Wajah kusam sebab diterkam asap kendaraan telah bercampur dengan keringat yang mengalir dari jidatnya. Kendatipun begitu, seorang gadis penjual jamu itu tetap tampak cantik. Apalagi ketika tangan kirinya mencoba mengelap wajahnya, lalu mengusir keringat yang telah sampai bibir secara perlahan-lahan.
Seraya berjalan di atas trotoar menuju tempat menunggu angkot, kadang-kadang kepalanya tengok kanan, tengok kiri. Atau kalau terasa ada yang mengikuti, ia lantas menengok ke belakang. Sepertinya, kini ada rasa cemas yang mulai merasuk ceruk perasaannya. Terlebih lagi, tak biasanya jalan kentara lengang sore itu. Pengandara motor, becak, andong, dan roda empat yang melintas dapat mudah dihitung dengan tatapan sekejap.
Dari sejak pagi menjelang siang, Rahayu memang merasakan hal-hal yang aneh. Dimulai dari sikap Ningsih, simboknya. “Nduk, hati-hati, ya. Perasaan Simbok ndak enak.” Ada juga dari ibu-ibu di tepi jalan yang tengah memulai menjemur padi. “Hati-hati, Yu. Jaman sekarang banyak laki-laki ndak pikir dosa. Bisa-bisa kamu diculik loh. Apalagi, kamu cantik. Masih perawan.” Lalu, tak seperti biasanya pula, seperti ada yang berbisik di telinga. “Jangan jualan hari ini. Istirahat saja.” Meski demikian, ia tetap pergi berjualan. Cita-citanya membelikan televisi hitam putih buat Simbok menjadi dalih kuatnya.
Ia terus berjalan menuju tempat biasa ia menunggu angkot untuk pulang. Meski rasa cemas makin tak mau lepas, ia tetap berusaha untuk berbaik sangka. Namun, tiba-tiba saja sebuah mobil hitam berhenti persis di sebelahnya. Lalu, seorang laki-laki turun dan meraih tubuhnya. Memaksanya masuk ke mobil. Ia sempat memberontak, tapi tiba-tiba seorang laki-laki lain muncul dari dalam mobil mengarahkan pisau ke depan lehernya. Sekejap, rasa takut yang makin menjadi-jadi membuatnya tak lagi dapat berbuat apa-apa. Pada akhirnya, botol-botol jamu itu dilempar ke sungai kecil tepi jalan, lalu Rahayu pun berhasil diculik segerombolan laki-laki tanpa ada perlawanan lagi. Sebab, seorang laki-laki telah melekatkan bius di hidungnya. Sore itu benar-benar lengang. Hanya kumandang azan magrib dan tatapan lampu-lampu sandekala yang mengiringi kepergiannya.
Usai melucuti pakaian dalamnya dan melihat-lihat kemaluannya, seseorang mulai tak tahan lagi ingin membelai, mempermainkan tubuh gadis itu.
“Karena aku yang pertama kali melihat gadis ini, jadi aku yang pantas cicipi keperawanannya sekarang. Mobil ini akan jadi saksi. Setuju, kan?” Tegas seorang laki-laki muda berkumis cukup tebal.
“Heh! Aku yang berhasil membius dia!” Respons laki-laki berambut gondrong, tak terima.”
“Siapa yang pertama tangkap dia coba? Aku! Jadi, burungku juga yang pertama akan menyodoknya!” Seorang laki-laki lagi merasa tak terima.
“Sudah-sudah. Sekarang begini saja, Ji, Kus, Her. Aku tanya. Kalau bukan bapakku, siapa yang bakal bisa menyelamatkan kalian jika nanti gadis ini lapor polisi?”
***
Pada sebuah pagi dipenuhi bunyi burung-burung padi, di sebuah gubuk kecil cukup rusak tak jauh dari jalan raya, seorang perempuan terlihat membuka matanya. Lalu, perlahan-lahan ia mengangkat tubuhnya meski tangan kanannya terus memegangi kepala. Wajahnya tampak kebingungan. Tak lama kemudian, ia mulai merasakan sakit pada kemaluannya. Ketika pandangan terjun ke arah kain jarit bercorak bunga putih dan hitam yang menjadi pakaian bawahannya, sekejap jiwanya terkesiap bukan main. “Biadab!”
