slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati - Metafor.id - Situs Literasi Digital
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sunday, 1 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom

Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

M. Rizki Yusrial by M. Rizki Yusrial
26 December 2020
in Esai, Kolom
0
Gambar Artikel Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

Sumber Gambar: http://euro-synergies.hautetfort.com/tag/nietzsche

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Sebagai umat beragama, Tuhan selalu dianggap menempati posisi yang paling tinggi dari apa pun. Tak ada satu pun dan hal apa pun yang bisa bersaing dengan Tuhan. Dengan kekuasaan yang begitu luas, tak terhitung oleh kalkulator dan tak terukur oleh meteran. Namun, dengan kekuasaan yang agung itu ada seorang filsuf masyhur dari zamannya hingga sekarang mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ulama filsafat ini kita kenal dengan maulana syekh Friedrich Nietzsche Al-Filosofi.

“God is dead” (dalam bahasa Jerman: Gott ist tot) atau dalam bahasa Indonesia artinya “Tuhan telah mati”. Keluar dari mulut Nietzsche sejak 138 tahun yang lalu. Dari menulis namanya saja kita sudah kesulitan, ditambah lagi dengan pernyataannya yang membuat kita harus berfikir keras apa sebenarnya yang dia maksud? Bagaimana bisa Tuhan yang agung itu mati? Dan dengan cara apa Tuhan bisa mati?

Nietzsche sangat sadar bahwa ia telah melemparkan bom Molotov yang sangat sulit dijinakkan. Selain membuat gempar kaum agamawan di Eropa saat itu, pernyataan kontroversial itu juga membuat pusing mahasiswa filsafat secara berjamaah dari abad ke-19 sampai pada hari ini.

Sebagai tafsiran pribadi, pernyataan Nietzsche ternyata berkonteks dari kaum agamawan yang melihat wacana ilmiah dihantui oleh ide-ide ilahi. Hal ini tentu memperlambat perkembangan masyarakat menuju ke pemikiran saintifik.

Kemudian dalam Alkitab tertulis, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan sorga”. Usai membaca ini, ternyata Nietzsche melihat agama sebagai fiksi. Sehingga dengan mengklaim moralitas hamba membuatnya tidak perlu berusaha mendapatkan kekuasaan dan menjadi kreatif.  Nietzsche berpikir bahwa terlalu menggantungkan harapan pada Tuhan membuat kita menjadi manusia penakut, pengecut, pemalas dan bahkan tidak mau bersaing.

Lalu yang jadi pertanyaan sekarang, apakah tuhan sudah benar-benar mati? Jika memang sudah mati, maka saat inilah waktu yang sangat tepat untuk ‘menghidupkannya kembali’. Sudah berbulan-bulan terakhir manusia seluruh dunia dihadapkan dengan aneka tantangan dari pandemi.

Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah bahwa berpisah adalah pilihan yang baik. Tidak berkunjung merupakan bentuk kasih sayang dan berbagai macam fenomena kebalikan lainnya. Sektor pendidikan pun dialihkan dengan memanfaatkan teknologi, sehingga sulit untuk membandingkan antara alternatif atau formalitas.

Di seluruh dunia sudah ada 73,4 juta manusia yang terinfeksi. Kemudiaan, 41,5 juta nyawa yang masih diselamatkan Tuhan dan ada 1,63 juta manusia yang sudah dipanggil oleh Tuhan. Banyaknya kesedihan-kesedihan semacam itu tentu membuat kita rindu dengan bernafas lega. Rindu menyapa satpam kampus, kantor, sekolah dan lain sebagainya. Kemudian, ingin berhenti melihat bagaimana orang-orang bergulat dalam ambang batas hidupnya di masa pandemi ini.

Dari sisi spiritual, tentu banyak orang bertanya, mengapa pandemi ini harus terjadi? Apakah tuhan yang sudah mati itu kembali hidup untuk memperlihatkan kekuasaannya? Lalu mengapa yang tercipta adalah kesedihan dan kesengsaraan? Apakah tuhan benar-benar menginginkan itu?

Pertanyaan-pertanyaan di atas valid dan sangat wajar dipertanyakan oleh orang beragama. Sebab saat dalam keadaan sulit orang-orang akan menggantukan harapannya pada Zat yang Lebih Besar. Bagamana mungkin Zat yang Lebih Besar itu malah membuat orang-orang makin terpojok.

