Berasa jadi pertapa kata karena menghilang beberapa bulan lamanya. Sampai lupa judul terakhir yang saya tulis di sini apa. Tapi, ya sudahlah, ya. Tidak ada salahnya menyepikan diri, apalagi di tengah pandemi yang kian lama bikin demotivasi.
Semoga hidupmu tetap produktif, meski Covid makin tak kondusif, Kawan.
***
Anyway, jika dulu saya pernah menulis perjumpaan saya dengan innerchild saya di Menemui Aku yang Aku. Kini saya ingin berbagi cerita perjumpaan saya dengan emosi saya. Kenapa emosi dengan diri seolah terpisah? Ya, saya tidak mau sok pintar menjawab. Selami saja diri Anda, dan Anda akan menjumpai jawabannya.
Tidak lama dari perjumpaan saya dengan sosok kecil dalam diri saya, saya diberikan kesempatan untuk mengenali atau menemui bentuk emosi yang ada dalam diri saya.
Saya tidak yakin dengan arti kata keluarga broken home. Yang saya tahu, keluarga broken home adalah keluarga yang orang tuanya berpisah. Tapi, jika broken home juga berarti keluarga yang utuh namun tidak begitu harmonis, maka saya adalah salah satu anak yang lahir dari keluarga broken home itu.
Bukan berarti saya bermaksud menjelekkan keluarga saya. Saya sudah katakan dalam tulisan saya yang berjudul Problematika I’m Okay, bahwa yang hidup dalam keluarga broken home, tidak menjadikannya lebih rendah dari mereka yang hidup dan punya keluarga yang utuh serta harmonis.
Justru di balik semua yang terjadi, saya bersyukur Tuhan menghadiahkan saya untuk tinggal di tengah keluarga yang belum sempurna ini. Andai saja saya tidak dilahirkan di tengah-tengah mereka, mungkin saya tidak banyak belajar untuk menyelami diri. Bahkan saya tidak akan dewasa secepat ini.
Semua yang terjadi pasti memiliki arti. Tinggal apakah kita mau memaknai dan belajar darinya, atau justru meratapinya dan menyia-nyiakan hidup begitu saja.
Saat kecil sering kali kita tidak sadar bahwa apa yang kita lihat akan kembali teringat suatu hari nanti. Itulah kenapa ingatan masa kecil cukup berperan penting mempengaruhi hidup kita di usia yang kian bertambah setiap tahunnya. Luka kecil yang dulu tak saya anggap itu adalah luka, kini setelah dewasa mulai terbuka dan mulai perih rasanya. Menggerogoti tubuh dan mulai menyentuh hati. Mematikan rasanya hingga mulai terbiasa dengan segalanya.
Saya tulis ini bukan hanya sebagai self healing therapy. Saya tulis ini karena saya pikir masih banyak orang yang ingin berkeluarga, tapi tak tahu apa itu keluarga. Rumah yang hanya dibangun dengan bata, semen, dan atap, tapi tak ada cinta di dalamnya. Rumah yang tak lagi menjadi tempat pulang hingga harus mencari kenyamanan di luar. Sehingga yang di dalam hanya saling menyakiti saja. Tidak semudah itu membangun rumah. Butuh cinta, sayang, penerimaan, bukan hanya uang dan asal yang penting bersama.
***
Emosi sejak kecil yang terpendam, suatu hari akan meluap juga. Ada yang meluap langsung begitu saja, ada yang hanya bisa meluap dalam dirinya. Dan itulah saya. Hingga akhirnya saya mampu bertemu dengan dia, emosi saya.
Sedari dini kita hanya diajari untuk mencari pelarian dari setiap bentuk emosi yang kita rasakan. Kita tidak diajari untuk menyadarinya dan menerimanya. Ketika menangis, kita akan dibelikan mainan, diajak jalan-jalan, atau makan sesuatu yang kita inginkan. Sehingga ketika dewasa kita terbiasa untuk lari dari perasaan sedih dengan mendengarkan lagu atau jalan-jalan sendiri. Alih-alih menerimanya, kita justru menolaknya.
Ketika saya berhasil memisahkan diri, emosi, dan pikiran, saya sadar bahwa segala bentuk emosi tidak untuk dituruti atau dilawan. Cukup diterima saja.
“Kamu sedih, ya? Ya udah nangis aja sampai lega. Entar kalau udah selesai, kita senang-senang lagi bareng-bareng.”
“Kamu marah, ya? Ya udah marah-marah aja sepuasnya, tapi aku nggak mau nurutin ya.”
Itulah beberapa percakapan saya dengan emosi saya ketika dia mulai muncul dan mulai berusaha mengendalikan saya. Ketika rasa marah itu datang, saya bisa melihat dia yang begitu meluap-luap di depan orang yang menyakiti saya. Tapi secara fisik saya hanya diam, tersenyum, dan membiarkan dia marah sepuasnya.
Saat itu saya baru menyadari bahwa saya punya kendali besar atas diri saya. Yang keluar dari diri saya adalah keputusan saya. Saya bisa saja marah saat itu, sesuai dengan keinginan emosi diri saya. Namun, saya memilih untuk memisahkan diri dengan emosi saya. Sehingga saya tetap merasa lega meski terlihat tidak melakukan apa-apa. Dan tentu saja, saya tidak perlu menyesali suatu hal yang sering kali disesali oleh kebanyakan orang yang sedang marah.
Orang sering bilang jangan mengatakan atau membuat keputusan apapun saat sedang marah, bukan?
Bukan hanya emosi marah, ya. Segala bentuk emosi sepertinya akan membawa kita pada alam bawah sadar. Sehingga sebelum kita dibawa ke alam bawah sadar itu, cepat-cepatlah menyadari dan mengendalikannya. Mengendalikan bukan berarti menolak atau melawan. Tetapi menyadarinya sehingga dia tidak bisa mengendalikan kita sepenuhnya.
Mau dikira saya berhalusinasi, delusi, atau apapun itu, saya tidak peduli. Saya hanya ingin berbagi. Urusan mau percaya atau tidak, itu urusan Anda sendiri.
Bukan berarti dengan saya menuliskan semua ini, saya sudah bisa mengontrol emosi saya dengan baik. Saya masih sering kali kecolongan. Saya juga masih terus belajar, kok.
Ketika kita berhasil menyelesaikan satu masalah, maka kita akan dihadapkan pada masalah baru. Dan tentu saja, level masalahnya akan naik. Ya, ibaratnya kayak kita naik kelas. Sehingga mempelajari diri sendiri itu takkan ada habisnya. Yang jadi solusi saat ini, bisa jadi tidak menyelesaikan apa-apa esok hari.