Kau bangun, menemukan dirimu berdiri di suatu lapangan berumput. Dengan pohon-pohon ketapang mengelilingi lapangan itu seolah sebuah pagar. Kau mengejapkan matamu untuk menghilangkan kantuk. Tiba-tiba di suatu kejauhan ada bola kecoklatan seukuran bola basket yang menggelinding ke arahmu. Saat bola sampai di hadapanmu kau penasaran dengan bola kecoklatan itu. Tapi kau terlalu takut untuk menyentuhnya secara langsung dan memilih mengambil ranting yang terdapat di tanah untuk menyentuhnya.
Saat kau menggunakan ranting tersebut, bola kecoklatan itu tiba-tiba membuka dan menampilkan sosok sebenarnya yang ternyata adalah seekor trenggiling. Trenggiling tersebut seperti trenggiling pada umumnya–baik ukuran dan warnanya–kecuali bahwa ia berdiri dengan kedua kaki belakang dan memakai kemeja merah kotak-kotak dan celana coklat pendek.
Mungkin hanya perasaanmu. Tapi kau merasa trenggiling itu menatap tajam ke arahmu lewat mata hitam besarnya. Trenggiling mulai bicara dan memperkenalkan diri sebagai Tuan Trenggiling. Tidak lupa ia mengucapkan “Selamat Datang.”
“Untuk siapa?”
“Dirimu.”
“Untuk apa?”
“Kehadiranmu.”
“Pentingkah kehadiranku di sini?”
“Tidak terlalu.”
Melihat kejadian di depanmu kau sungguh heran. Kau bingung apakah sekarang sedang di dalam mimpi atau di luar mimpi.
“Ikuti aku,” ucap trenggiling tersebut kepadamu.
Kau pun mulai mengikutinya. Sebab berdiam saja di sana tak ada artinya. Tak peduli ini mimpi atau bukan, lebih baik menikmatinya saja. Ia dan dirimu berjalan di sebuah jalan setapak. Kau di belakang, dia di depan. Melewati beberapa pohon mahoni dan beringin yang berdiri di samping jalan. Kau kemudian sampai di suatu gerbang kota. Di atas gerbangnya tertulis dengan huruf kapital besar YAYAYA.
“Kita telah sampai. Seperti yang kau lihat ini adalah kota yang sepi. Sebenarnya tidak benar-benar sepi. Para penghuninya saja yang memilih keluar hanya saat malam hari.” Ia melanjutkan. “Satu hal lagi, penduduk di kota ini tidak terlalu menyukai manusia. Jadi usahakan jangan melewati kota ini saat sedang ramai-ramainya. Untuk sekarang, ayo masuk.”
Seperti yang diucapkan Tuan Trenggiling, kau melihat kota itu benar-benar tak berpenghuni. Tak terlihat makhluk apa pun di kota itu. Baik binatang maupun manusia. Tapi kau sadar kota itu seperti apa yang dikatakan Tuan Trenggiling: sebenarnya hidup.
Kota itu terlalu bersih jika memang tidak berpenghuni. Tidak ada satu pun sampah yang kau lihat saat berjalan bersama Tuan Trenggiling. Selain itu, aliran listrik di kota itu masih menyala. Ini kau sadari ketika melihat satu TV kabel di etalase suatu toko TV masih menyala. “Apakah penghuni kota ini benar-benar tidak bisa keluar selain saat malam?” Tanyamu kepada Tuan Trenggiling saking penasaran.
“Tentu saja bisa. Tapi…”
“Tapi?”
“Mereka akan musnah, hehehe,” jawab Tuan Trenggiling disertai tawa. Entah kenapa tawa itu membuat bulu kudukmu berdiri. Padahal tawa itu sebenarnya biasa saja bagimu.
“Kenapa begitu?”
“Kenapa begitu? Entahlah. Aku sendiri tidak tahu pasti. Aku hanya mendengar sebuah desas-sesus.”
