Sebagai umat beragama, Tuhan selalu dianggap menempati posisi yang paling tinggi dari apa pun. Tak ada satu pun dan hal apa pun yang bisa bersaing dengan Tuhan. Dengan kekuasaan yang begitu luas, tak terhitung oleh kalkulator dan tak terukur oleh meteran. Namun, dengan kekuasaan yang agung itu ada seorang filsuf masyhur dari zamannya hingga sekarang mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ulama filsafat ini kita kenal dengan maulana syekh Friedrich Nietzsche Al-Filosofi.
“God is dead” (dalam bahasa Jerman: Gott ist tot) atau dalam bahasa Indonesia artinya “Tuhan telah mati”. Keluar dari mulut Nietzsche sejak 138 tahun yang lalu. Dari menulis namanya saja kita sudah kesulitan, ditambah lagi dengan pernyataannya yang membuat kita harus berfikir keras apa sebenarnya yang dia maksud? Bagaimana bisa Tuhan yang agung itu mati? Dan dengan cara apa Tuhan bisa mati?
Nietzsche sangat sadar bahwa ia telah melemparkan bom Molotov yang sangat sulit dijinakkan. Selain membuat gempar kaum agamawan di Eropa saat itu, pernyataan kontroversial itu juga membuat pusing mahasiswa filsafat secara berjamaah dari abad ke-19 sampai pada hari ini.
Sebagai tafsiran pribadi, pernyataan Nietzsche ternyata berkonteks dari kaum agamawan yang melihat wacana ilmiah dihantui oleh ide-ide ilahi. Hal ini tentu memperlambat perkembangan masyarakat menuju ke pemikiran saintifik.
Kemudian dalam Alkitab tertulis, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan sorga”. Usai membaca ini, ternyata Nietzsche melihat agama sebagai fiksi. Sehingga dengan mengklaim moralitas hamba membuatnya tidak perlu berusaha mendapatkan kekuasaan dan menjadi kreatif. Nietzsche berpikir bahwa terlalu menggantungkan harapan pada Tuhan membuat kita menjadi manusia penakut, pengecut, pemalas dan bahkan tidak mau bersaing.
Lalu yang jadi pertanyaan sekarang, apakah tuhan sudah benar-benar mati? Jika memang sudah mati, maka saat inilah waktu yang sangat tepat untuk ‘menghidupkannya kembali’. Sudah berbulan-bulan terakhir manusia seluruh dunia dihadapkan dengan aneka tantangan dari pandemi.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah bahwa berpisah adalah pilihan yang baik. Tidak berkunjung merupakan bentuk kasih sayang dan berbagai macam fenomena kebalikan lainnya. Sektor pendidikan pun dialihkan dengan memanfaatkan teknologi, sehingga sulit untuk membandingkan antara alternatif atau formalitas.
Di seluruh dunia sudah ada 73,4 juta manusia yang terinfeksi. Kemudiaan, 41,5 juta nyawa yang masih diselamatkan Tuhan dan ada 1,63 juta manusia yang sudah dipanggil oleh Tuhan. Banyaknya kesedihan-kesedihan semacam itu tentu membuat kita rindu dengan bernafas lega. Rindu menyapa satpam kampus, kantor, sekolah dan lain sebagainya. Kemudian, ingin berhenti melihat bagaimana orang-orang bergulat dalam ambang batas hidupnya di masa pandemi ini.
Dari sisi spiritual, tentu banyak orang bertanya, mengapa pandemi ini harus terjadi? Apakah tuhan yang sudah mati itu kembali hidup untuk memperlihatkan kekuasaannya? Lalu mengapa yang tercipta adalah kesedihan dan kesengsaraan? Apakah tuhan benar-benar menginginkan itu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas valid dan sangat wajar dipertanyakan oleh orang beragama. Sebab saat dalam keadaan sulit orang-orang akan menggantukan harapannya pada Zat yang Lebih Besar. Bagamana mungkin Zat yang Lebih Besar itu malah membuat orang-orang makin terpojok.
Bagi saya kehadiran pandemi ini merupakan bentuk ‘menghidupkan tuhan yang telah mati’. Sejak revolusi industri terjadi, manusia menjadi tuan atas segala sesuatu. Mendominasi setiap kehidupan yang ada, mulai dari eksploitasi terhadap alam sampai ke eksploitasi terhadap sesama makhluk hidup. Terciptanya pandemi merupakan bentuk teguran kepada manusia yang cenderung eksploitatif.
Tuhan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih mendominasi dari manusia, sehingga manusia tak dapat bergerak banyak. Entah itu dalam waktu singkat atau bahkan bisa berlangsung sangat lama. Tuhan sudah menciptakan dunia secara baik. Namun terjadi penyimpangan terhadap kehendak bebas manusia.
Tersebarnya virus yang berbeda dari tahun ke tahun, entah itu berbahaya atau tidak, diakibatkan keteledoran manusia yang sering lupa bahwa tak segala sesuatu bisa dieksploitasi.
Sebagai manusia seharusnya kita bersyukur dapat gelar sebagai makhluk sempurna. Jika dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, manusia memiliki kelebihan yang bernama “pikiran” (walaupun ada beberapa orang yang tidak menggunakannya). Bumi salah satu dari planet yang telah dipilih Tuhan sebagai tempat tinggal makhluk hidup sekaligus menjadi wadah untuk meluapkan ekspresi manusia. Namun, terlepas dari itu, kita pun harus mengingat bahwa bukan hanya spesies kita-lah yang hidup. Masih ada seabrek jenis makhluk lain di semesta ini. Menghargai alam dan makhluk hidup lain merupakan bentuk penerapan hidup berdampingan yang damai dan ‘menghidupkan tuhan yang telah mati’. (ed: Silakan didebat lewat tulisan lain).[]