Terlihat kain jarit itu tak lagi terikat di pinggangnya. Dan, ada bercak-bercak darah yang menempel di beberapa bagian kain, sekaligus di kedua paha dan sekitar kemaluannya. Mengetahui kesuciannya telah direnggut, dengan sekuat tenaga Rahayu mengangkat kakinya, kemudian berlari menuju jalan raya. Ia ingin lekas lapor ke polisi tanpa sanksi. Nahasnya, tak hanya kegadisannya yang dirampas, semua uang hasil jualannya pun ikut dikuras oleh pemuda-pemuda itu. Perempuan itu pun kembali diterpa kebingungan. Berteriak-teriak meminta pertolongan. Untung saja, tak lama kemudian ada seorang sopir angkot yang kasihan padanya, lantas mempersilakannya naik ke angkot tanpa bayar sepeser pun.
Setibanya di kantor polisi.
“Pak, saya telah diperkosa,” lapor Rahayu seraya mengelap air matanya.
Seorang polisi menatap Rahayu dengan detail, lalu turun ke bagian jarit dan kaki.
“Duduklah…. Bagaimana Anda bisa diperkosa? Kapan terjadi? Siapa yang memerkosa Anda?” Polisi itu bersiap-siap mencatat keterangan-keterangan yang hendak diberikan perempuan kusam yang ada di hadapannya.
“Kemarin sore sewaktu saya sedang nunggu angkot mau pulang, tiba-tiba segerombolan laki-laki menculik saya. Saya dimasukkan ke dalam mobil jeep berwarna hitam, lalu saya dibius dan diperkosa.”
“Apa saja yang Anda ingat?”
“Saya tidak tahu siapa. Tapi, saya sempat mendengar percakapan mereka sebelum saya benar-benar tidak sadarkan diri. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ayahnya seorang anggota dewan di kabupaten ini.”
“Bagaimana ciri-ciri orang-orang itu?”
“Mereka ada berempat. Semuanya berbadan cukup tinggi. Ada yang berkumis cukup tebal. Dan seseorang berambut gondrong. Ada juga salah satu dari mereka yang berkalung hitam. Kalau tidak salah bandulnya berberbentuk taring.”
“Baiklah. Laporan Anda saya terima. Sekarang isi identitas Anda sebelum Anda pulang. Kami akan segera memberi kabar kelanjutannya.”
Setelah melengkapi identitas, Rahayu pun keluar dari kantor polisi. Seseorang telah menunggunya untuk mengantarkan pulang. Dalam benak Rahayu, ia percaya bahwa polisi akan segera menemukan para pelaku. Apalagi, orang yang memiliki mobil jeep tidaklah banyak di daerahnya. Hanya para pengusaha dan wakil-wakil rakyat. Selain itu, salah satu dari mereka juga sudah diketahui identitasnya, yakni anak seorang anggota dewan.
***
Seminggu berlalu, Rahayu masih mengurung diri di kamarnya. Kalau tengah menangis, isaknya amat terdengar dari pawon. Simbok yang berulang kali mendengarnya, begitu terpukul. Bahkan, ia sempat menawari Rahayu untuk pergi ke dukun—mengirim santet ke para pelaku. Namun, Rahayu menolak. Ia telah menyerahkan semuanya kepada Gusti Allah dan para polisi.
Ketika Simbok hendak mengetuk kamar Rahayu, tiba-tiba beberapa polisi mendatangi rumahnya.
“Apa benar ini rumah saudari Rahayu?”
“Nggih, betul. Sebentar.” Simbok memanggil Rahayu.
Mendengar polisi datang, perempuan malang itu merasa cukup lega. Ia pun keluar kamar tanpa berpikir panjang.
“Saudari Rahayu, Anda kami tangkap. Anda telah membuat laporan yang tidak benar. Untuk keterangan lebih lanjut, kita selesaikan di kantor polisi.”
