Setiap hari ada banyak sekali pemuda-pemudi yang berlarian ke sana dan kemari, hingga hingar dan bingar dunia ini ramai dan padat diisi oleh sepasang kekasih muda-mudi. Hari Sabtu dan Minggu adalah bertepan dengan hari libur dan semua dari para pekerja baik itu buruh, pekerja kantor, sampai mereka yang punya posisi sebagai staf di suatu perusahaan atau pabrik.
Perjalanan yang amat panjang dan tak tau akan sampai mana berakhirnya adalah sebuah kewajiban yang harus dijalani manusia dan sepasang manusia. Di balik wajah mereka yang letih dan lesuh untuk terus memperjuangkan hidup dan dari nafas mereka sebuah hembusan yang ikhlas dan lirih yang harus dijalani tanpa pamrih.
Tak jarang sebuah romansa dijalani oleh sepasang kekasih yang mencari pengertian satu sama lain. Dan mencari perhatian. Barangkali mereka juga sama-sama saling menatap mata dan melepas rindu. Seperti seorang laki-laki di sana yang sedang menempuh sebuah pendidikan di perguruan tinggi dan seorang perempuan pekerja yang bekerja di sebuah pabrik.
Tiap kali hari bergulir, banyak manusia sama-sama saling membuka handphone masing-masing untuk sekadar menerima notifikasi dari seseorang yang dianggapnya penting. Tetapi kadang lelaki itu bangun kesiangan dan sudah ditinggal oleh kekasihnya untuk berangkat kerja. Ia hanya melihat isi pesan yang perempuan itu kirim kepadanya: ucapan selamat pagi dan petikan sisa-sisa rindu yang masih menempel di ingatannya seusai bertemu di hari yang lalu.
Pagi datang dan matahari sudah mulai bersinar. Bagi laki-laki itu, pagi dianggap biasa karena kelas yang akan ia mulai bertepatan di pukul 9. Masih ada waktu untuk dia beristirahat, memejamkan matanya, sembari mengistirahatkan pikirannya.
Di sisi lain, pagi-pagi buta perempuannya sudah bersiap untuk mencari rezeki bagi dirinya dan untuk keluarganya. Tidak lupa juga untuk mengirimkan pesan kepada lelakinya bahwa di hari itu ia akan berangkat bekerja dan tak lupa juga ia memberikan sebuah ciuman–meskipun tetap bertatap di layar handphone masing-masing.
Sepulang dari kerjaanya, lelaki itu menunggu. Dengan pikiran serta hati yang berbunga-bunga. Terutama karena tadi pagi ia tak sempat bangun dan belum sempat membalas pesan kepadanya. Akhirnya sosok perempuan yang menjadi kekasihnya mengabarinya bahwa ia akan pulang dan akan melakukan perjalanan menuju rumahnya.
“Hebat sekali perempuan di zaman sekarang, pagi-pagi buta sudah berangkat bekerja.” Ucapnya dalam hati sambil memegang rokok dan memandang ke arah langit sore.
Tiba sampai di rumah, perempuan itu langsung mengabari lelakinya dengan wajah yang lusuh dan lelah. Sesuatu yang ia tahan selelas pulang bekerja.
“Aku sudah sampai rumah.” Ketiknya dalam percakapan di WhatsApp.
“Ya sudah, kamu makan dan bersih-bersih, dan jangan lupa makan.” Tuturnya, dengan masih membayangkan sosok wanita yang ia cintai yang sedang merasakan kelelahan karena bekerja.
“Iya nanti, masih lelah. Mau merebahkan badan dulu.”
Malam datang. Sepasang kekasih ini mulai merasakan kerinduan satu sama lain. Meskipun jarak tidak terlalu jauh untuk bertemu, tetapi si laki-laki itu berpikir demi kebaikannya dan untuk kebaikan perempuannya. Maka jarang sekali sepasang kekasih ini bertemu.
Dalam percakapan yang terjadi di dalam WhatsApp, si perempuan merengek ingin dikasihi dan dicintai. Si lelaki pun mencoba untuk memberikan cinta yang setotalnya. Cinta yang ia miliki untuknya sembari memberi perhatian kepadanya. Dalam lamunannya, sambil menunggu balasan dari kekasihnya, lelaki itu masih terus berpikir kepada perempuan yang ia cintai. Ia merasa bahwa sebenarnya lelakilah yang harus bekerja dan bukan perempuan.
Karena si lelaki itu bertanggungjawab dengan pendidikan yang ia tempuh, ia selalu mencoba untuk mengalah dan memberikan perhatian lebih kepada perempuannya. Karena ia paham bahwa si perempuan-lah yang bekerja dan ia sedang menekuni pendidikannya.
“Saya tak mau bila nanti perempuan yang bekerja setelah kami menjalin keluarga. Dan tidak akan kubolehkah istriku bekerja.” Ucapnya kepada dirinya sendiri suatu hari, sambil memberanikan diri agar bisa bertanggungjawab menjadi lelaki sekaligus kepala rumah tangga kelak.
“Semua kebutuhan sandang, pangan, dan papan akan kutanggung semuanya. Dan dengan diri ini, aku akan menjadi tambang kebahagiaan baginya.” Dengan hati yang risau ia terus berkata kepada dirinya dan meyakinkan bahwa dirinya nanti akan bisa memberikan semuanya kepada perempuan yang ia cintai. Sebuah gumam sepi yang sesekali dibarengi dengan menghela nafas dan berdoa kepada Tuhan.
Ia mencoba terus menemani perempuannya di sepanjang malam sampai perempuan itu memejamkan matanya untuk beristirahat dan untuk memulai kembali perjuangannya di hari esok. Hatinya terus berjalan dan merasakan hal yang ingin sekali ia berikan: kebahagiaan dan rasa cinta untuknya. Ia membayangkan hal itu sambil memandang bintang di langit yang begitu ramai.
Dirinya masih terjebak dalam lamunannya yang ingin agar nanti perempuannya tidak bekerja dan di rumah saja mengurusi rumah tangga. Karana ia tak ingin terus menerus perempuan yang ia cintai bekerja sepanjang waktu. Tapi roda kehidupan terus berjalan dan berjalan, sepasang kekasih ini sadar akan keadaan masing-masing dan masih ingin membahagiakan kedua orangtua dari keduanya. Mimpi-mimpi dan harapan yang besar akan dikejar walau letih, lesuh dan kadang penuh keluhan. Semuanya mereka lakukan dan mereka berikan kepada hidup dan yang memberi hidup. Doa-doa ia panjatkan dalam setiap niatnya dalam kehidupan.
Bayangan akan masa depan dan harapan yang begitu besar yang ingin ia berikan pada perempuannya masih menjadi cita-cita baginya. Hal yang penting buatnya hanyalah untuk membahagiakan kekasihnya. Kini menjalani keseharian masing-masing adalah tanggungjawab bagi diri mereka. Untuk saling memberikan kebahagiaan dan saling bersitukar penderitaan satu sama lain dengan kekasihnya.[]