Berbicara, sebagai kebutuhan primer dalam berinteraksi, dapat membuat sebuah pertemuan menjadi lebih hidup. Bagi kebanyakan orang, sering atau banyak bicara pada saat pertemuan adalah tanda keakraban.
Dalam circle yang kita anggap mempunyai kedekatan, kita sering kali merasa leluasa dan tak ragu untuk mengungkapkan banyak hal. Topik yang kita bahas dengan sekumpulan teman pun beragam, mulai dari peristiwa terkini, tentang orang lain, perencanaan sesuatu, dan lain sebagainya.
Kalau dirasakan, ternyata saat kita berbicara dengan suatu kelompok rupanya punya perbedaan yang cukup signifikan bergantung kondisi dan kedekatan. Kita merasa biasa saja, rileks dan lancar ketika ngobrol bersama teman sebaya, tapi jika berbicara di depan banyak orang pada situasi tertentu, seperti menyampaikan tanggapan di dalam forum, mendefinisikan suatu hal, hingga membuat topik obrolan di tengah kerumunan orang justru mendadak grogi. Gugup. Mendadak terjadi guncangan mental dalam berkomunikasi.
Berbicara di hadapan massa atau sekelompok orang merupakan istilah yang disebut public speaking. baik yang dibicarakan itu berupa cerita, pertanyaan, pemaparan, tanggapan, pidato, nasihat, maupun dakwah. Tetapi dalam keadaan tertentu kita bisa merasakan hal berbeda saat situasi dan orang di luar kehendak kita menjadi lawan bicara pada sebuah pertemuan–yang terencana maupun yang tak terduga.
Karena tidak akrab atau tidak terbiasa bertemu secara berkala, dalam berbicara di depan umum sebagian besar orang merasa gugup, ragu, malu, hingga terbata-bata. Individu merasa tidak siap maupun panik ketika dirinya menjadi pusat perhatian banyak orang saat berbicara, padahal orang-orang di sekitar hanya ingin melihat dan mendengar apa yang disampaikan.
Untuk mengatasi hal tersebut, ada poin penting yang perlu disampaikan. Bahwa ada tiga modal yang dibutuhkan untuk menunjang public speaking. Ketiga modal itu adalah mental, materi, dan lingkungan sekitar.
Aspek mental, itu berarti public speaking berhubungan dengan kepercayaan diri dan keberanian. Menyampaikan gagasan atau realitas saat ini di tengah kerumunan massa dengan suara lantang, sehingga orang di sekeliling mendengar dengan jelas serta menggugah minat mereka untuk memperhatikan pesan yang disampaikan.
Sialnya, tidak semua orang punya mental yang mumpuni untuk berbicara di depan umum. Bahkan golongan terdidik maupun terpelajar saja masih sering mengalami kesalahan dalam mengucap. Tak jarang dari kalangan mereka juga enggan mencoba berbicara di depan umum secara spontan. Kesiapan mental merupakan salah satu hal yang perlu dikelola dengan bijak, karena public speaking berarti menghadapi orang dan timbal baliknya akan kita rasakan.
Kemudian aspek materi. Ini bukan berarti tentang kepemilikan harta benda, lho. Materi yang dimaksud berupa sumber atau konten-konten yang kita pelajari, fenomena yang kita terima, serta opini yang kita buat sesuai kaidah. Materi dalam public speaking tentunya berawal dari persiapan atau perencanaan yang matang.
Dengan adanya persiapan materi, individu yang akan menyampaikan pesan kepada khalayak umum akan lebih tersusun dan menunjang efisiensi dalam berbicara. Selain itu mempersiapkan materi juga menjadi pertimbangan penting untuk orang-orang yang masih pada tahap permulaan dalam keterampilan public speaking. Itu karena materi bisa membuat seseorang tidak lagi bingung menyusun kata maupun kalimat ketika hendak menyampaikan pembicaraan.