Bagai petir di siang bolong, Rahayu kaget bukan main. Bukannya mendapat jawaban, ia justru mendapat pernyataan yang amat menampar. Ia sempat menolak pergi ke kantor polisi. Sampai-sampai mulutnya mengucap sumpah berulang kali. Namun, pada akhirnya, perempuan bernasib buruk itu tak dapat lagi mengelak. Para polisi seperti tak mau lagi mendengar penjelasannya. Sementara, Simbok hanya bisa menangis, melihat putri semata wayangnya berlalu dengan borgol di tangannya.
Di kantor polisi, lelaki buncit berseragam aparat menggiring tiga laki-laki menuju hadapan Rahayu. Ia yang belum percaya dengan apa yang terjadi, tak cukup menghiraukan kedatangan mereka. Namun, tiba-tiba seorang aparat itu membentaknya cukup keras.
“Rahayu! Anda sudah membuat kami malu. Kami telah memeriksa anak-anak anggota dewan sampai kami membuat mereka sangat tidak nyaman. Tapi, ternyata para laki-laki inilah yang telah memerkosa Anda. Dari ketiganya, tidak ada satupun yang bapaknya seorang anggota dewan!”
Sontak Rahayu cukup terkejut, kemudian mulai mengamati ketiga laki-laki berpakaian cukup rapi itu.
“Pak! Saya tidak mengenal para laki-laki ini. Dan bukan mereka yang telah memerkosa saya.”
“Anda jangan menambah perkara. Sudah jelas mereka telah mengaku bahwa merekalah yang telah memerkosa Anda. Merekalah yang telah menculik Anda kemarin sore.”
Pandangan mata Rahayu tertuju kembali pada ketiga laki-laki yang tangannya tampak telah diborgol.
“Heh! Kalian dibayar berapa oleh anak anggota dewan itu? Saya sama sekali tidak mengenal kalian!”
“Saya dan teman-teman sayalah yang telah memerkosamu sore itu.”
“Jangan ngaco! Sudah jelas wajah-wajah itu masih saya ingat. Dan, mereka berempat. Bukan bertiga!”
“Salah satu dari kami, kabur.”
“Saya tidak butuh lagi pengakuan kalian. Di mana sekarang orang-orang yang membayar kalian, hah?!”
Melihat Rahayu makin membabi buta, polisi yang sejak tadi memperhatikan menghentikan perdebatan mereka. Dibawanya ketiga laki-laki itu ke luar ruang pemeriksaan.
“Jadi, Rahayu, Anda tetap kami tahan. Saya harap, Anda tidak membuat masalah lagi supaya hukuman Anda tidak kami beratkan.”
Mendengar itu, Rahayu hanya bisa terdiam, lalu air matanya kembali tumpah sampai berceceran di atas meja.
***
Berita tentang pemerkosaan itu ternyata sampai ke telinga Kapolri. Sebab, televisi nasional dan sebagian televisi swasta telah beberapa kali memberitakan kasus itu, sekaligus pernyataan-pernyataan Rahayu yang sampai kini belum juga menerima bahwa ketiga laki-laki itulah yang telah memerkosanya. Bahkan, ia tetap yakin bahwa anak pejabat itulah yang telah merenggut kegadisannya.
Namun, entah karena apa, pada akhirnya kasus itu ditutup tanpa penyelidikan lebih lanjut. Hal itu benar-benar membuat Rahayu tak punya lagi harapan apa-apa. Hakim pun telah memutuskan bahwa Rahayu bersalah dan dijatuhi hukuman satu tahun penjara atas pernyataannya yang tidak benar. Sementara, ketiga laki-laki yang telah mengaku-ngaku sebagai pelaku pemerkosaan telah dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara.[]
Catatan Tim Redaksi: kisah ini tampak terinspirasi dari cerita Sum Kuning. Sebuah kasus nyata pemerkosaan penjual jamu perempuan di era Soeharto yang konon melibatkan anak pejabat pemerintahan dan sampai saat ini belum terungkap. Bahkan sosok polisi yang disebut Gus Dur sebagai polisi jujur (Hoegeng) dipensiunkan ketika menelusuri kasus ini. Penulis cerpen ini merekonstruksi ulang dengan sentuhan personalnya sehingga masih tetap disebut cerpen, sekalipun ide dari kisah nyata.