“Desas-desus?”
“Tentang sebab para penghuni kota tidak dapat keluar selain di malam hari.”
“Katakan padaku.”
“Dulu, jauh sebelum aku ditempatkan di sini. Di saat para penghuni kota ini masih dapat berjalan di bawah sinar siang hari. Walikota menginginkan pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir di bagian selatan kota yang tak berpenghuni. Agar kota semakin makmur. Maka atas persetujuan penduduk kota, walau sebagian menolak, dibangunlah pembangkit listrik tenaga nuklir tersebut.”
“Lalu?”
“Seperti yang diharapkan semua orang, kota menjadi makmur dengan adanya pembangkit listrik tenaga nuklir. Industri berjalan dengan lebih baik serta listrik dapat merata ke seluruh bagian kota, bahkan hingga ke bagian kota terkumuh sekalipun.”
“Kemudian…”
“Jangan memotongku saat bicara,” sergahnya.
“Kemudian terjadilah suatu kecelakaan yang membuat pembangkit listrik tenaga nuklir itu bocor, kemudian meledak. Sebenarnya jarak antara area pembangkit listrik tenaga nuklir dengan kota lumayan jauh. Sehingga saat pembangkit listrik tenaga nuklir meledak kota tidak luluh lantak. Tapi bukan itu masalah utamanya. Melainkan efek radiasi yang ditimbulkan bagi penduduk kota setelahnya.”
Ia tak berhenti menceritakan, “Walikota tidak mengantisipasi kejadian ini sehingga tidak dapat dilakukan evakuasi sesegera mungkin terhadap penduduk. Akibatnya banyak penduduk yang mati atau walaupun hidup mengalami cacat akibat ledakan itu,”
Tuan Trenggiling sejenak mengambil napas.
“Kita sampai di bagian terakhir cerita ini. Penduduk kota yang terkena radiasi dan masih hidup kemudian saling bahu-membahu membangun kembali kota mereka. Sulit memang, tapi tak berapa lama kemudian kota berhasil hidup kembali. Hanya saja efek dari radiasi itu tidak berhenti pada cacat tubuh yang penduduk kota dapatkan. Generasi kedua setelah bencana ledakan kemudian lahir. Berbeda dengan kedua orang tua mereka yang cacat, para bayi generasi kedua yang baru lahir ini memiliki tampilan fisik yang normal dan keadaan mental yang sehat.”
“Tapi di semua anak generasi kedua yang telah lahir sebenarnya tidak benar-benar sehat. Mereka memiliki cacat genetik yang membuat kulit mereka sangat sensitif terhadap sinar matahari. Baik langsung maupun tidak langsung. Sedikit saja, salah satu bagian tubuh anak-anak itu terkena sinar matahari, betapa sedikitpun itu, maka bagian yang terkena matahari tersebut akan berubah warna menjadi abu-abu kemudian menjalar ke seluruh tubuh, kemudian tubuh hancur menjadi debu. Tak ada yang tersisa selain debu.”
“Dari tanah kembali ke tanah. Dari debu kembali ke debu,” gumammu tanpa sadar. “Lalu bagaimana dengan nasib si walikota?”
“Dia bunuh diri. Ada yang bilang setelah kota kembali pulih. Ada yang bilang setelah cacat genetik generasi kedua kota ditemukan, dia melakukannya. Begitulah.”
“Sebentar, apa yang akan terjadi jika penduduk kota ini bertemu denganku, lebih tepatnya apa yang akan terjadi pada seorang manusia sepertiku?”
“Mereka akan menyajikanmu sebagai makanan penutup. Tapi mari kita pergi dari kota ini. Perjalanan kita masih jauh.”
Kau berjalan kembali. Sebelum kau meninggalkan kota tersebut, kau melihat papan iklan pasta gigi dengan gambar seekor trenggiling betina berpotongan rambut Bob sebagai modelnya.[]