Udara terasa dingin seperti jarum-jarum yang tajam dan menusuk menembus pori-pori hingga ke tulang. Kesepuluh pemuda itu menggigil, bukan karena malam yang dingin, bukan pula karena angin laut yang dengan ganas menerkam tubuh mereka, namun oleh rasa takut yang membayang-bayang di benak mereka. Ada dua hal yang melahirkan rasa takut; takut karena tidak mengetahui sesuatu dan takut karena sudah tahu dengan pasti. Dan ketakutan para pemuda ini adalah ketakutan yang kedua. Film yang menampilkan adegan pembunuhan paling kejam terus berputar-putar di benak mereka, dan pemeran korban dalam film itu, adalah diri mereka sendiri.
Beberapa jam sebelum itu….
Langit malam begitu jernih hingga Bintang Biduk dan Orion terlihat tergantung seperti titik-titik berlian yang kerlap kerlit di kejauhan. Bulan pun begitu jelas membagi cahaya matahari pada penduduk bumi, membuat malam begitu cerah dan begitu tenang. Pemandangan di sekitar pantai menjadi terang bahkan tanpa penerangan lampu sama sekali. Angin laut berhembus tak begitu keras, memperdengarkan deburan ombak yang menyerupa musik di telinga seorang pria yang sedang meneguk segelas anggur Krug 1928; anggur yang harga satu botolnya bisa digunakan untuk memberi makan dua puluh keluarga miskin di kota selama sebulan.
Tak jauh dari lokasinya, tiga mobil jip melaju menembus hening malam menuju ke sebuah rumah mewah di tepi pantai. Ketiga mobil itu berisi tiga belas pemuda berbadan tegap dengan rambut cepak. Kini mobil itu tengah melewati perkampungan kumuh di tepian kota, sebuah kampung yang ditinggali perampok, pengedar narkoba, penjudi, pelacur, dan anak-anak berwajah kotor. Anak-anak yang tak tahu waktu, berkeliaran di jalan di kala malam, anak-anak yang tak punya orang tua untuk mengingatkan bahwa sekarang sudah waktunya untuk mereka pulang dan tidur nyenyak. Dan sayangnya tak pernah ada tidur nyenyak untuk anak-anak jalanan.
“Lihat wajah-wajah kotor ini, mereka tidak punya masa depan.”
“Pilihan mereka hanya dua menjadi sampah atau menjadi tentara Darius. Dan keduanya itu sama saja. Sama-sama sampah.”
“Benar. Mereka adalah noda untuk kota ini.”
Gamal yang mendengar obrolan itu diam saja, tidak ikut menimpali apa yang dikatakan rekan-rekannya. Ia selalu begitu, selalu diam dan memasang wajah serius. Bahkan saat rekan-rekannya bersenang-senang dengan segala yang bisa membuat mereka senang, ia tak pernah mau peduli atau ikut-ikutan seolah tak ada satu pun yang bisa membuatnya senang. Tersenyum pun ia jarang.
Para pemuda ini membawa sebuah misi rahasia; menghentikan kekacauan yang terjadi di seluruh penjuru negeri dengan menemui kantong-kantong kekuasaan yang diduga memberikan aliran dana ke basis-basis pemberontak yang ingin menggulingkan kekuasaan. Mereka harus berhasil meyakinkan raja kecil ini untuk kembali memihak pada penguasa yang sebenarnya, penguasa yang legal. Jika gagal maka tiada pilihan lain selain eksekusi.
Tiba di rumah yang serupa istana, para pemuda ini heran karena tiada yang menyambut mereka selain deburan ombak. Rumah itu begitu sunyi, begitu sepi, dan begitu hening. Tak nampak satu pun kehidupan di dalamnya.
“Hei Gamal, benar tidak ini tempatnya?” Tanya Robert yang suaranya selalu paling keras.
Gamal hanya mengangguk.
Ketiga belas pemuda itu turun dari mobil. Wajah mereka serupa kanebo kering, kaku. Tawa-tawa yang tadi sahut-menyahut, lenyap ditelan perasaan tegang. Meski bersenjata lengkap, mereka belum pernah turun langsung dalam misi seperti ini, memburu musuh organisasi. Hanya Anton, pimpinan mereka yang terlihat lebih tenang.
