• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Minggu, 17 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Ceriwis

Konsep Tuhan di Benak Saya Sendiri

M. Rizki Yusrial by M. Rizki Yusrial
5 Mei 2021
in Ceriwis
0
Konsep Tuhan di Benak Saya Sendiri

Sumber gambar: https://www.inprnt.com/gallery/nicebleed/my-little-flower/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Sama seperti Tretan Muslim dan Coki Pardede yang menjadi musuh masyarakat dan ormas, Agama juga menjadi musuh besar dari seorang filsuf Karl Marx karena dianggap berdampak negatif bagi perkembangan manusia. Meski Marx tidak secara gamblang menolak Tuhan, namun, banyak sekali referensi yang mengatakan bahwa Marx sering kali menolak konsep ketuhanan yang ditawarkan oleh agama.

Marx tidak pernah menyarankan sebuah strategi yang komprehensif untuk menghancurkan agama dengan kekerasan, tapi doktrin tentang konsep beragamanya, tentu bisa membuat ketar-ketir kaum agamawan yang khawatir kepercayaannya akan goyah. Sebab, cara yang lebih halus biasanya berdampak lebih signifikan. Seandainya orang-orang sepakat dengan pendapat Marx tentang agama adalah candu, maka agama secara perlahan akan ditingalkan oleh pengikutnya.

Namun, menurut saya semenolak-menolaknya kita dengan Tuhan atau konsep ketuhanan dari agama, kita tetap butuh berlindung kepada sesuatu yang lebih besar. Besar yang dimaksudkan di sini bukanlah ukuran. Tetapi sesuatu yang dianggap bisa memberikan semacam naungan. Entah itu Agama, Negara, Ideologi, Sains dan lain sebagainya.

Kenapa Sains termasuk? Karena di zaman saintifik ini saya melihat bahwa sesuatu lebih make sense jika dapat dijelaskan secara ilmiah. Penjelasan yang cenderung bisa dimengerti oleh berbagai kalangan itu, biasanya dapat membantu memberikan perlindungan–dan melipur penasaran.

Contohnya adalah kedatangan virus korona ini. Memang tak sedikit manusia yang masih berharap bantuan Tuhan untuk menyelesaikannya. Dengan cara memanjatkan doa-doa, entah saat ibadah maupun lewat status sosial media. Namun, sesuatu yang lebih pasti untuk menghentikan virus ini adalah ilmu sains, bisa dengan cara memakai masker, jaga jarak, cuci tangan, vaksin dan lain sebagainya.

Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah: kenapa manusia membutuhkan sesuatu yang lebih besar, lebih agung, dan lebih adikuasa? Sebab menurut saya, individu manusia merupakan sebuah struktur biologis yang lemah, sehingga membutuhkan suatu tambatan atau naungan agar tetap bisa survive dalam menjalani hidup. Nah, saya mendefinisikan hal ini sebagai Tuhan. Tuhan bukanlah semata-mata sesuatu yang disembah. Jika anda meminta perlindungan kepada negara, ya negara adalah Tuhan anda. Jika meminta perlindungan kepada sains, hal yang sama juga berlaku demikian.

Berarti kita sudah menduakan Tuhan, dong? Bahkan mentigakan? Saya tidak mengatakan bahwa negara adalah Tuhan yang anda sembah, atau Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Bukan begitu logikanya. Saya hanya mendefinisikan bahwa sesuatu yang bisa memberikan kita naungan sebagai tempat berlindung adalah Tuhan.

Dia yang menciptakan dunia ini tetaplah menjadi pencipta dunia meski ada seribu Tuhan di dunia yang dia ciptakan. Apakah definisi Tuhan itu mentok disematkan untuk yang menciptakan dunia saja? bagi saya itu tindakan yang mempersempit definisi. Berangkat dari definisi itulah yang membuat kita sulit untuk membuktikan keberadaannya.

Kesulitan ini tentu menjadi target empuk Karl Marx beserta para pembunuh Tuhan yang lain dalam melakukan serangan. Maka timbul pula argumen-argumen teologis dan filosofis dalam menjawab serangan itu. Seperti yang dikemukakan di dalam buku Menalar Tuhan karyanya Franz Magnis Suseno, bahwa membuktikan keberadaan Tuhan secara teologis bisa melalui wahyu. Wahyu merupakan sumber kebenaran dari agama yang bersangkutan.

Hanya saja, jawaban secara teologis ini hanya diperuntukan bagi mereka yang memang sudah menerima keberadaan Tuhan, karena tidak mungkin jawaban ini diajukan untuk mereka yang mempertanyaan keberadaan-Nya. Keberadaan-Nya aja gak dipercaya apalagi kalam-Nya. Jadi, singkatnya jawaban ini hanya menguatkan alasan kenapa kita percaya Tuhan, bukan membuktikan keberadaan Tuhan.

Selain itu, dalam buku yang sama ada jawaban secara filosofis, yang mana dalam menjawab pertanyaan tentang Tuhan tadi haruslah menggunakan nalar. Cara menjawab lewar jalur ini adalah melihat relevansi antara kitab suci dengan kejadian nyata. Contoh konkritnya adalah di kitab suci menceritakan tentang penciptaan alam semesta. Nah, ternyata alam semesta ini bisa dijelaskan secara ilmiah.

