Socrates (470 – 399 SM), filsuf Yunani, pernah mengutarakan quotes yang lumayan nyentrik, Ponk: “Dengan segala cara, menikahlah. Jika mendapatkan istri yang baik, kau akan bahagia. Jika mendapatkan istri yang buruk, kau akan menjadi filsuf!”
Begitulah, dan faktanya Socrates adalah filsuf, Ponk. Itu berarti, secara tidak langsung aslinya dia itu curhat. Bahwa ia mendapatkan istri yang buruk. Heuheu. Curhatnya tidak kentara memang. Serasa halus dan tertutupi, namun tidak bisa ia menutup-nutupi maksud tersiratnya dari seorang Madno—spesies unik yang sudah kebal dikecewakan.
Aku sudah mencium gelagat itu sejak dari pertama menemukan ungkapan tersebut. Sama halnya saat kudengus desiran hati dari ungkapan dosen yang berkata, “Saya izin besok tidak bisa masuk ya, karena ikut konferensi internasional di Washington. Di sana tamu-tamunya, wuh, hebat-hebat lho. Ada Martin van Bruinessen, Greg Barton, Stephane Lacroix, dan lainnya.” Batinku: padahal langsung saja bapak bilang, “saya orang hebat karena diundang ke sana juga”. Gitu aja kok Freeport. Eh.
***
Memang unik perkataan Socrates itu, Ponk. Meski tidak pernah meninggalkan satu karya pun, filsuf yang mati karena eksekusi dengan cara mereguk racun cemara ini banyak dicatatkan oleh para muridnya, salah satunya Plato. Darinyalah kita bisa tau pikiran Socrates—meskipun dalam buku Plato sendiri banyak bagian yang sudah berbaur dan tidak jelas lagi yang mana suara dan narasi gurunya dan mana yang suaranya sendiri.
Namun setidaknya kita berterima kasih kepada mereka, terutama ungkapan unik di awal tadi. Dan setelah kuselidiki sekilas, Ponk, ternyata dugaanku yang pada mulanya seperti tidak berdasar, namun fakta yang kutemukan ternyata benar adanya. Bahwa istri Socrates yang bernama Xanthippe adalah memang sosok yang judes, pemarah dan bawel.
Konon, niat awal Socrates, yang pada masa itu sudah tua, untuk menikahi gadis muda yang selisih usianya cukup jauh adalah ingin mendidiknya agar kepribadiannya berubah menjadi lebih tertata, disiplin, santun dan perangai baik lainnya. Walhasil, Socrates gagal, kewalahan. Sampai ada anekdot bahwa ia menikahi seorang ‘nenek sihir’ muda. Maka, sekarang silakan kau coba cari gadis bandel dan muda, lantas nikahilah olehmu dengan niatan yang mirip dengan niat Socrates. Percobaan saja, Ponk. Akan bagaimana nanti hasilnya. Dengan perhitungan yang paling pahit: kau akan jadi filsuf. Heuheu.
Persoalan relationship antarlawan-jenis, apalagi sampai ke jenjang pernikahan, memang tidak segampang memegang rambut, Ponk. Jangankan kepribadian orang lain, wong kepribadian kita sendiri saja sangat sulit untuk kita kendalikan.
Meski begitu, sebagai seorang jomblo aku akan berlagak sok-sokan memberi nasehat kepada mereka yang berpasangan. Tidak usah salah paham. Bahwa hak untuk menasehati tidak harus dari mereka yang berpengalaman, Ponk. Seperti orang-orang dan pemuka agama yang menasehati agar tidak mengonsumsi narkoba dan supaya tidak korupsi. Toh, mereka sendiri tidak pernah mengonsumsi narkoba dan tidak juga korupsi. Jika urusan menasehati saja kita harus nunggu yang pengalaman, bisa-bisa bumi gonjang-ganjing dan langit kelap-kelap.
Atas dasar itu, maka jangan sewot jika aku sebagai seorang jomblo menasehati mereka yang sudah berpasangan. Hanya sedikit saja dan ini terkait urusan psikologi. Bahwa “secantik dan secerdas apapun seorang perempuan, jika tak pandai membanggakan lelakinya, jangan harap kelak suamimu tidak bosan denganmu. Juga setampan dan sekaya apapun seorang lelaki, jika ia tidak pandai memberi perhatian dan pujian ke pasangannya, maka jangan mimpi istrimu tetap betah bersamamu.”
Bila ada fenomena keduanya sama-sama tidak bisa melakukan itu, namun hubungan mereka masih langgeng: itu hanya bukti bahwa keduanya berpegang pada komitmen dirinya sendiri. Bukan pada pasangannya. Apalagi pada rasa cinta. Masing-masing mereka hanya sedang menahan diri.
Maka awas jadi bom waktu. Waspadalah. Waspadalah.[]