• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Tuesday, 02 December 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Kucing Liar

Zeky Effendy by Zeky Effendy
18 November 2020
in Cerpen
0
Gambar Artikel Kucing Liar

Sumber Gambar: https://www.behance.net/gallery/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Malam itu, aku berniat ngopi menyapa bintang dan bulan yang sunyi.  Sesap demi sesap kopi perlahan membasahi mulutku yang gersang. Tiba-tiba terdengar seret sandal si Pak Tua menggugurkan kesunyianku.

“Le… Sendiri saja?” Basa basi Pak Tua membuka pembicaraan.

“Iya, Pak. Ini lagi nyantai sambil ngopi.” Timpaku padanya.

“Ya, beginilah hidup, Le. Hakikatnya semua orang itu sendiri meskipun dalam keramaian.” Ujar si Pak Tua.

“Sendiri, maksudnya gimana, Pak?” Tanyaku heran mendengar kata-katanya.

“Ya sendiri. Kita menghadapi masalah sendiri, mati sendiri, ditanya malaikat nanti juga sendiri, semuanya sendiri.”

“Owh…“ singkat jawabku. Pikirku beliau akan mengakhiri pembicaraan, nyatanya tidak. Pak Tua itu malah semakin birahi dalam membubarkan kesunyianku.

“Aku dulu tak seperti dirimu, Le. Aku dulu hidup di mana orang-orang banyak membenci tempat itu. Aku hidup di bagian gelapnya kehidupan yang di dalamnya berisikan kebahagiaan-kebahagiaan sementara. Obat-obatan jadi teman, alkohol jadi pelarian.”

Aku jadi tertarik untuk menyusuri lebih dalam lagi tentang pengalaman beliau, tapi dalam hati bergumam, “Yah sial.. gugur lagi niatku, tapi tak apalah mungkin beliau diutus oleh Tuhan untuk menemaniku malam ini.”

“Terus,  bagaimana Bapak lari dari kehidupan itu?” Tanyaku sembari menyulut rokok yang telah kurajut ketika mendengarkan cerita beliau tadi.

“Pada suatu hari, aku sedang berada di dalam diskotik dan tiba-tiba ayah yang berada di kampung menelponku kala itu.  Namun karena di dalam diskotik sedang ramai, akhirnya aku hanya menjanjikan akan menelpon balik nanti. Tapi, karena efek kimia, jadinya dua hari aku lupa pada janjiku sendiri. Ayahku marah-marah padaku, beliau tahu bahwa aku hidup hura-hura di sini. Ayahku menangis, aku pun juga menangis. Dari kejadian itu, aku sadar dan perlahan lari dari kehidupanku yang kelam.” Setelah curhatan beliau, keadaan hening sejenak. Sebelum akhirnya seekor kucing melintas dan beliau berkata-kata lagi.

“Lihatlah, seekor kucing itu enak sekali hidupnya. Makan,  tidur, kawin begitu saja.”

Kata-kata beliau menyebabkan bising di kepalaku, seperti diadakannya pergelaran gladiator di Colosseum Roma.

“Tapi Pak, apakah seekor kucing itu tidak mempunyai akal pikiran?”

“Iya…“ sambil beliau sesap kopi hitam bercampur kepekatan malam kala itu.

“Jika benar kucing tak punya akal pikiran, berarti kucing tak tahu bahwa dia seekor kucing?”

“Nah…. Di sanalah kuasa Tuhan, Le. Semua tentang hewan dari yang besar sampai yang kecil sudah diatur oleh Tuhan, jadi tak perlu akal pikiran.”

Aku semakin heran, “Mengapa manusia tak begitu juga, Pak?”

“Kamu ini harusnya bersyukur, Le, manusia sudah dikasih akal pikiran. Jadi,  manusia bisa memilih hidupnya sendiri .” Timpalnya.

Oke, kali ini aku agak setuju dengan tutur kata beliau. Meskipun sebenarnya aku kurang puas dengan jawaban simple yang beliau tuturkan. Aku ingin menyusup lebih dalam lagi sampai tak ada manusia yang bisa yang bisa menolongku.

“Ya sudah, malam sudah semakin malam. Tak usah terlalu dipikir, anak muda. Tidurlah, rawat badanmu agar tak cepat penyakitan, hehe. Aku pamit dulu dari pengadilan ini.”

Dalam hati mendesis, “Tidak. Aku ingin hancur saja, daripada harus tertimpa lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaaan yang tiada akhir.”

Malam semakin malam, bintang tetap setia pada bulannya. Begitu juga aku, yang setia pada sunyiku sendiri. Tak sadar,  kopi di sampingku telah dihabiskan oleh Pak Tua itu.

