• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Thursday, 13 November 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Melebur Bersama Tuhan dengan Tarian

Chintya Amelya P. by Chintya Amelya P.
27 December 2020
in Esai
0
Gambar Artikel Melebur Bersama Tuhan dengan Tarian

Javanese Mask Dance, Sumber Gambar: https://www.flickr.com/photos/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Usai dengan puisi milik Mas Febrian Kisworo yaitu Lewat Tulisan Aku BerTuhan-nya, maka tak ada salahnya juga ikut nimbrung mengutarakan buah pikiran, menuangkannya dalam barisan kata tentang peleburanku bersama Tuhan lewat sebuah tarian.

Entah akan ada banyak kepala yang heran bukan kepalang melihat manusia-manusia ini lagaknya menggampangkan dirinya dalam berTuhan. Namun, jika kendati demikian yang kalian pikirkan, maka lebih baiklah apabila kalian tadaburi buku milik Buya M. N. Kamba, Mencintai Tuhan secara Merdeka—yang resensi nya juga ditulis di Metafor oleh Mbak Atssania Zahroh. Sehingga tidaklah terhanyut pikiran kalian oleh besi-besi penjara yang telah kalian buat sendiri.

“Menurutmu, menari itu apa?” Pertanyaan sederhana dari seorang teman yang berhasil membuatku kebingungan menjawab. Kalau saat itu derita malas datang menghampiri pikiran dan jari ini, maka tentu akan kujawab dengan sederhana pula: bahwa menari itu membawakan sebuah tarian. Namun, malu rasanya jika bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia tari dan hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan sepetak kalimat yang tak membawa kepuasaan jawaban sama sekali.

Untuk itu, kujawab pertanyaan tersebut dengan mengingat 3 unsur dalam tarian, yaitu “wiragamarasa”. Wiraga, wirama, dan wirasa. Tidak boleh ada unsur yang terbalik, sebab seperti itulah pakem-nya.

Gampangnya, menari adalah menyampaikan rasa ketika kata tidak lagi mampu untuk diucapkan pun didengarkan. Sedangkan penjabaran berdasarkan ketiga unsur di dalamnya dan pemahamanku yang seada-adanya, menari adalah ketika raga bergerak bersama dengan alunan irama dan keduanya disatukan melalui rasa (hati). Dengan begitu, menari juga dapat diartikan sebagai wujud olah diri dalam menyampaikan sebuah pesan melalui gerakan yang berasal dari dalam hati.

Lalu, apa hubungannya antara berTuhan dengan tarian?

Menari itu matoyo. Yang mana jika ditelisik susunan katanya, terdapat kata Toyo (bahasa Jawa) yang berarti Tuhan. Sehingga menari sama artinya dengan menTuhan. Melebur-kan diri dengan / bersama Tuhan.

Namun, tentu tidak semua dapat diartikan demikian. Sebab dalam menari untuk maToyo harus ada keselarasan antara ketiga unsur tadi, yaitu: raga, irama, dan rasa. Sedikit saja kecacatan dalam unsur tersebut, maka menari yang kita lakukan hanya sebatas rentetan gerak tubuh saja. Bahkan antara musik dengan penari pun akan terlihat saling berdiri sendiri.

Dari keberagaman jenis tarian, tari tradisional khususnya tari klasik-lah yang membuatku mampu merasakan peleburan / melebur bersama Tuhan ini. Alunan musiknya pelan. Bahkan menurut beberapa orang sangat pelan, relatif sekali. Gerak demi gerak penuh penghayatan. Bahkan titik atau gong musiknya hanya akan terasa ketika kita telah mampu meleburkan raga dengan irama. Sebab, kebanyakan musik yang digunakan relatif sama nadanya, ajeg.

Sedikit saja fokus kita teralih pada hafalan, jarik, sanggul, kemben yang mau melorot, dan sebagainya, maka akan membuyarkan tarian kita. Yang bisa dilakukan hanya pasrah, mengalun, mengalir, hingga melebur bersama kekosongan batin. Maka segera akan kita temui ketenangan sesungguhnya, ketenangan yang kita cari-cari yaitu saat bersama Tuhan.

