• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Tuesday, 23 December 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Harga Buku, Nasib Penulis, dan IQ Kita yang Menghkhawatirkan

Muhammad Zahrudin Afnan by Muhammad Zahrudin Afnan
17 December 2025
in Esai
0
Harga Buku, Nasib Penulis, dan IQ Kita yang Menghkhawatirkan

Sumber ilustrasi: Pinterest

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Ada satu hal yang selalu membuat saya terdiam lama setiap kali mampir ke toko buku: harga buku yang makin hari makin naik. Masalahnya, isi dompet saya makin hari makin… ya, begitu saja. Ironisnya, buku yang katanya “jendela dunia” kini terasa seperti jendela rumah mewah yang hanya bisa dilihat dari luar, sambil kita bertanya-tanya kapan terakhir membaca buku selain caption Instagram.

Belum lagi tentang kesejahteraan penulis Indonesia yang sering kali lebih mirip kisah perjuangan ketimbang kisah sukses. Di tengah semua itu, minat membaca masyarakat yang rendah seolah ingin menegaskan satu fakta pahit: IQ kita ikut turun pelan-pelan, hingga entah sejak kapan posisinya mulai mendekati IQ gorila.

Realitas Pahit: Menyerah Sebelum Memulai

Mari kita mulai dengan kenyataan yang cukup menyakitkan: harga buku. Buku yang dulu bisa dibeli dengan uang saku mingguan, kini harganya setara dengan makan enak di restoran “all you can eat”. Bahkan, kadang lebih mahal dari biaya bensin sebulan untuk sepeda motor. Ketika harga kertas naik, biaya percetakan naik, biaya distribusi naik, semua ikut naik kecuali satu hal: daya beli. Tak heran jika sebagian orang memilih membaca sinopsis saja dan merasa sudah cukup berbudaya. Toh, pada zaman sekarang, membaca judul sudah dianggap setara dengan memahami isi. Kita bahkan sering menemukan orang berdebat keras tentang sesuatu yang ia hanya baca sekilas dari thumbnail YouTube.

Harga buku yang mahal membuat sebagian orang menyerah sebelum memulai. Namun, masalah sesungguhnya tidak berhenti di situ. Di balik harga buku yang terasa mencekik, ada fakta yang lebih menyedihkan: penulisnya sering kali tidak ikut menikmati “kenikmatan” dari mahalnya harga tersebut. Banyak orang beranggapan bahwa menjadi penulis itu hidupnya glamor—mengetik di kafe estetik, tampil di acara televisi, dan menerima royalti miliaran rupiah.

Padahal, kenyataannya, sebagian besar penulis Indonesia harus bekerja sampingan: menjadi pengajar, editor, penjual daring, bahkan barista, demi menopang kebutuhan hidup. Sementara royalti mereka? Jika dihitung-hitung, kadang hanya cukup membeli satu buku mereka sendiri. Itu pun harus menunggu promo tanggal cantik.

Kutukan Menjadi Penulis di Indonesia

Kesejahteraan penulis menjadi begitu memprihatinkan. Ini bukan semata karena mereka tidak berbakat atau malas menulis. Tidak sama sekali. Banyak dari mereka menulis dengan dedikasi yang mungkin pembacanya sendiri tak sanggup menirunya. Namun, di pasar yang minat bacanya seperti sinyal Wi-Fi di toilet umum—kadang ada, seringnya hilang—menjadi penulis memang profesi yang menantang. Di negeri ini, konten gosip selebritas 15 detik bisa ditonton jutaan kali dalam semalam, sedangkan esai bermutu 10 halaman hanya dibaca puluhan orang. Itu pun setengahnya karena tugas kuliah.

Minat baca yang rendah sudah lama menjadi masalah klasik di Indonesia. Data literasi kita sering dibandingkan dengan negara-negara maju hingga rasanya kita ingin protes, “Ya jangan dibandingkan dong!” Tapi mau dibandingkan dengan siapa lagi? Dengan negara berkembang pun kita masih tertinggal. Bahkan, survei menunjukkan bahwa minat membaca orang Indonesia per hari hanya beberapa menit. Itu pun sering kali bukan membaca buku, melainkan membaca komentar para pengguna internet yang isinya kadang lebih gelap daripada buku filsafat mana pun.

Otak Merosot

Rendahnya minat membaca inilah yang pelan-pelan menyeret kita pada isu berikutnya: kemampuan kognitif yang ikut merosot. Ada penelitian global yang menunjukkan bahwa IQ rata-rata manusia di berbagai negara menurun, dan Indonesia tampaknya ikut-ikutan tren ini. Jika dulu kita bangga IQ manusia jauh di atas gorila, kini jaraknya entah tinggal berapa digit. Bukan berarti kita harus cemas disusul gorila dalam lomba matematika, tetapi kalau begini terus, jangan-jangan nanti kita kalah dalam lomba menyusun balok warna.

Ketika minat baca rendah, kemampuan berpikir kritis otomatis melemah. Otak itu ibarat otot: jika tidak pernah dilatih, ia akan kendor. Pada zaman ini, informasi bertebaran di mana-mana, tetapi kemampuan memverifikasi informasi justru makin langka.

Kita membaca cepat, percaya cepat, marah cepat, dan menyebarkan cepat. Kita tidak membaca berita; kita membaca komentar tentang berita, lalu merasa paling tahu. Kita bukan kekurangan sumber pengetahuan, tetapi kurang komitmen untuk mengunyah pengetahuan itu sampai matang. Akibatnya? Ya itu tadi: IQ kita menyusut seperti baju favorit yang dicuci dengan air panas.

