Malam itu, aku berniat ngopi menyapa bintang dan bulan yang sunyi. Sesap demi sesap kopi perlahan membasahi mulutku yang gersang. Tiba-tiba terdengar seret sandal si Pak Tua menggugurkan kesunyianku.
“Le… Sendiri saja?” Basa basi Pak Tua membuka pembicaraan.
“Iya, Pak. Ini lagi nyantai sambil ngopi.” Timpaku padanya.
“Ya, beginilah hidup, Le. Hakikatnya semua orang itu sendiri meskipun dalam keramaian.” Ujar si Pak Tua.
“Sendiri, maksudnya gimana, Pak?” Tanyaku heran mendengar kata-katanya.
“Ya sendiri. Kita menghadapi masalah sendiri, mati sendiri, ditanya malaikat nanti juga sendiri, semuanya sendiri.”
“Owh…“ singkat jawabku. Pikirku beliau akan mengakhiri pembicaraan, nyatanya tidak. Pak Tua itu malah semakin birahi dalam membubarkan kesunyianku.
“Aku dulu tak seperti dirimu, Le. Aku dulu hidup di mana orang-orang banyak membenci tempat itu. Aku hidup di bagian gelapnya kehidupan yang di dalamnya berisikan kebahagiaan-kebahagiaan sementara. Obat-obatan jadi teman, alkohol jadi pelarian.”
Aku jadi tertarik untuk menyusuri lebih dalam lagi tentang pengalaman beliau, tapi dalam hati bergumam, “Yah sial.. gugur lagi niatku, tapi tak apalah mungkin beliau diutus oleh Tuhan untuk menemaniku malam ini.”
“Terus, bagaimana Bapak lari dari kehidupan itu?” Tanyaku sembari menyulut rokok yang telah kurajut ketika mendengarkan cerita beliau tadi.
“Pada suatu hari, aku sedang berada di dalam diskotik dan tiba-tiba ayah yang berada di kampung menelponku kala itu. Namun karena di dalam diskotik sedang ramai, akhirnya aku hanya menjanjikan akan menelpon balik nanti. Tapi, karena efek kimia, jadinya dua hari aku lupa pada janjiku sendiri. Ayahku marah-marah padaku, beliau tahu bahwa aku hidup hura-hura di sini. Ayahku menangis, aku pun juga menangis. Dari kejadian itu, aku sadar dan perlahan lari dari kehidupanku yang kelam.” Setelah curhatan beliau, keadaan hening sejenak. Sebelum akhirnya seekor kucing melintas dan beliau berkata-kata lagi.
“Lihatlah, seekor kucing itu enak sekali hidupnya. Makan, tidur, kawin begitu saja.”
Kata-kata beliau menyebabkan bising di kepalaku, seperti diadakannya pergelaran gladiator di Colosseum Roma.
“Tapi Pak, apakah seekor kucing itu tidak mempunyai akal pikiran?”
“Iya…“ sambil beliau sesap kopi hitam bercampur kepekatan malam kala itu.
“Jika benar kucing tak punya akal pikiran, berarti kucing tak tahu bahwa dia seekor kucing?”
“Nah…. Di sanalah kuasa Tuhan, Le. Semua tentang hewan dari yang besar sampai yang kecil sudah diatur oleh Tuhan, jadi tak perlu akal pikiran.”
Aku semakin heran, “Mengapa manusia tak begitu juga, Pak?”
“Kamu ini harusnya bersyukur, Le, manusia sudah dikasih akal pikiran. Jadi, manusia bisa memilih hidupnya sendiri .” Timpalnya.
Oke, kali ini aku agak setuju dengan tutur kata beliau. Meskipun sebenarnya aku kurang puas dengan jawaban simple yang beliau tuturkan. Aku ingin menyusup lebih dalam lagi sampai tak ada manusia yang bisa yang bisa menolongku.
“Ya sudah, malam sudah semakin malam. Tak usah terlalu dipikir, anak muda. Tidurlah, rawat badanmu agar tak cepat penyakitan, hehe. Aku pamit dulu dari pengadilan ini.”
Dalam hati mendesis, “Tidak. Aku ingin hancur saja, daripada harus tertimpa lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaaan yang tiada akhir.”
Malam semakin malam, bintang tetap setia pada bulannya. Begitu juga aku, yang setia pada sunyiku sendiri. Tak sadar, kopi di sampingku telah dihabiskan oleh Pak Tua itu.
“Bajigur! Terhipnotis aku oleh kata-katanya.”
Akhirnya, aku beranjak dari gubuk tua dengan menggendong sekepal pertanyaan-pertanyaan tentang kucing liar di bahuku. Tapi, tak berakhir di situ. Keesokan harinya, di saat mentari baru saja menampakkan wajahnya pada dunia, aku bergegas bertanya pada kawanku untuk meluapkan rasa ketidakpuasan atas jawaban Pak Tua semalam.
“Selamat pagi, Guru (panghilan mesraku padanya). Aku semalam bicara banyak dengan Pak Tua yang pernah kubicarakan padamu. Aku bertanya padamu kini, engkau pasti tahu bahwa kucing tak punya akal pikiran. Nah, jika benar kucing tak memiliki akal pikiran, berarti kucing tak tahu bahwa dirinya kucing?” Rasa cemas, sebab pesan tak cepat dibalas olehnya.
Tak lama kemudian, “Selamat pagi, pertanyaanmu membuatku lapar.” Kata kawanku, “Sebentar… jika kucing sadar bahwa dia seekor kucing, apakah mereka akan demo. Sebab, tak sedikit dari kaum mereka yang diperjualbelikan?”
Kupikir-pikir benar juga. Ia melanjutkan, “Bukan kucing saja, anjing juga akan berkonsolidasi dan melakukan aksi mendemo manusia. Sebab, setiap nama mereka (anjing) selalu dijadikan umpatan dan disumpah-serapahi. Padahal mereka tak salah.”
“Tapi, dengan bahasa apa nantinya mereka meyuarakan haknya?” Seperti pepatah, “Darah dibalas darah. Maka, pertanyaan dibalas pertanyaan.“ Gurauku padanya.
“Jika mereka bisa demo atas kesadaran dan penggunaan akalnya, tentu sebelumnya mereka menyepakati apa-apa yang kemudian terbentuklah bahasanya sendiri.” Ujarnya.
“Tapi, ngomong-ngomong tentang hewan, kehidupan ini sangat lucu. Bagaimana tidak, singa yang makannya hanya daging saja sudah disebut buas. Tapi, manusia yang memakan segala hak sesamanya masih dibilang cipataan paling sempurna.”
Aku pusing dan tak mau melanjutkan lebih jauh lagi. Kupilih menjerang air dan menyeduh kopi, lantas terpekur menyesapi kesunyianku kembali.