Banyak hal yang diperbincangkan mengenai perempuan. Perbincangan tersebut mengarah ke beberapa persoalan misalnya mengenai hak-hak perempuan dan juga kewajiban perempuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme (suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut).
Kondisi perempuan, sebelum datangnya Islam melalui Nabi Muhammad, faktanya sangat memprihatinkan. Kala itu, apabila melahirkan bayi perempuan, maka bayi tersebut harus dibunuh. Hal itu dikarenakan pada zaman jahiliyah di Timur Tengah sana dianggap sebagai aib keluarga (Yunahar Ilyas, 1997).
Tidak sedikit isu-isu mengenai perempuan yang hingga akhirnya menimbulkan suatu keadaan di mana posisi perempuan termaginalkan dalam suatu tatanan masyarakat. Misalnya, dalam ranah politik: ada yang mengatakan bahwa keterlibatan seorang perempuan sangat diragukan terutama ketika ia menjadi seorang pemimpin. Sementara itu, jika kita menelisik sejarah terdahulu masih banyak ditemukan sosok pemimpin perempuan, seperti Khadijah binti Khuwailid, Siti Aisyah, Tarja Halonen dan adapula Megawati Soekarnoputri yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia yang kelima.
Fenomena mengenai kesetaraan gender telah banyak dibahas oleh para aktivis gender sehingga mengingatkan saya pada salah satu sosok intelektual Muslim yang terkemuka yakni Asghar Ali Engineer. Pria yang akrab disapa Asghar Ali ini lahir di Salumbar, Rajasthan, India pada 10 Maret 1940 dalam lingkungan keluarga yang menganut paham Syi’ah Isma’iliyah.
Ia memulai pendidikan dasarnya di negeri India, kemudian melanjutkan ke Universitas Vikram pada tahun 1956. Seusai menjalani kehidupannya sebagai insinyur, ia beralih memasuki dunia kajian sosial keislaman. Hal tersebut membuahkan hasil, Engineer mendirikan sebuah institusi yang di dalamnya memiliki dua arah gerak yang berbeda. Yang pertama fokus pada bidang hubungan antaragama dan yang kedua fokus pada kajian mengenai perempuan (Ahmad Baidowi, 2005).
Asghar merupakan sosok intelektual Muslim yang sangat produktif pemikirannya. Sejak muda ia mulai menelisik problem-problem yang terjadi di lingkungannya, baik masalah agama maupun sosial. Ia berhasil mengejawantahkan beberapa pemikirannya dalam bentuk buku. Adapun beberapa karyanya yakni On Developing Theory of Communal Riots (1984), The Qur’an, Women and Modern Society (1999), Lifting The Veil-Communal Violence and Communal Harmony in Contemporary India (1994), Islam and Liberation Theology Essay On Liberative Elements In Islam (1990), Islam and Its Relevance to Our Age (1987), State of Women in Islam (1987).
Karyanya yang berjudul State of Women in Islam membahas mengenai perempuan yang menyamaratakan status laki-laki dan perempuan. Perlu kita ingat kembali bahwa Engineer merupakan salah satu tokoh yang sangat menjunjung tinggi kedudukan perempuan. Engineer mengatakan “kalau anda tidak bisa menciptakan kehidupan, maka anda tidak berhak untuk merampas hak hidup orang lain”. Oleh sebab itu, karya utamanya mengenai hak-hak perempuan dalam Islam menjadi sorotan masyarakat yang di dalamnya masih menganggap rendah sosok perempuan (Asghar Ali Engineer, 1994).
Menurutnya, pada zaman jahiliyah sosok perempuan merupakan kaum yang lemah dan tertindas. Agama sendiri pada hakikatnya membebaskan kaum yang tertindas dan menciptakan kondisi yang rahmatan lil a’alamin. Dalam buku Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Engineer juga menerangkan bahwa al-Qur’an sendiri menegaskan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama memiliki hak yang sama dalam bidang apapun, seperti bidang politik, ekonomi dan juga sosial.
Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah yang proses penciptaannya dari jenis yang sama. Keduanya bebas untuk mendapatkan profesi yang setara dengan catatan tidak melupakan tanggung jawab antarkeduanya (Asghar Ali Engineer, 2000).
Asghar mengakui kelebihan laki-laki sebagai bentuk keunggulan fungsional, buka keunggulan jenis kelamin. Suatu ketika pada saat diturunkannya sebuah ayat, laki-laki bertugas untuk mencari nafkah sedangkan perempuan bertugas untuk menjalankan perannya sebagai istri di rumah. Hal tersebut dikarenakan pada masa itu kesadaran perempuan masih kurang sehingga tugas mencari nafkah dianggap sebagai keunggulan. Oleh sebab itu, kepemimpinan laki-laki bersifat kontekstual, bukan normatif. Asghar berkesimpulan bahwa seorang perempuan boleh memainkan peran apapun dalam hidup tanpa melanggar ketentuanAllah (Dr. Nur Janah Ismail, 2003).
Terkait pemikirannya mengenai kedudukan perempuan, Asghar juga mengkritisi metode para mufassir dalam memahami ayat yang merendahkan sosok perempuan. Menurutnya, para mufassir hanya menengok pada hal yang berbau teologis dan mengabaikan anasir yang bersifat sosiologis. Seharusnya mereka tidak hanya menggunakan satu dari keduanya, sebab turunnya ayat disebabkan oleh kondisi umat pada saat itu yang jika dikaitkan pada masa kini pasti terdapat beberapa perbedaan teologi maupun sosiologinya.
Ia juga menjabarkan bahwa ada beberapa aspek penting yang harus diperhatikan ketika menafsirkan ayat al-Qur’an. Pertama, al-Qur’an memiliki dua aspek, yakni aspek normatif dan juga kontekstual. Kemudian yang kedua, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an bergantung pada kondisi, pengalaman dan latar belakang si penafsir. Dan yang terakhir, makna ayat-ayat al-Qur’an itu terhampar dalam waktu. Jadi, tidak heran apabila kita menemui perbedaan penafsiran antara orang terdahulu dengan orang zaman sekarang. Dan yang terpenting adalah menyikapi perbedaan sebagai kekayaan dan keindahan, bukan sebagai pemicu kedengkian dan permusuhan. Wallahu A’lam.[]