Sengaja, malam ini kusepikan diriku dari secangkir kopi, puisi dan sunyi. Aku lelah, menjerang rasa. Aku bosan, bersenggama dengan air mata. Kupaksakan, diriku keluar dan bercengkrama dengan Pak Tua, tetanggaku.
“Hey,bujang bagaimana kabarmu? Sudah lama, kita tak bercengkrama” sambutnya atas kedatanganku.
“Hehe, baik-baik saja Pak” timpalku.
“Mari-mari, duduklah di sampingku. Akan, kuceritakan kisah Nabi-Nabi padamu” ajaknya, dengan gelak tawa yang mengiringi kata-katanya.
“Boleh-boleh” balasku, sembari kudaratkan bokongku tepat disebelahnya.
Belum, semenit aku singgah. Ia, beranjak dari duduknya.
“Sebentar-sebentar, anak muda” masuklah ia kerumah dengan tergesa-gesa.
Tak lama, ia kembali dengan membawa sebotol air jahat dan sloki ditangan kiri nya.
“Ini sengaja kusiapkan untukmu. Sebagai narasi sebelum dongeng dimulai” ujarnya.
Dituanglah, air jahat sebagai pembuka dongeng malam ini,
“Mari, tegukan pertama darimu”sambil ia suguhkan segelas air jahat tepat dihadapanku.
Dengan aroma kecut yang khas, kuteguk secara perlahan ‘begitu sopan minuman ini masuk ke liang kerongkongan dan lambungku’ gumamku
Ia mulai bercerita ‘Anak muda, taukah engkau bahwa dahulu, ada seorang murid yang diperintah oleh gurunya untuk mencari cahaya sejati”
“Eit.. katanya, cerita tentang Nabi”aku, menyela di awal ceritanya.
“Ndak sopan, kita lagi minum air surga kok cerita Nabi” sahut nya, sambil membakar sebatang rokok di tangan. Ia melanjutkan “Lalu, karena si murid taat kepada gurunya. Tanpa banyak cakap dan bertanya, ia bergegas mencari sepercik cahaya sejati”. Sambil melanjutkan, ia tuang lagi gelas air jahat kepadaku. Tenggorokanku, semakin berahi meneguknya lagi. Semakin hangat lambungku, semakin melayang akalku
“Semua jalan, telah dilalui si murid. Dari tanjakan, hingga jalan turunan. Dari bebatuan, hinga aspal. Akan tetapi, tak ada sepercik cahaya sejati yang ia temui. Ia memutuskan sejenak merebahkan diri di goa sunyi tersembunyi”. Diteguknya lagi dan lagi
“Ia tertidur, pasrah. Hingga, ia tersadar saat matahari perlahan lenyap di mimpinya”. Ia mencekokiku lagi dan lagi. Membuat badanku kian lemah. Seperti, daun yang terombang-ambung angin. Pasrah, tanpa kuasa atas diri. Tak terasa, habis lima gelas sudah kutegguk air jahat yang semakin gencar menyerang akal sehat. Aku semakin melayang bersama cerita nya.
“Ia kalah! Menyerah, sebelum cahaya sejati itu ditemukannya. Sepertinya ia lupa, menanyakan cara menemukan cahaya sejati kepada gurunya”. Masih tersisa setengah dibotol. “Bergegas, sang murid menghadap gurunya, murid berkata ‘aku menyerah, guru. Semua jalan, telah kujejali. Tak kutemukan, sepercik cahaya sejati’. Guru, pun marah. ‘Bodoh kau! Ceroboh, pergilah sampai kau temui cahaya sejati”.
“Bagaimana, cara menemukan cahaya itu guru? Aku tak tahu dimana harus kutemukan cahaya itu”. Kusulut sebatang rokok yang kumainkan di jemariku. Kutenggak lagi segelas air jahat keenam. Mataku, buram untuk memandang. Badanku, semakin pasrah terjajah tanpa daya.
“Sang guru menjawab, ‘Carilah, cahaya sejati di keramaian pasar, di lorong-lorong gelap penuh dosa’. Si murid, terkejut. ‘Bukankah, tempat itu pusatnya segala gelap. Mana mungkin kutemukan di sana, sedang cahaya tak akan hadir di tempat hina”.
Ragaku, seakan terbawa hanyut kedalam cerita. Akalku mengembara, membawaku ketempat gelap. Sangat gelap. Kucari, sepercik cahaya sejati. Dengan kaki, yang tak sanggup kuajak melangkah lagi. Kutemui, banyak fenomena. Dari, transaksi jual-beli kemaluan. Hingga, mengobral nama-nama Tuhan.
Aku,semakin melayang. Disudut gelap, kudengar jerit tangis anak kecil yang tak lagi dapat menahan lapar. Aku,semakin dekat. Lebih dekat lagi dan lagi. Sampai ketika, tangan legam menepuk bahu dan menyadarkanku dari segala khayalku.
“Hei, anak muda. Giliranmu, sekarang. Teguk lagi, segelas air surgawi terakhir!” Ia melanjutkan cerita
“Lalu, sang guru pun menjawab pertanyaan muridnya.
Sang guru berkata. ‘Bagaimana, kau bisa menemukan cahaya. Bahkan di matamu kamu tak mampu menilai hitam atas putih, wahai, muridku?”
“Si murid, akhirnya tersadar bahwa perjalanan panjang baktinya mencari cahaya adalah sia-sia”. “Tamat”
“Malam, semakin pekat memikat. Tidurlah! Ragamu, telah pasrah terjajah, hingga, lemah sudah. Aku pamit!” Ia berpamitan. Aku pun, turut pamit meninggalkan segala khayal yang pahit.
Akhirnya, kita berdua purna dengan cerita. Ia melayang dari singgasana menuju surga. Dan aku merayap dan lenyap dari segala sunyi menuju abadi.