Penjelasan ilmiah ini kan hadirnya belakangan, sedangkan kitab suci ada jauh lebih dulu. Hal ini menandakan kitab suci sudah tau lebih dulu. Yang mana hal tersebut sulit sekali untuk lakukan oleh kapasitas manusia. Maka atas contoh ini keberadaan Tuhan sudah bisa dipertanggungjawabkan.

Tetapi, penjelasan filosofis ini juga masih mempunyai celah untuk diserang. Dalam salah satu diskusi rutin Lingkar Studi Teologi dan Filsafat (LSTF) At-Tahafut teman saya yang bernama Rizkita menyampaikan argumen:

“Seandainya memandang sains harus sesuai dengan wahyu Tuhan, sama artinya ketika kita menemukan sebuah kata-kata yang tidak begitu yakin, lalu kita cek menggunakan kamus. Kata-kata harurslah sesuai kamus, tidak mungkin menyalahkan kamus. Jika sekali pandang, hal ini memang terlihat praktis. Namun, menghilangkan peluang orang yang mempercayai agama bisa menerima sains. Karena kita menjadikan agama sebagai kamus. Artinya, tidak ada rasionalisasi Tuhan di sini.”

Saya mengafirmasi argumen ini. Jika logikanya demikian, maka hal itu merupakan sesuatu yang terbalik. Seharusnya orang-orang beragama  memandang wahyu harus sesuai dengan sains agar Tuhan terlihat lebih rasional. Selain, itu argumen tentang merasionalkan Tuhan ini hanya terlihat sebatas meyakinkan diri bahwa Tuhan itu ada. Bukan membuktikan bahwa Tuhan itu ada atau tidak.

Maka dari itu saya memberikan definisi lain tentang Tuhan sebagaimana yang saya jabarkan di atas agar keberadaan Tuhan lebih mudah untuk dibuktikan. Pusing? Tentu saja pebahasan tentang Tuhan ini merupakan sesuatu yang kompleks. Yang memang harus menyiapkan pikiran tajam untuk menganalisisnya. Jika anda tidak mau berfikir banyak, ya sudah, nikmati saja konsep Tuhan yang sudah tertanam di kepala anda saat ini. Tabik.[]

Tags: ceriwiscoronaesaifilsafatKonsep Tuhan di Benak Saya Sendirisains
ShareTweetSendShare
Previous Post

Berada di Kota Antah-Berantah

Next Post

Dimulai dari Ibu

M. Rizki Yusrial

M. Rizki Yusrial

Seorang mahasiswa filsafat asal Jambi yang ingin dibilang pintar lewat tulisan. Sebab selama sekolah hanya mendapat ranking 24. Ig: @mrizkiyusrial

Artikel Terkait

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?
Ceriwis

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

22 Maret 2023

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Ia tidak berdasarkan riset akademis yang harus dipertanggungjawabkan. Ini mungkin, lebih tepatnya, sejenis refleksi kultural...

Seni Memahami (Diri)
Ceriwis

Seni Memahami (Diri)

11 April 2022

Saat pertama kali saya mendengar kata "hermeneutika", saya tertarik untuk tahu artinya. Namun, saya tidak sampai mencari makna. Saya mendengar...

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0
Ceriwis

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

13 Januari 2022

Selama ini, apabila seseorang―bisa juga beberapa orang―membicarakan genduren, pasti nggak akan jauh-jauh dari kata bid’ah. Entah bagaimana ceritanya, topik genduren...

Balapan yang Dibudayakan
Ceriwis

Balapan yang Dibudayakan

20 Oktober 2021

Ini adalah kisah yang saya alami beberapa bulan lalu, saat dunia perkampusan membawa saya pada akhir semester tujuh. Sudah mendekati...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Wisata di Tarempa : Perjalanan Menuju Tarempa, Kepulauan Anambas

Perjalanan Menuju Tarempa, Kepulauan Anambas

30 April 2021
M. Kasim: Pembuka Jalan Cerpen Indonesia

M. Kasim: Pembuka Jalan Cerpen Indonesia

25 Februari 2021
Jika Pulang Selalu Tentang Pergi

Jika Pulang Selalu Tentang Pergi

22 Juni 2021
Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan

Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan

29 Juli 2025
Gambar Artikel Ternak Ilmu(wan)

Ternak Ilmu(wan)

1 Desember 2020
Gambar Artikel Gerakan Mosi TIdak Percaya: Sumpah dan Nasionalisme (Tertinggi) Pemuda

Gerakan #MosiTidakPercaya : Sumpah dan Nasionalisme (Tertinggi) Pemuda

5 November 2020
Gambar Artikel Puisi Tentang Kopi - Setabah Kopi

Setabah Kopi

24 Desember 2020
Seorang Lelaki dan Sungai

Seorang Lelaki dan Sungai

3 Januari 2022
Gambar Artikel Sali dan Suli.

Sali dan Suli

6 November 2020
Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

17 Maret 2024
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.