Adapun gerakannya juga tidak hanya sekadar gerak, gendingnya tidak hanya sekadar gending biasa, keseluruhannya mengadung doa dan pengharapan pada Tuhan. Ini semua tak akan kita rasa ketika yang kita tonton hanya liuk tubuh penarinya saja atau musiknya saja. Sebab untuk menTuhan perlu menyatu.

Tidak masalah dengan ikut memeriahkan tarian modern di era seperti ini. Namun, akan menjadi salah ketika tidak ada rasa ingin melestarikan tari tradisi yang kita miliki. Betapa banyak nilai kehidupan hingga religiusitas yang kita dapat ketika kita mau menyelaminya. Sayang sekali, jika hanya tutur kata berucap melestarikan namun abai. Berucap melestarikan, tapi ogah-ogahan menarikan dan mempelajarinya.

Jika negara luar mengklaim tarian kita sebagai tariannya, barulah melakukan protes tidak terima dan berujar pencurian. Padahal kita sendiri yang terlalu terperdaya oleh siasat mereka agar fokus kita terpecah pada budaya mereka. Jadi, siapa yang salah? Atau biar tidak menghakimi, pertanyaannya diubah, “Jadi, apa yang salah?” Fokus kita, niat kita, atau tindakan kita?

Sembari merenungi pertanyaan di atas, pahami pula sejatinya mencari Tuhan banyak ragamnya. Ibadah terletak pada niat. Dan segala sesuatu di jagat besar ini adalah bentuk ibadah jika meniatinya untuk ibadah. Termasuk tarian. Sehingga ibadah tidak mandek hanya sebatas ibadah yang kita tahu saja.

Merdekalah dalam menTuhan. Dan cara yang paling ampuh untuk meleburkan diri dengan-Nya, ya dengan meleburkan diri pada dirimu sendiri. Siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia akan mengenal Tuhan-Nya, bukan? Man ‘Arofa Nafsahu faqod ‘Arofa Rabbahu.[]

Tags: JawasenispiritualtaritasawuftradisonalTuhan
ShareTweetSendShare
Previous Post

Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

Next Post

Jahm bin Safwan: Sosok Ekstremis Klasik di Islam

Chintya Amelya P.

Chintya Amelya P.

Mahasiswa asal Tuban, Jawa Timur, yang merasa salah jurusan. Kuliah di Yogyakarta. Kesibukan sekarang kuliah dan menulis saja. Bisa disapa di Instagram @chintyaamelyaa.

Artikel Terkait

Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
Esai

Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar

21 October 2025

Penulis: Jean-Luc Raharimanana Penerjemah: Ari Bagus Panuntun   2002. Buku-buku dibakar di depan rumah ayahku. Adalah militer. Adalah milisi. Mereka...

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
Esai

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 August 2025

Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk...

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 July 2025

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Gambar Artikel Sedayu Dalam Kurun Waktu

Sedayu dalam Kurun Waktu

12 November 2020
Gejala Kebudayaan Hilang di Era Pandemi

Gejala Kebudayaan Hilang di Era Pandemi

7 February 2021
Gambar Artikel Pendidikan Virtual : Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

Pendidikan Virtual: Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

20 November 2020
Beberapa Adegan di Balik Pintu yang Tak Terkunci

Beberapa Adegan di Balik Pintu yang Tak Terkunci

7 February 2021
Pop Culture Buat Isti

Pop Culture Buat Isti

3 April 2021
Gambar Esai Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron Advaitam Te

Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron

14 January 2021
Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman

Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman

31 October 2025

Senyum Pak No: Bekali Jiwa dengan Rasa Bahagia

7 September 2021
Jumat Berkah dan Kelahiran

Jumat Berkah dan Kelahiran

18 March 2022
Sebelum Lelap

Sebelum Lelap

29 October 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (48)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.