Berhadapan dengan mesin tulis, ia tidak melakukan apa-apa selama beberapa menit, kecuali mengetuk-ngetuk meja kecil di bawah mesin tulis itu. Daster coklat muda yang dikenakannya sedikit kusut di bagian perut. Di lehernya melingkar sebuah kalung dari deretan cangkang kerang yang biasa dipakai anak-anak bermain bekel. Sebagian rambutnya diikat ke belakang, sedang sebagian lagi terurai di bagian samping wajahnya. Ia tidak menggunakan make up, hidungnya bersahaja, bibirnya coklat di bagian luar dan sedikit merah muda di bagian dalam.
Seperti yang pernah diakuinya di media sosial, ia adalah seorang feminis. Ia baru saja menimbang dua hal. Pertama, hari ini adalah hari di mana ia berharap cerpennya akan terbit di suatu portal sastra daring. Sejak siang ia terus membuka-buka portal tersebut, memeriksa apakah cerpennya atau cerpen pengarang lain yang ditayangkan. Tapi kolom cerpen di portal itu belum juga diperbarui. Kedua, ia sempat membaca sebuah cerpen di portal yang sama, dan terbit minggu sebelumnya. Menurutnya cerpen itu jelek sekali. Penulisnya seperti hendak membombardir pembaca dengan pikiran-pikirannya, sehingga baik plot cerita maupun karakter-karakternya jadi amburadul dan banyak yang tak masuk akal.
Lebih menjengkelkan lagi buatnya, dalam kolom biodata, si penulis mengaku tertarik dengan persoalan-persoalan gender dan feminisme. Ia berkesimpulan, si pengarang adalah seorang feminis juga, sama dengan dirinya.
Dua perkara tadi membawanya pada pikiran yang lain; sepertinya portal itu tidak mau menerbitkan cerpennya. Itu sedikit membuatnya gundah. Ia menyandarkan tubuhnya ke tembok. Wajahnya tampak murung. Tangan kanannya berpindah-pindah; dari mencubit-cubit bagian tepi alas duduknya yang berupa kain tebal seperti selimut, menggaruk-garuk wajahnya, sampai meraih stoples kecil berisi rengginang yang sudah dihancurkan. Aktivitas terakhir ini tampak menghiburnya, nyaris tanpa henti rengginang itu masuk ke mulutnya.
Tulisannya macet di kata ke-120. Ia mulai menimbang-nimbang, seorang feminis macam apakah dirinya? Ia juga mencoba mengingat-ingat para tokoh feminis terkenal. Banyak nama berseliweran di benaknya, seperti kendaraan yang melaju cepat dalam lintasan ulang-alik. Dalam satu gerakan mendadak, benaknya menangkap dan mengurung sebuah nama: Betty Friedan.
Ia suka Betty yang abrasif, sarkas, dan nyaris egois itu. Betty mengingatkannya pada dirinya sendiri. Sering ia membuat “ulah”, baik di komunitasnya, maupun di kalangan kawan-kawan lepasnya. Pada saat-saat mereka berfoto bersama, tubuhnya akan ia tempatkan seprovokatif mungkin. Ketika acara reuni sekolah, misalnya. Di antara kawan-kawannya yang cenderung berpakaian sopan dan tertutup, ia malah memakai gaun pendek dan mengangkat sebelah kakinya ke dinding. Kalau orang melihat foto itu, mungkin orang itu akan menyangka sosok perempuan bergaun pendek itu adalah tempelan, semacam hasil kolase.
Di dinding akun media sosialnya sering ia tuliskan kalimat-kalimat sarkastik perihal cara berpakaian, pernikahan, atau rumah tangga. Misalnya ia pernah menulis, “Barang siapa mengira kalau pernikahan dapat mencegah perbuatan zina, coba survey ke lokalisasi atau spa, di sana akan kalian temukan banyak sekali papa-papa tua maupun papa-papa muda” lalu ditutup dengan beberapa emoticon tertawa. Ia sendiri juga tertawa mengingat kelakuannya itu.
Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk memeriksa lagi apakah cerpennya terbit atau tidak. Sebagian dirinya menolak rencana itu, bagian dirinya itu bilang, “Kalau memang akan terbit maka terbitlah, tidak perlu diperiksa terus-menerus, terlalu berharap membuat kenyataan bisa menampik harapan.”
Suara itu masih bergema ketika handphone sudah ada di genggamannya. Ternyata benar: kolom cerpen belum juga diperbarui. Dengan perasaan dongkol, ditutupnya layar handphone, lalu dimatikannya jaringan. Ia melangkah ke kamar dan menaruh handphone di dalam laci. Ia berkata dalam hati, “Aku tak akan membuka handphone ini lagi, sampai enam jam ke depan.”
Ia terpikir untuk mengganti pakaian. Ia melepas daster dan memakai kaus putih bertuliskan SKJ 94, lalu ia pasang rok pendek selutut dengan motif garis-garis putih di permukaan hitam. Dipatut-patutnya dirinya di cermin. “Cantiknya aku,” katanya, “aku pengarang cantik, hehehe.” Seandainya kalimat itu tak diucapkan melainkan dituliskan di dinding media sosial, tertawanya itu pasti sudah diganti dengan barisan emoticon.
