangkapan baru bos?”
“Yoi, jangan macam-macam dengan anak itu, harganya mahal.”
“Masih sempit bos?”
“Enak saja! Ya pasti udah nggak lah.”
Rumiah hanya bisa menangis, kenapa pula ia tak menuruti ibunya untuk tak ikut. Dari malam ke malam ia melayani berahi-berahi pelanggan yang tak pernah ada habisnya. Pelanggan Rumiah biasanya berdasi, orang kaya. Rumiah selalu menangis saat melayani pelanggannya. Itu membuat mereka tak puas. Rumiah juga kerap kena marah oleh si setan senyum karena membuat pelanggan tak puas, sehinnga ia pun diberi ancaman-ancaman yang kerap memilukan. Hingga pada akhirnya Rumiah memutuskan untuk kabur.
Dengan membawa uang cukup banyak, hasilnya melayani tamu selama hampir sebulan. Rumiah pergi dan mencari pekerjaan yang lebih baik di kota, sambil sesekali bersembunyi di jalan sempit di celah-celah bangunan untuk bersembunyi, ia takut dicari. Namun entah mengapa seakan kota itu telah menolaknya. Tak usah sebut kantor, warung-warung makan pun tak mau menerimanya. Orang-orang kota tersebut mencampakkannya, dengan julukan dan kata-kata yang menyayat hati.
Entah bagaimana bisa semua orang tau dan entah bagaimana pula ia tak dicari oleh orang-orang dari rumah neraka itu. Rumiah malang juga tidak bisa apa-apa. Ia hanya suka menari waktu dulu di sekolah. Melihat isi kantong yang menipis, Rumiah akhirnya menyewa sebuah rumah kecil dan kembali menjadi wanita malam yang melayani para lelaki beringas. Namun kini ia berjalan sendiri, tak ingin dirinya diperbudak lagi.
***
Matahari mengelus lembut kepala Rumiah, melalui celah jendela dan angin-angin surau. Aroma kitab tua yang sampulnya masih hilang terus menguar. Azan subuh masih berdenging di telinga Rumiah. Di sisa subuh tadi, direguknya habis semua doa-doa yang pernah ia pelajari waktu dulu mengaji di surau. Air matanya telah kering, entah habis atau memang sudah kering. Setidaknya dulu aku pernah mengaji, pikirnya sambil terisak.
Segera ia beranjak setelah mengembalikan mukena pinjamannya ke rak, dan kembali menggunakan sepatu high heels yang penuh sesak. Pemandangan orang dan kendaraan berlalu lalang depan surau—juga depan rumahnya—tampak ngeri. Masih adakah yang peduli? Kelihatannya tidak.
Rumiah masuk ke ruang tamunya yang tak mau kalah kecilnya dengan surau. Dilihatnya cermin meja rias usang yang sudah rompal bagian pinggirnya. Melihat wajahnya yang sekarang entah sudah umur berapa, lagipula buat apa menghitung umur, toh yang penting masih ada yang ‘doyan’ dan ia bisa membeli makan.
Ia bisa mendengar suara renyah anak gadis sekolah. Selintas teringat ia suka menari waktu sekolah dulu, dan juga siapa pula pemuda desa yang tak suka dengan Rumiah. Pelan-pelan tangan Rumiah mengayun, badannya menggelayut, kakinya maju-mundur, mengingat gerakan tari yang ia pelajari dulu.
Terdengar suara pintu dibuka pelan.
“Ibuk, seragam merah putihku di mana?”
Air mata Rumiah kembali mengalir.[]
NB: Cerpen ini terinspirasi dari lagu Iwan Fals dengan judul “Azan Subuh Masih di Telinga”, termuat di album Sugali yang dirilis pada tahun 1984.