• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Jumat, 22 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom

Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

M. Rizki Yusrial by M. Rizki Yusrial
26 Desember 2020
in Esai, Kolom
0
Gambar Artikel Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

Sumber Gambar: http://euro-synergies.hautetfort.com/tag/nietzsche

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Sebagai umat beragama, Tuhan selalu dianggap menempati posisi yang paling tinggi dari apa pun. Tak ada satu pun dan hal apa pun yang bisa bersaing dengan Tuhan. Dengan kekuasaan yang begitu luas, tak terhitung oleh kalkulator dan tak terukur oleh meteran. Namun, dengan kekuasaan yang agung itu ada seorang filsuf masyhur dari zamannya hingga sekarang mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ulama filsafat ini kita kenal dengan maulana syekh Friedrich Nietzsche Al-Filosofi.

“God is dead” (dalam bahasa Jerman: Gott ist tot) atau dalam bahasa Indonesia artinya “Tuhan telah mati”. Keluar dari mulut Nietzsche sejak 138 tahun yang lalu. Dari menulis namanya saja kita sudah kesulitan, ditambah lagi dengan pernyataannya yang membuat kita harus berfikir keras apa sebenarnya yang dia maksud? Bagaimana bisa Tuhan yang agung itu mati? Dan dengan cara apa Tuhan bisa mati?

Nietzsche sangat sadar bahwa ia telah melemparkan bom Molotov yang sangat sulit dijinakkan. Selain membuat gempar kaum agamawan di Eropa saat itu, pernyataan kontroversial itu juga membuat pusing mahasiswa filsafat secara berjamaah dari abad ke-19 sampai pada hari ini.

Sebagai tafsiran pribadi, pernyataan Nietzsche ternyata berkonteks dari kaum agamawan yang melihat wacana ilmiah dihantui oleh ide-ide ilahi. Hal ini tentu memperlambat perkembangan masyarakat menuju ke pemikiran saintifik.

Kemudian dalam Alkitab tertulis, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan sorga”. Usai membaca ini, ternyata Nietzsche melihat agama sebagai fiksi. Sehingga dengan mengklaim moralitas hamba membuatnya tidak perlu berusaha mendapatkan kekuasaan dan menjadi kreatif.  Nietzsche berpikir bahwa terlalu menggantungkan harapan pada Tuhan membuat kita menjadi manusia penakut, pengecut, pemalas dan bahkan tidak mau bersaing.

Lalu yang jadi pertanyaan sekarang, apakah tuhan sudah benar-benar mati? Jika memang sudah mati, maka saat inilah waktu yang sangat tepat untuk ‘menghidupkannya kembali’. Sudah berbulan-bulan terakhir manusia seluruh dunia dihadapkan dengan aneka tantangan dari pandemi.

Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah bahwa berpisah adalah pilihan yang baik. Tidak berkunjung merupakan bentuk kasih sayang dan berbagai macam fenomena kebalikan lainnya. Sektor pendidikan pun dialihkan dengan memanfaatkan teknologi, sehingga sulit untuk membandingkan antara alternatif atau formalitas.

Di seluruh dunia sudah ada 73,4 juta manusia yang terinfeksi. Kemudiaan, 41,5 juta nyawa yang masih diselamatkan Tuhan dan ada 1,63 juta manusia yang sudah dipanggil oleh Tuhan. Banyaknya kesedihan-kesedihan semacam itu tentu membuat kita rindu dengan bernafas lega. Rindu menyapa satpam kampus, kantor, sekolah dan lain sebagainya. Kemudian, ingin berhenti melihat bagaimana orang-orang bergulat dalam ambang batas hidupnya di masa pandemi ini.

Dari sisi spiritual, tentu banyak orang bertanya, mengapa pandemi ini harus terjadi? Apakah tuhan yang sudah mati itu kembali hidup untuk memperlihatkan kekuasaannya? Lalu mengapa yang tercipta adalah kesedihan dan kesengsaraan? Apakah tuhan benar-benar menginginkan itu?

Pertanyaan-pertanyaan di atas valid dan sangat wajar dipertanyakan oleh orang beragama. Sebab saat dalam keadaan sulit orang-orang akan menggantukan harapannya pada Zat yang Lebih Besar. Bagamana mungkin Zat yang Lebih Besar itu malah membuat orang-orang makin terpojok.

Bagi saya kehadiran pandemi ini merupakan bentuk ‘menghidupkan tuhan yang telah mati’. Sejak revolusi industri terjadi, manusia menjadi tuan atas segala sesuatu. Mendominasi setiap kehidupan yang ada, mulai dari eksploitasi terhadap alam sampai ke eksploitasi terhadap sesama makhluk hidup. Terciptanya pandemi merupakan bentuk teguran kepada manusia yang cenderung eksploitatif.

Tuhan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih mendominasi dari manusia, sehingga manusia tak dapat bergerak banyak. Entah itu dalam waktu singkat atau bahkan bisa berlangsung sangat lama. Tuhan sudah menciptakan dunia secara baik. Namun terjadi penyimpangan terhadap kehendak bebas manusia.

Tersebarnya virus yang berbeda dari tahun ke tahun, entah itu berbahaya atau tidak, diakibatkan keteledoran manusia yang sering lupa bahwa tak segala sesuatu bisa dieksploitasi.

Sebagai manusia seharusnya kita bersyukur dapat gelar sebagai makhluk sempurna. Jika dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, manusia memiliki kelebihan yang bernama “pikiran” (walaupun ada beberapa orang yang tidak menggunakannya). Bumi salah satu dari planet yang telah dipilih Tuhan sebagai tempat tinggal makhluk hidup sekaligus menjadi wadah untuk meluapkan ekspresi manusia. Namun, terlepas dari itu, kita pun harus mengingat bahwa bukan hanya spesies kita-lah yang hidup. Masih ada seabrek jenis makhluk lain di semesta ini. Menghargai alam dan makhluk hidup lain merupakan bentuk penerapan hidup berdampingan yang damai dan ‘menghidupkan tuhan yang telah mati’. (ed: Silakan didebat lewat tulisan lain).[]

Tags: agamacoronaesaiNietzschepandemiTuhan
ShareTweetSendShare
Previous Post

Setabah Kopi

Next Post

Melebur Bersama Tuhan dengan Tarian

M. Rizki Yusrial

M. Rizki Yusrial

Seorang mahasiswa filsafat asal Jambi yang ingin dibilang pintar lewat tulisan. Sebab selama sekolah hanya mendapat ranking 24. Ig: @mrizkiyusrial

Artikel Terkait

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
Esai

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 Agustus 2025

Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk...

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 Juli 2025

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Belajar Mengitari Israel

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023
Kisah Penjual Jamu dan Hukum yang Aneh

Kisah Penjual Jamu dan Hukum yang Aneh

29 Mei 2021
Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

11 Oktober 2021
Apakah Koruptor Layak di Dor?

Apakah Koruptor Layak di Dor?

7 Februari 2021
Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

13 Januari 2022
Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial

Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial

30 November 2022
Gambar Artikel Sepasang Mata

Sepasang Mata

10 November 2020
Membaca Cara Kerja Pikiran

Membaca Cara Kerja Pikiran

8 April 2022
Gambar Artikel Mengapa Jamie Vardy Layak Jadi Guru Untuk Kaum Pekerja?

Mengapa Jamie Vardy Layak Jadi Guru untuk Kaum Pekerja?

20 November 2020
Alir-an

Alir-an

10 Februari 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.