Ia selalu memilih satu jenis emoticon yang “berkulit hitam”, sebab ia merasa si penyusun emoticon itu telah melakukan diskriminasi; kenapa dalam deretan emoticon, yang berkulit hitam selalu ditaruh paling belakang? Dengan memilih emoticon berkulit hitam ia merasa telah berpihak pada kaum terpinggirkan.
Di depan mesin tulis, kembali ia arahkan pikiran pada calon karangannya. Ia sedikit lupa tadi mau menulis apa. Dibacanya tulisan 120 kata itu dari awal. Belum habis membaca, pikirannya sudah terbelah. Ia ingat tokoh utama cerpen yang dianggapnya jelek itu. Tokoh tersebut mengenakan baju berkerah lebar, rok selutut berwarna hijau dengan motif polkadot, stoking ketat, dan sepatu sneakers.
Tokoh itu sedang membaca buku Haruki Murakami di sebuah kafe, dan pengunjung kafe yang lain sering meliriknya, bahkan ada satu yang kemudian sampai melotot seperti Suzanna. “Apa sih yang membuat orang-orang sampai melirik bahkan melotot melihatnya? Pakaiannya biasa saja, bahkan cenderung tertutup. Tidak provokatif sama sekali. Lagipula kalau dilihat dari bacaannya, dia jelas perempuan cerdas. Kenapa kemudian mau saja dibodohi lelaki? Tidak masuk akal!”
Tiba-tiba pikirannya bercabang lagi. Ia mengingat-ingat apakah Betty Friedan pernah menyinggung soal pakaian. Karena tidak bisa menjangkau ingatannya, ia merasa ada baiknya mencari di internet. Tapi suara lain dalam dirinya berkata, “Baru saja kau bilang tidak akan membuka handphone sampai enam jam ke depan.” Suara itu sedikit menahan niatnya, tapi tidak menahan tubuhnya untuk bangkit dan berjalan kembali ke kamar, membuka laci dan meraih handphone-nya.
Ia tidak langsung membuka handphone di kamar, terlebih dulu ia kembali ke depan mesin tulis. Dihempaskannya tubuh ke alas tebal yang seperti selimut, lantas duduk dengan dua kaki dilipat seperti anak-anak hendak bermain bekel.
Seakan-akan diiringi doa membuka handphone, ia aktifkan jaringan internet. Diketiknya nama Betty Friedan. Mula-mula ia telusuri judul-judul tulisan yang menyangkut Betty, lantas melompat ke kolom ‘gambar’. Diamatinya gambar-gambar tersebut, digesernya ke bawah, lantas ke halaman berikutnya. Betapa tidak puasnya ia dengan gambar-gambar itu.
Beberapa notifikasi pesan baru bermunculan di bagian atas layar, tapi diabaikannya. Sampai kemudian ada satu pesan baru yang masuk, “Rin, mantanmu nikah ya, diundang gak?”
“Brengsek!” makinya. “Aku tidak akan pernah datang ke acara nikahan. Bukan karena yang nikah itu mantan pacarku, tapi karena aku sudah muak dengan pertanyaan ‘kapan nyusul?’ Pernikahan itu penjara mengerikan, lihat saja teman-temanku yang sudah nikah, semua mengeluh terus-menerus soal hidupnya. Tapi anehnya masih sempat beramai-ramai mencaramahiku soal surga dan neraka hahaha.” Ia terpikir menulis kalimat itu di dinding media sosialnya, tentu saja dengan mengganti suara tertawa dengan emoticon berkulit hitam. Namun, sebuah pesan baru masuk lagi, berbunyi, “Selamat ya, cerpenmu terbit.” Di bawah pesan itu disertakan tautan.
Ia melonjak kegirangan. Segera dibukanya portal tersebut. Di sana memang terpampang cerpennya. Dipandang-pandangnya sebentar ilustrasi yang menyertai cerpen itu. Lalu tanpa pikir panjang ia bagikan tautan itu ke dinding media sosialnya. Pikirannya kini tunggal, tak lagi bercabang-cabang. Tak ada pikiran tentang pakaian dan pernikahan, bahkan Betty Friedan pun seakan telah kembali ke kuburnya. Ia tutup layar mesin tulis yang berisi karangan 120 kata. Ia sibuk membaca ulang cerpennya yang terbit itu, sembari terus menerus memeriksa siapa saja teman kontaknya yang menengok status berisi tautan itu. Senyumnya demikian lebar ketika ada yang berkomentar.
Tak terasa hari sudah malam. Ia masih sibuk membalas komentar. Namun kini perutnya benar-benar lapar. Ketika untuk terakhir kalinya menggeser-geser layar, ia kembali melihat cerpen yang dianggapnya jelek tadi. Sekarang ia berpikir, sebenarnya cerpen itu tidak terlalu jelek. Bukankah feminisme adalah sikap dan perjuangan politik, dan karenanya harus benar-benar tampak dalam karya? Ya, cerpen itu sudah menampakkan sikap, jadi bisa disimpulkan cerpen itu bagus. “Tentu saja tidak lebih bagus dari cerpenku,” ujarnya sambil beranjak ke dapur.[]