Bagi saya kehadiran pandemi ini merupakan bentuk ‘menghidupkan tuhan yang telah mati’. Sejak revolusi industri terjadi, manusia menjadi tuan atas segala sesuatu. Mendominasi setiap kehidupan yang ada, mulai dari eksploitasi terhadap alam sampai ke eksploitasi terhadap sesama makhluk hidup. Terciptanya pandemi merupakan bentuk teguran kepada manusia yang cenderung eksploitatif.

Tuhan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih mendominasi dari manusia, sehingga manusia tak dapat bergerak banyak. Entah itu dalam waktu singkat atau bahkan bisa berlangsung sangat lama. Tuhan sudah menciptakan dunia secara baik. Namun terjadi penyimpangan terhadap kehendak bebas manusia.

Tersebarnya virus yang berbeda dari tahun ke tahun, entah itu berbahaya atau tidak, diakibatkan keteledoran manusia yang sering lupa bahwa tak segala sesuatu bisa dieksploitasi.

Sebagai manusia seharusnya kita bersyukur dapat gelar sebagai makhluk sempurna. Jika dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, manusia memiliki kelebihan yang bernama “pikiran” (walaupun ada beberapa orang yang tidak menggunakannya). Bumi salah satu dari planet yang telah dipilih Tuhan sebagai tempat tinggal makhluk hidup sekaligus menjadi wadah untuk meluapkan ekspresi manusia. Namun, terlepas dari itu, kita pun harus mengingat bahwa bukan hanya spesies kita-lah yang hidup. Masih ada seabrek jenis makhluk lain di semesta ini. Menghargai alam dan makhluk hidup lain merupakan bentuk penerapan hidup berdampingan yang damai dan ‘menghidupkan tuhan yang telah mati’. (ed: Silakan didebat lewat tulisan lain).[]

Tags: agamacoronaesaiNietzschepandemiTuhan
ShareTweetSendShare
Previous Post

Setabah Kopi

Next Post

Melebur Bersama Tuhan dengan Tarian

M. Rizki Yusrial

M. Rizki Yusrial

Seorang mahasiswa filsafat asal Jambi yang ingin dibilang pintar lewat tulisan. Sebab selama sekolah hanya mendapat ranking 24. Ig: @mrizkiyusrial

Artikel Terkait

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi
Esai

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

17 March 2024

Belakang ini isu perundungan bagai bom waktu. Setiap hari bisa meledak di mana-mana, baik di sekolah hingga pesantren elite sekalipun....

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar
Esai

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

4 April 2023

Berbicara, sebagai kebutuhan primer dalam berinteraksi, dapat membuat sebuah pertemuan menjadi lebih hidup. Bagi kebanyakan orang, sering atau banyak bicara...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Main Tanah dari Langit

Main Tanah dari Langit

28 November 2021
Belajar Menulis

Belajar Menulis

1 April 2021
Gambar Artikel Syafaat Rasul Menurut Abu Mansur al-Maturidi

Syafaat Rasul Menurut Abu Mansur al-Maturidi

3 December 2020
4 Nilai Humanistik dalam Film “Hotel Transylvania: Transformania”

4 Nilai Humanistik dalam Film “Hotel Transylvania: Transformania”

1 March 2022
Gambat Artikel Abbas Ibn Firnas : Manusia Terbang Pertama dari Andalusia

Abbas Ibn Firnas: ‘Manusia Terbang’ Pertama dari Andalusia

29 June 2021
Gambar Artikel Pengungsi Peradaban, Para Pencari Mbah Nun

Pengungsi Peradaban (2)

23 January 2021
Mawar Hitam Praja Buana

Mawar Hitam Praja Buana

29 April 2021
Konsep Tuhan di Benak Saya Sendiri

Konsep Tuhan di Benak Saya Sendiri

5 May 2021
Gambar Artikel Kenapa Bahasa Inggris untuk Anak SD tidak boleh Dianggap enteng

Kenapa Bahasa Inggris untuk Anak SD Tidak Boleh Dianggap Enteng

25 April 2021
Perilaku Umat Beragama Kiwari: Sebuah Ironi

Perilaku Umat Beragama Kiwari: Sebuah Ironi

29 March 2021

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
  • Aku Merangkum Desember

Kategori

  • Event (10)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (8)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In