Jika pola ini terus berlanjut, bagaimana nasib ekosistem literasi di Indonesia? Buku makin mahal, penulis makin terpinggirkan, minat baca makin rendah. Ini lingkaran setan yang makin hari makin kencang. Tidak heran jika banyak toko buku tutup atau penerbit mengecilkan jumlah cetakan. Jika terus begini, suatu hari mungkin kita lebih mudah menemukan kafe bertema “ruang baca estetik” daripada toko buku sungguhan. Ironisnya, pengunjung kafe itu pun mungkin hanya meminjam buku sebagai properti foto, lalu meletakkannya kembali tanpa membuka halaman pertama.

Tidak Semua Suram

Namun, tentu saja tidak semuanya suram. Ada anak-anak muda yang membangun komunitas baca, membuka klub diskusi, membuat perpustakaan mini, dan menghidupkan ruang literasi gratis. Ada guru yang dengan gigih mengajak siswanya membaca meski hanya sepuluh menit per hari. Ada penulis yang tetap menulis meski royaltinya serasa uang receh. Ada penerbit idealis yang bertahan meski keuntungan tidak seberapa. Artinya, selalu ada harapan, meskipun kecil—tetap lebih besar daripada peluang kita disalip gorila dalam tes IQ.

Pada akhirnya, literasi adalah pondasi bangsa. Tidak hanya budaya membaca, tetapi budaya berpikir. Kemampuan berpikir tidak datang dari menggulir TikTok tiga jam sehari. Ia muncul dari kebiasaan mengolah informasi, mempertanyakan gagasan, dan membaca dunia—baik melalui buku, diskusi, maupun refleksi.

Jika kita ingin harga buku turun, penulis sejahtera, dan minat baca meningkat, semuanya membutuhkan upaya kolektif. Pemerintah perlu hadir dengan kebijakan yang berpihak pada literasi, penerbit harus kreatif beradaptasi, dan masyarakat harus menata ulang prioritas. Masa iya paket data tidak pernah absen, tetapi membeli satu buku terasa berat?

Jika tidak berubah, jangan salahkan siapa-siapa kalau suatu hari IQ kita benar-benar berada pada angka yang membuat kita merenung sambil berkata, “Untung gorila tidak bisa membaca berita ini.”

Sebelum itu terjadi, mari mulai dari langkah kecil. Buka buku. Baca halaman pertama. Lanjutkan ke halaman kedua. Pelan-pelan saja. Literasi bukan soal kecepatan, tetapi soal kebiasaan. Siapa tahu, dari satu buku itu kita bukan hanya menyelamatkan otak sendiri, tetapi juga masa depan bangsa yang sedang rawan turun kelas—baik secara harfiah maupun intelektual.[]

Tags: bukuesaiharga bukuliterasinasib penulis
ShareTweetSendShare
Previous Post

Menjajaki Pameran Seni Islam di Seoul

Muhammad Zahrudin Afnan

Muhammad Zahrudin Afnan

Mahasiswa Magister Pendidikan Biologi di Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Saat ini ia juga mengabdi sebagai laboran di SMA Nation Star Academy Surabaya. Hingga kini, ia telah menerbitkan lebih dari 20 artikel ilmiah di berbagai jurnal, memiliki 10 Hak Kekayaan Intelektual (HKI), serta 4 buku ber-ISBN. Di luar aktivitas akademik, Afnan juga senang menulis cerpen dan esai opini di berbagai tema yang dekat dengan dunia pendidikan, sosial, dan budaya.

Artikel Terkait

Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
Esai

Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar

21 October 2025

Penulis: Jean-Luc Raharimanana Penerjemah: Ari Bagus Panuntun   2002. Buku-buku dibakar di depan rumah ayahku. Adalah militer. Adalah milisi. Mereka...

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
Esai

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 August 2025

Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk...

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 July 2025

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

9 August 2021
Pergi

Pergi

25 March 2021
Gambar Artikel Bulan yang Lahir dari Penderitaan

Bulan yang Lahir dari Penderitaan

30 December 2020
Gambar Artikel Cerpen Kematian Seorang Penemu

Kematian Seorang Penemu

16 January 2021
Gambar Artikel Sedayu Dalam Kurun Waktu

Sedayu dalam Kurun Waktu

12 November 2020
Homo Digitalis dan Kebutuhan Kita pada Filsafat

Homo Digitalis dan Kebutuhan Kita pada Filsafat

17 January 2022
Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual

8 May 2023
Penulis Muda yang Pernah Putus Asa

Penulis Muda yang Pernah Putus Asa

6 April 2022
Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

3 January 2022
Gambar Artikel Pahlawan Bukan Hanya Tentang Sejarah, tapi Juga Pemuda

Pahlawan Bukan Hanya tentang Sejarah, Tapi Juga Pemuda

23 November 2020
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Harga Buku, Nasib Penulis, dan IQ Kita yang Menghkhawatirkan
  • Menjajaki Pameran Seni Islam di Seoul
  • Perempuan yang Menghapus Namanya
  • Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina
  • Antony Loewenstein: “Mendekati Israel adalah Kesalahan yang Memalukan bagi Indonesia”
  • Gelembung-Gelembung
  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja

Kategori

  • Event (14)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (12)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (67)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (54)
  • Metafor (218)
    • Cerpen (56)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (50)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (14)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kontributor
  • Hubungi Kami

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.