Anton berteriak memanggil tuan rumah, meminta pintu gerbang besi setinggi dua meter itu dibuka. Tak ada jawaban. Robert murka dan memukul gembok itu dengan gagang senapan. Gembok itu begitu besar, menempel pada rantai yang begitu tebal. Tidak berhasil. Gamal dengan wajah dingin menembak gembok. Gerbang terbuka. Mereka segera masuk, menyusup dengan moncong senapan menjadi depan. Diarahkan ujung senapan ke arah mereka melangkah. Saat sedang menyusuri sekeliling rumah, mereka kaget mendengar sambutan tuan rumah.
“Tidak perlulah sampai menembak.”
Darius berdiri di beranda lantai dua memegang segelas anggur. Ia sedari tadi memperhatikan apa yang diperbuat tamu-tamunya. Wajah-wajah tegang itu berubah murka. Senapan-senapan mereka menodong Darius dan mengancamnya untuk turun. Darius mengangkat kedua tangan, dengan tangan satunya memegang segelas anggur, lalu turun menyambut tamunya.
“Santai. Tidak perlu ada darah di rumah ini.”
“Kau kasih pergi ke mana orang-orangmu?” teriak Robert.
“Aku telah bangkrut. Pemerintah terlalu sibuk cari muka, menggangu bisnisku.”
Anton memberi instruksi pada anak buahnya untuk menurunkan senjata, namun tetap waspada. Darius mempersilahkan mereka semua masuk. Anton yang selalu cerdik dan sigap memerintahkan dua orang menjaga pintu. Gamal dan Andri, mengajukan diri.
“Kau tahu tujuan kami kemari.”
“Setoran bukan?”
“Jangan sombong kau penjahat! Kau pikir kami ini orang-orang yang biasa kau beri uang,” Robert panas.
“Ah, iya memang bukan. Tapi kalian ini kan kacang ijo, kacang ijo mana yang tidak bisa dibayar?”
“Kupecahkan kepalamu!” Robert menodongkan senjatanya ke arah kepala Darius. “Kau pikir kami tidak tahu ke mana uang kotormu kau kirim?”
Darius tidak merespon dan malah duduk dengan santainya di sofa. Anton dengan tenang menurunkan senjatanya. Anton memulai pembicaraan yang waras dan tetap awas. Ia terus menimbang-nimbang lawan bicaranya.
“Sudahlah Anton, kau itu cerdas. Kamu pikir sekarang ini kamu sedang berbuat untuk negeri?! Patriotisme itu sudah mati sejak organisasi terlalu banyak ikut campur.”
“Mungkin saja, tapi sistem sudah berjalan. Mendobrak sistem hanya akan memakan korban.”
“Aku tak menyangka orang sepertimu memikirkan korban.”
“Jaga mulutmu penjahat!”
“Robert…Robert… bisakah kau diam sebentar? Kamu yang dulunya cuma tukang razia buku berani-beraninya menggertakku. Hanya karena bersenjata kamu merasa berkuasa. Kamu pikir aku ini pedagang buku kiri yang bisa kau takut-takuti?” Nada bicara Darius naik, ia terlihat gusar menanggapi mulut Robert yang kasar.
“Pernahkan kamu bertanya kenapa organisasi menggunakanmu?” Ia mengambil jeda kemudian tersenyum menunggu reaksi lawan bicara. Ketika lawan bicaranya akan menjawab ia memperlihat senyum tak simeteris yang terlihat begitu sinis di bibirnya lalu melanjutkannya perkataannya lagi, “Itu karena kamu Anjing penurut! Apa pun perintahnya akan kamu lakukan tanpa bertanya. Benar begitu, Gamal?”
Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut melihat Gamal muncul bersama belasan pria bersenjata lengkap. Ruang tamu yang luas berubah menjadi sempit. Beberapa orang juga terlihat juga di sela-sela jendela, menunggu instruksi sembari menodongkan senjata. Para penyerang yang tadinya mengepung, kini terkepung.
“Apa-apaan kau ini Gamal? Di mana Andri?” tanya Anton kaget.
