Pak Tua adalah seorang pengemis yang mangkal di kawasan Perempatan Jalan. Setiap harinya, Pak Tua biasa menjalankan profesinya di sudut-sudut lampu merah. Trotoar jalan sudah menjadi sahabatnya selama satu dekade silam. Suara bisingnya kota menjadi musik bagi telinganya. Aroma debu jalanan bercampur keringat akibat teriknya matahari selalu menempel pada pakaiannya yang lusuh.
Sepuluh tahun yang lalu, Pak Tua bukanlah seorang pengemis. Ia sempat memiliki keluarga yang harmonis, dulunya. Pak Tua adalah sesosok Family Man yang selalu didambakan setiap keluarga. Hingga suatu saat Ia terkena PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, yang membuat Ia depresi berat dan berubah menjadi sosok yang pemurung.
Seluruh uang pesangonnya habis tak tersisa digunakan untuk berjudi, dan mabuk-mabukan layaknya kaum borjuis di kota-kota besar. Tak hanya uang pesangonnya, barang-barang berharga yang ada di rumahnya juga habis digadaikan, sebagian ada juga yang dijual.
Kondisi perekonomian keluarganya sangat merosot jauh, tunggakan banyak yang belum terbayar, uang SPP anak yang menunggak sehingga tidak bisa ikut ujian, sampai terpaksa harus berhutang ke warung-warung sekitar rumahnya agar dapur tetap ngebul.
Kondisi Pak Tua pada saat itu juga semakin terpuruk jauh menghantam rock bottom-nya. Satu per satu sahabatnya pergi, keluarganya tidak ada yang mau membantu, hingga anak dan istrinya yang mulai geram dengan tingkah lakunya yang saban hari hanya luntang-lantung. Akhirnya Pak Tua pergi meninggalkan keluarganya, meninggalkan tanggung jawabnya sebagai Kepala Keluarga, meninggalkan seluruh bebannya yang selama ini ia pikul.
Hidup nyamannya yang selalu dimanjakan oleh angan-angan semu telah sirna. Ia terus berjalan tanpa tujuan dan tanpa arah pulang. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, tapi di lain sisi, ia juga tidak ingin menyerah dan membiarkan takdir buruknya menginjak-injak habis dirinya. Pak tua memutuskan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya, ia memutuskan untuk menjadi seorang pengemis.
Sepuluh tahun sudah berlalu, Ia telah pulih dari kondisinya yang dulu. Dirinya yang sekarang bukan lagi dirinya yang dulu, yang orang-orang kenal, yang orang-orang dambakan, yang disenangi banyak orang, semuanya sudah berubah.
Kini Pak Tua memandang hidupnya tak lagi ada artinya, bagi Pak Tua, hidupnya hanyalah sebuah lelucon belaka. Senyum di wajahnya tidak pernah lagi Ia tampilkan, yang ada hanyalah wajah kusam dan dekil dengan bibir yang selalu cemberut. Ia marah, marah kepada Tuhan, mengutuk Tuhan dan membenci semua orang. Hatinya kini mengeras, sangat keras, lebih keras daripada batu Wurtzite Nitride. Bagi Pak Tua, semua hal yang ada di dunia ini terasa sangat naif dan menjijikan.
***
Matahari sudah tak lagi terlihat, digantikan dengan cahaya bulan dan lampu jalanan yang redup-redup, menandakan pekerjaannya telah usai. Pak Tua bergegas pergi ke warung pinggir jalan untuk membeli sebotol miras, dan sebungkus rokok kesukaannya. Pak Tua memutuskan untuk menghabiskan harinya dengan mabuk dan bersantai di sebuah kolong jembatan.
Malam itu, udara terasa sangat dingin, hangatnya miras tak mampu mengalahkan dinginnya malam itu. Jadilah Pak Tua kedinginan dan menggigil.
Di saat udara dingin tengah menyelimutinya, tiba-tiba datang seekor kucing. Pak Tua kesal dengan kehadiran kucing itu dan langsung mengusirnya. Sialnya, sekeras apapun Pak Tua mengusirnya, kucing itu selalu kembali mendekatinya.
Pak Tua akhirnya menyerah dan membawa kucing itu ke dalam pangkuannya. Ia mengelus-mengelus tubuh dari makhluk yang terselimut bulu itu. Kucing itu mendengkur, menandakan bahwa kucing itu nyaman berada di pangkuan Pak Tua. Ajaibnya, tubuh Pak Tua menjadi terasa hangat setiap kali ia mengelus-elus tubuh kucing tersebut. Pak Tua terus menerus mengelus tubuh kucing itu, sehingga ia tidak lagi merasa kedinginan dan menggigil.
Malam itu, di tengah-tengah udara malam yang dingin, Pak Tua diselimuti oleh kehangatan. Muncul perasaan damai dan tenang menghampiri jiwa Pak Tua. Terbayang kenangan-kenangan manis yang pernah ia alami. Malam itu juga, Pak Tua melihat kilas balik hidupnya yang indah. Malam itu Ia menyadari bahwa Ia selama ini salah, Tuhan tidaklah salah dan tidak pernah salah. Semua takdir buruk yang dilimpahkan oleh Tuhan kepadanya ternyata sangatlah indah. Hanya saja selama ini Pak Tua selalu melihat takdirnya dari sudut pandang yang buruk.
Malam itu, Pak Tua tidak lagi membenci takdirnya, dan ia mulai mencoba untuk mencintai takdirnya. Air matanya menetes, mengalir melalui pelipisnya, hatinya kini tak lagi keras, melunak selembut kapas. Pak Tua tersenyum, senyumnya yang telah lama hilang kini muncul kembali menghiasi wajahnya. Malam itu, Pak Tua adalah manusia paling bahagia di dunia ini.
Keesokan paginya, warga menemukan tubuh Pak Tua yang sudah tidak bernyawa tergeletak di kolong jembatan itu dengan senyum bahagia yang menempel di wajah dekilnya. Pak Tua pulang dengan jiwanya yang telah damai.[]
Pantera walk
bacot yatim