Internet sudah menjadi jejaring komunikasi dan sumber informasi nomor satu saat ini. Beragam info bisa dengan mudah dishare dan diunduh di internet, termasuk data dan pengetahuan agama. Berbagai macam corak dakwah mulai bermunculan dan menjamur melalui Youtube, Facebook, Instagram, Twitter, dan Blog. Konten seperti video kajian dan quote bernafaskan Islami mulai semakin merebak dan dikenalkan oleh ustad-ustad virtual yang bermunculan dan kini disebut sebagai “Ulama’ Virtual”.
Kajian-kajian keagamaan yang dilakukan oleh para ulama’ virtual ini memiliki dua sisi, yakni perasaan nyaman ketika tanya-jawab dan kemudahan mengakses. Pada konteks teknologi, algoritma media sosial mampu merekomendasikan ceramah (yang kita sukai) berikutnya. Bahkan menawarkan ustad lain yang se-tema dengan langgam konten yang kita minati. Dari sini, kita melihat bahwa kebutuhan masyarakat akan ilmu agama semakin meningkat.
Mengacu pada ihwal itu, otomatis kebutuhan untuk menelusuri akar pengetahuan–yang didapatkan melalui platform aplikasi–saat ini amat sangat dibutuhkan. Kalau dalam tradisi pesantren, ada yang lazim dikenal dengan “sanad keilmuan” antara guru-murid. Di sinilah salah satu duduk permasalahan di mana kajian-kajian yang terhidang di platform online umumnya hanya merupakan potongan ceramah yang tidak utuh. Lantas, bagaimanakah keabsahan sanad keilmuan yang didapatkan dari platform online tersebut?
Selain itu, ilmu agama Islam yang dipetik hanya sepotong-sepotong rasanya agak sembrono jika di kemudian hari seseorang menyampaikannya kembali atau mengajarkan kepada anak-anak mereka. Kemudian, muncullah peristiwa cyber-religion (beragama melalui media siber). Suatu fenomena di mana banyak sekali pengikut agama yang mempelajari agamanya melalui media siber. Tidak secara langsung talaqqi (interaksi tatap muka secara langsung dengan guru) guna menapaki spiritualitas yang bersifat digital.
Idealnya, belajar agama setidaknya memiliki pemandu atau kiai yang mengarahkan untuk belajar dari nol, mulai dari Diniyyah sampai Kulliyat. Sehingga, dalam aplikasinya nanti setiap individu dapat menyampaikan keilmuan secara moderat, bijaksana (bil-hikmah) serta bernafas rahmatan lil alamin.
***
Fenomena cyber-religion ini memiliki beberapa sisi yang masih perlu dikaji ulang oleh para ulama’. Kasus yang terjadi, misalnya, pemotongan fatwa ulama’ yang kemudian viral di sosial media. Hal ini begitu mudah dikonsumsi oleh masyarakat yang haus ilmu agama. Akhirnya, tanggapan yang ‘biasa saja’ boleh jadi dianggap menghina. Atau yang paling parah: ‘potongan fatwa’ dijadikan pijakan untuk mengadu domba kiai tertentu dengan tokoh lain. Maka, amat sangat diperlukan pendidikan seperti jurnalistik; terutama sistem verifikasi berita, agar masyarakat memiliki perangkat berpikir yang kuat, bukan begitu saja menelan informasi (keagamaan) mentah-mentah.
Sampai saat ini, perpecahan masih belum surut, ditambah dengan perangkat media yang membanjiri tanpa pandang bulu. Perbedaan agama yang diminoritaskan, suku, etnis dan ras selalu saja dengan mudahnya disulut dengan api bernama internet. Imbasnya, intoleransi beragama, rasialisme, sentimen kesukuan dan etnik sedemikian mudah terpantik api, apalagi ditunjang perangkat digital.
Kemudahan menyebarkan hoax, fake news dan propaganda hitam begitu cepat, sampai-sampai masyarakat yang tidak mengerti ikut berorasi dan meneruskan pesan-pesan intoleransi. Hasilnya, oknum-oknum intoleransi ini mengancam ideologi Pancasila yang telah bertahun-tahun dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, penting bagi generasi milenial untuk belajar bertindak toleran, baik melalui hubungan sosial secara tatap muka maupun secara virtual. Sekali lagi, cyber-religion dan intoleransi-digital perlu diperjelas fakta dan solusinya supaya dalam belajar agama secara virtual didapatkan sanad guru yang jelas. Ini dimaksudkan agar jangan sampai terjerembab ke arah intoleransi dan radikalisme.
Penting juga menumbuhkan kesadaran masyarakat negeri ini, bahwa kita terlahir dalam keragaman yang indah apabila saling mencintai, menyayangi dan menghormati sesama. Pada gilirannya nanti, segala krisis intoleransi dan radikalisme digital dapat dibendung dengan belajar agama dari sumber yang jelas asal-usulnya. Runtut dan terang literatur dan corak pengajarannya.
Maka, webinar ini merupakan langkah awal untuk memulai mengisi ceruk kehausan masyarakat akan wacana keagamaan. Juga nilai-nilai toleransi yang sekaligus berfungsi sebagai edukasi-digital bagi masyarakat supaya mampu membedakan informasi asli dan hoax. Mampu menolak konten propaganda, dan tentu saja sebagai trendsetter peace building di Indonesia.
Cyber–religion webinar dengan tema “Menemukan Sanad Belajar Agama di Jagat Maya” merupakan webinar yang diusung oleh Digital Humanities Center of Indonesia (DHCI) guna membendung dan menjawab berbagai tantangan bagaimana “belajar agama” di jagat maya.
Webinar ini dilaksanakan pada hari Senin, 1 Maret 2021 dengan menghadirkan berbagai tokoh penting yaitu Dr.H. Mukhsin Jamil, M.Ag yang merupakan wakil rektor 1 UIN Walisongo Semarang. Ia akan memberi pemaparan berkaitan dengan sanad belajar agama di dunia maya dan bagaimana fenomena cyber–religion ini seharusnya dibendung.
Kemudian, pemateri kedua yaitu H. Muhammad Hanif, M.Hum yang merupakan ketua GP Ansor Kab. Semarang sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro. Ia akan menjelaskan bagaimana seharusnya kita bersikap dan bertoleransi melalui media daring saat ini.
Selain kedua pemateri tersebut, webinar ini juga diisi oleh guest star 1, Rikza Aufarul Umam, Lc. yang merupakan ketua PCINU Mesir dan akan memberikan gambaran bagaimana toleransi yang seharusnya dijunjung oleh generasi muda.
Kemudian, guest star 2 yaitu Candra Dvi Jayanti, S.Pd seorang aktivis di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan akan berbicara mengenai bagaimana keadaan toleransi beragama dari generasi muda pada saat ini. Dipandu oleh saudari Nurul Uzdhma Tastia, S.Ag., webinar dari DHCI (Digital Humanities Center of Indonesia) ini diharapkan mampu untuk menjadi langkah awal dan usaha preventif dalam menyibak fenomena cyberreligion dan intoleransi beragama saat ini.
Dalam konteks pendidikan, acara ini juga semoga dapat membentuk karakter generasi muda yang lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan dunia digital. Kami tunggu kehadiran anda.[]
Link Pendaftaran :
*Ditulis oleh panitia acara dari DHCI.