“Sudah tidur dengan tenang…”
“Brengsek!” Robert segera menodongkan moncong senjata itu ke Gamal, namun yang ditodong hanya tersenyum. Mereka semua ngeri melihat Gamal tersenyum, tak seorang pun pernah melihat Gamal tersenyum sampai mereka berpikir Gamal memang tak tahu caranya tersenyum.
“Sudahlah Robert. Kau dan aku sama-sama tahu. Kita ini cuma anjing yang dipersenjatai, anjing yang menunggu perintah. Nyawa yang kita pertaruhkan ini, tak ada harganya bagi mereka yang duduk santai di kursi emas jauh dari medan tempur. Kita yang…….., mereka yang mendapat bintang pada seragamnya. Kau dan aku tidak akan pernah menjadi apa-apa. Kita berdua ini hanya anjing! Sedangkan mereka ini adalah titipan, warisan. Bagaimana kalau kamu menjilat majikan yang berbeda?”
“Bangkret!” Robert kembali mengumpat. Matanya melotot dan wajahnya yang gelap memperlihatkan gelagat akan mengamuk. Anton yang mengerti situasi, menenangkannya, lalu berkata, “Gamal kamu pasti tahu sebesar apa organisasi. Kamu hanya melihat bayangannya.”
Anton berusaha tenang sambil terus menganalisa, menghitung untung rugi jika sampai baku tembak terjadi. “Kamu tahu kan tidak ada yang bisa menyentuh organisasi, bahkan jejak kakinya pun tak akan bisa kau ikuti.”
“Organisasi tidak punya tempat untuk lari. Negeri sedang membara.”
“Lantas kamu memilih Darius? Dia tidak berbeda dengan orang-orang di atas sana. Kamu hanya menukar buaya dengan singa,” Anton terlihat gusar. Ia sadar situasi lebih tidak menguntungkan tim penyerang.
“Aku tak peduli. Musuh dari musuhku adalah teman.”
“Kami bersenjata lengkap. Kalian bersenjata lengkap. Meski kalian lebih banyak, kami punya pengalaman. Jika ini dilanjutkan mungkin tidak ada satu pun dari kita yang selamat.”
“Kau memang tidak layak jadi pemimpin. Kau bahkan tidak menyiapkan sesuatu dengan matang. Senjata yang kalian pegang semua sudah kulucuti.”
“Brengsek kau Gamal!” Robert tak mampu lagi menahan diri dan menekan pelatuk senapannya, namun tidak ada yang keluar. Hening.
“Sudah kubilang tidak perlu ada darah di rumah ini,” Darius berkomentar mengejek.
Robert dengan cepat menarik pisau yang tergantung di pinggangnya, lalu maju menerkam ke arah Gamal. Namun belum sampai tiga langkah ia bergerak maju, kepalanya sudah tertembus peluru. Gamal melakukannya tanpa ekspresi.
“Lantai rumah ini jadi kotor,” komentar Darius sambil geleng-geleng kepala.
Tidak lama yang lainnya pun diringkus. Tangan mereka diikat kemudian dibawa ke tepi pantai. Di sana telah disiapkan perahu. Anton merasa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ayahnya dalam kondisi terlemah, sebelum maut menjemput, telah melakukan pengakuan dosa. Ayahnya juga menceritakan pada Anton segala yang telah ia lakukan saat menjadi alat gebuk rezim terdahulu. Ia mengaku telah menghilangkan mereka yang menyebut diri aktivis dan mengganggu ketentraman penguasa. Anton mengerti dengan pasti apa yang akan terjadi selanjutnya karena dengan cara itu pula ayahnya menyelesaikan tugas-tugasnya. Apalagi setelah melihat tali tambang yang diikatkan pada batu, semuanya menjadi semakin jelas, semuanya menjadi semakin pasti.
“Setidaknya bunuh kami dulu Gamal,” Anton memohon.
“Wah, aku dengar dahulu mereka tidak perlu menghabiskan peluru, bukan begitu Anton?”
Anton tak menjawab dan hanya tertunduk lesu. Gamal mendekati Anton, lalu berbisik di telinganya, “Kamu tahu, salah satu dari yang hilang itu adalah kakakku.”
Anton menoleh, menatap wajah Gamal yang telah berubah menjadi wajah malaikat maut.[]
Comments 1