“Bajigur! Terhipnotis aku oleh kata-katanya.”

Akhirnya, aku beranjak dari gubuk tua dengan menggendong sekepal pertanyaan-pertanyaan tentang kucing liar di bahuku. Tapi, tak berakhir di situ. Keesokan harinya, di saat mentari baru saja menampakkan wajahnya pada dunia, aku bergegas bertanya pada kawanku untuk meluapkan rasa ketidakpuasan atas jawaban Pak Tua semalam.

“Selamat pagi, Guru (panghilan mesraku padanya).  Aku semalam bicara banyak dengan Pak Tua yang pernah kubicarakan padamu. Aku bertanya padamu kini, engkau pasti tahu bahwa kucing tak punya akal pikiran. Nah, jika benar kucing tak memiliki akal pikiran, berarti kucing tak tahu bahwa dirinya kucing?” Rasa cemas, sebab pesan tak cepat dibalas olehnya.

Tak lama kemudian, “Selamat pagi, pertanyaanmu membuatku lapar.” Kata kawanku, “Sebentar… jika kucing sadar bahwa dia seekor kucing, apakah mereka akan demo. Sebab, tak sedikit dari kaum mereka yang diperjualbelikan?”

Kupikir-pikir benar juga.  Ia melanjutkan, “Bukan kucing saja, anjing juga akan berkonsolidasi dan melakukan aksi mendemo manusia. Sebab, setiap nama mereka (anjing) selalu dijadikan umpatan dan disumpah-serapahi. Padahal mereka tak salah.”

“Tapi, dengan bahasa apa nantinya mereka meyuarakan haknya?” Seperti pepatah, “Darah dibalas darah. Maka, pertanyaan dibalas pertanyaan.“ Gurauku padanya.

“Jika mereka bisa demo atas kesadaran dan penggunaan akalnya, tentu sebelumnya mereka menyepakati apa-apa yang kemudian terbentuklah bahasanya sendiri.” Ujarnya.

“Tapi,  ngomong-ngomong tentang hewan, kehidupan ini sangat lucu. Bagaimana tidak, singa yang makannya hanya daging saja sudah disebut buas. Tapi, manusia yang memakan segala hak sesamanya masih dibilang cipataan paling sempurna.”

Aku pusing dan tak mau melanjutkan lebih jauh lagi. Kupilih menjerang air dan menyeduh kopi, lantas terpekur menyesapi kesunyianku kembali.

Tags: akalbinatangcerpenkegelisahankucingkucing liarmanusiaperenungansunyi
ShareTweetSendShare
Previous Post

Orbital Dago: Ragam Pengalaman di Satu Tempat

Next Post

Pesona dan Kuliner Kepulauan Anambas

Zeky Effendy

Zeky Effendy

Pemuda yang hobi ngopi. Tinggal di Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Gelembung-Gelembung
Cerpen

Gelembung-Gelembung

19 November 2025

Gelembung-gelembung itu terus mengudara dan semakin tinggi diterpa angin pagi. Perlahan satu per satu jatuh dan pecah, namun ada yang...

Dua Jam Sebelum Bekerja
Cerpen

Dua Jam Sebelum Bekerja

21 September 2025

Hujan belum menunjukkan tanda reda. Aku menyeduh kopi lalu termenung menatap bulir-bulir air di jendela mess yang jatuh tergesa. Angin...

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 July 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
Cerpen

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

11 July 2025

Sore seperti keliru membaca waktu, demikian orang-orang bilang tentang udara di desa Watu Rinding. Ia terlambat panas, tergesa dingin. Kabutnya...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Gambar Artikel Jangan Berharap! Teruslah Meratap

Jangan Berharap! Teruslah Meratap

10 November 2020
Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022
Selamat Bertugas Selamanya!

Selamat Bertugas Selamanya!

27 April 2021
Gambar Artikel Sajak Asal Njeplak

Sajak Asal Njeplak

20 December 2020
Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

16 February 2022
Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

11 January 2023
Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival

Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival

21 May 2024
Depresi Besar, Kaum Pekerja, dan Hilangnya Harapan

Depresi Besar, Kaum Pekerja, dan Hilangnya Harapan

30 April 2021
Gambar Esai Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron Advaitam Te

Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron

14 January 2021
Alir-an

Alir-an

10 February 2021
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina
  • Antony Loewenstein: “Mendekati Israel adalah Kesalahan yang Memalukan bagi Indonesia”
  • Gelembung-Gelembung
  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

Kategori

  • Event (14)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (12)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (217)
    • Cerpen (55)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (49)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (13)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kontributor
  • Hubungi Kami

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.