Terakhir, lingkungan sekitar. Ini adalah faktor yang punya pengaruh besar dalam hal memantik kemauan seseorang untuk berbicara dan menjadikannya mahir. Lingkungan sekitar yang mendukung untuk public speaking contohnya seperti perkumpulan di organisasi, pelatihan soft skill, pembekalan peningkatan diri, hingga pemberian kesempatan sesi diskusi di ruang belajar.
Secara general, orang-orang yang pernah dan sedang berada di lembaga pendidikan tentu kerap terlibat dalam aktivitas public speaking, bisa karena minat diri sendiri yang ingin mencoba atau karena adanya pengaruh dari orang lain yang membuat seseorang itu harus melakukan public speaking.
Persoalannya, apakah public speaking adalah kemampuan milik mereka yang terpelajar saja?
Tentu saja bukan. Public speaking, dalam konteks personal, itu menyangkut “hak”. Ia juga disertai alasan yang menggiring individu untuk melakukannya. Di luar sana ada banyak orang awam yang bukan dari golongan terdidik, umumnya mereka melakukan aktivitas di tempat ramai dan terbuka, seperti pasar, terminal, jalanan dan lain sebagainya. Meski mereka bukan dari golongan terdidik tapi mereka punya kemampuan lain yang tak diajarkan oleh lembaga formal, salah satunya adalah kemampuan berbicara.
Contohnya: seorang pengamen dari terminal yang masuk ke bus ketika berhenti tidak hanya membawakan nyanyian atau iringan musik. Tak jarang pengamen di terminal juga melontarkan kata-kata nasihat, pesan yang mengandung religi. Pembawaannya dalam berbicara juga bisa runtut, seperti adanya salam pembuka, isi berupa informasi, sampai pesan akhir atau penutup.
Adapun seorang pedagang di pasar, sales, maupun makelar yang lihai mempromosikan barang. Bila pedagang melihat ada pengunjung berhenti di depan tokonya, dia akan menawarkan produk yang dijual dengan spontanitas serta antusiasme yang tinggi agar pengunjung tergiur untuk membeli barang tersebut.
Kebanyakan mereka berasal dari golongan kaum elite jebolan pendidikan tinggi, tapi mereka punya keterampilan yang bisa dikatakan mumpuni. Terutama dalam hal memberi pengaruh pada orang lain dengan cara berbicara. Jika diperhatikan, mereka juga dapat memilah ragam bahasa, pilihan kata untuk digunakan serta menyampaikan pesan secara runtut dan jelas dengan menyesuaikan kapan, di mana, dan siapa yang melihatnya ketika dia bicara.
Sedangkan golongan yang berada di lembaga pendidikan formal masih cukup banyak yang enggan menyampaikan aspirasi maupun informasi ke lingkungan masyarakat dengan menarik. Barangkali itu karena mereka menuruti rasa kecanggungan serta kurangnya sikap kepercayaan diri dalam ranah sosial. Bisa disebabkan pula minimnya manajemen waktu dan minat pelajar atau mahasiswa atau dosen untuk mengembangkan potensi diri sendiri.
Antara golongan terdidik dan kaum awam, rupanya memiliki kesenjangan dalam hal public speaking. Salah satu pembeda yang menonjol adalah mentalitas. Kalau dikomparasikan dengan orang yang punya pengalaman di luar lembaga pendidikan, golongan terdidik masih punya keterampilan public speaking yang lemah.
Ini, lag-lagi, berhubungan dengan mentalitas. Seperti ada keraguan yang tak ingin diatasi atau bisa juga dari salahnya cara memanfaatkan pergaulan. Padahal dari segi materi yang diperoleh serta lingkungan mereka yang tersedia fasilitas serta ruang belajar, harusnya kemampuan berbicara dari golongan terdidik lebih unggul dibanding golongan luar yang mengandalkan keterampilan otodidak. Sisanya, bagaimana pendapatmu?[]
__________________
Penyunting: M.N.W.