Kehadiran Facebook bagi dunia literasi bagaikan gayung bersambut. Dunia baca-tulis berkembang pesat karena Facebook. Facebook menjadi media sosial yang sanggup menjadi ajang dan wahana untuk menulis apa pun.
Karya sastra puisi kini tak lagi menjadi barang luks dan benda sangar. Siapa pun yang mampu memberdayakan kata-kata, kemudian mengeksplorasinya dengan memperhatikan kaidah indah dan berguna (dulce et utile), dapat menulis puisi. Facebook benar-benar ramah puisi.
Puisi terang dan puisi gelap hadir di Facebook. Puisi serius dan puisi mbeling tampil di Facebook. Puisi lirik dan puisi kontekstual muncul di Facebook. Puisi religius dan puisi kritik sosial ada Facebook.
Booming puisi di Facebook melahirkan banyak penyair Facebook. Kehadirannya sangat menggembirakan. Apalagi eksistensi mereka ditandai dengan terbitnya buku-buku kumpulan puisi. Meski diterbitkan secara indie sakalipun. Dengan demikian, khasanah puisi di negeri ini kian meriah.
Tanpa SK
Kehadiran para penyair Facebook tidak mulus ternyata. Banyak pihak cemburu. Mereka marah. Mereka kecewa. Mereka merasa dilangkahi. Mereka merasa terlampaui. Mereka rupanya terjangkiti semacam penyakit hati, iri dan dengki.
Mereka memiliki anggapan dan alasan sendiri. Merasa telah berlatih menulis puisi bertahun-tahun, tetapi tak juga memperoleh predikat penyair. Mereka mengejar gelar penyair rupanya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2007: 1114), lema “penyair” bermakna 1 pengarang syair; pengarang sajak; 2 pujangga. Betapa sangat sederhana maknanya. Akan tetapi, dunia penyair bisa berubah menjadi “dunia gila” atau “dunia lunatik” karena kecemburuan gelar.
Saya pikir kawan-kawan yang rajin menulis puisi di Facebook tak berharap — seperti halnya saya — memperoleh gelar penyair. Lagi pula, siapa atau lembaga apa yang memiliki kewenangan memberikan gelar penyair dan memberikan surat keputusan (SK) penyair? Jadi layaknya penyair tanpa SK.
Kami, sesama pengarang atau penulis puisi di Facebook, tentu saja layak menyebut sesama pengarang atau penulis puisi di Facebook sebagai penyair Facebook. Tak ada yang melarang. Jika ada komunitas atau masyarakat yang menyebut kami penyair Facebook, itu bukan atas suruhan kami. Itu hak mereka.
Dunia Sepi
Di negeri ini penyair bukanlah profesi yang dapat diandalkan untuk memperoleh penghasilan. Buku-buku kumpulan puisi teronggok lesu di banyak toko buku. Tak laku. Jika Anda semaptkan waktu untuk berkunjung ke sebuah toko buku terkenal di kawasan Matraman di Jakarta Timur, kemudian singgahlan Anda untuk melongok ke bagian buku puisi, Anda akan terkejut. Sebab, bukubuku puisi karya penyair yang sudah punya nama saja tergolek lesu, masih terlihat dalam jumlah yang lebih dari sepuluh jari tangan.
Kemungkinan untuk disinetronkan atau difilmkan pun sangat tipis, kalau tak boleh dikatakan tak ada. Jika ada, itu pun karena daya tarik dan daya pikat kehidupan penyairnya. Misalnya Chairil Anwar, penyair total yang bergelar Binatang Jalang. Berbeda dengan cerpen dan novel yang memiliki kans disinetronkan atau difilmkan.
Dunia puisi adalah dunia sepi. Dunia tanpa keramaian. Penyair adalah manusia gelisah yang selalu kesepian. Tak ada gemuruh tepuk tangan. Tak ada aplaus. Hingga penghargaan dan penghasilan penyair semata sangat memilukan dan menyedihkan.
Mengapa masih ada juga orang yang mau menjadi penyair — ya penyair Facebook itu? Saya kira mereka — termasuk saya — senantiasa ingin menyampaikan “suara hati” demi peningkatan harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan. Tak lebih dari itu.
Dari segi ekonomi, penyair jauh terlampaui oleh komedian. Sebut saja stand up comedy, yang akhir-akhir ini ngetrend di berbagai stasiun televisi swasta, masih menunggu kedatangan para komedian baru. Barangkali kita perlu menjelajah ke wilayah lawak, menjadi komedian layaknya. Penyair yang merangkap komedian. Ini barangkali.
Aneka Hidangan
Mungkin instan. Mungkin sublim. Ada yang bagus. Ada yang jelek. Ada yang serius. Ada yang mbeling. Ada yang gelap. Ada yang terang. Ada yang panjang. Ada yang pendek. Ada yang kontekstual. Ada yang personal. Ada yang liris-imajis. Ada yang nyengir-getir
Itulah aneka hidangan yang disuguhkan penyair Facebook. Puisi atau sajak yang tersaji dan terserak di beranda Facebook, bukan di rubrik atau halaman satra di koran. Kita mudah menemukannya sebagai status yang bermagma meskipun tak sedikit yang meragukannya.
Terkadang kita menemukannya seolah curhat semata. Namun, sejatinya di situ tergelar nyanyian jiwa yang mungkin sedang terjebak stagnasi idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, religi, dan sebagainya.
Waktu dan Ketekunan
“Yang bukan penyair, minggir!” Itulah pernyataan yang pernah disampaikan oleh presiden penyair (tanpa pemilu), Sutardji Calzoum Bachri. Ini untuk menyindir orang-orang yang menulis puisi atau sajak dengan main-main. Atau, mungkin, untuk menyindir mereka yang tak menguasai ilmu puisi atau sajak namun mereka dengan percaya diri menyebut dirinya sebagai penyair.
Akan tetapi, melalui tulisan ini saya mengajak Anda yang bukan penyair Facebook agar mampir ke lapak milik kawan-kawan penyair Facebook. Bacalah puisi atau sajak yang mereka kreasi di status Facebooknya. Puisi atau sajak mereka tampak sebagai produk kesenian yang tak lagi sangar dan asing.
Seperti tertulis di awal tulisan ini, puisi atau sajak mereka memiliki keragaman bentuk, isi, dan penampilan. Kesemuanya diolah hingga menghasilkan produk puisi atau sajak yang terasa masih mentah, setengah matang, atau matang.
Meski demikian, jika mereka berlatih terus-menerus, mereka akan mampu menulis puisi atau sajak yang bagus. Setelah itu, jika kemudian mereka mengirimkannya ke surat kabar, saya yakin bahwa penjaga rubrik puisi akan meluluskannya. Puisi mereka akan terpampang di halaman sastra surat kabar lokal atau nasional. Hanya waktu dan ketekunan yang akan membuktikan.
Bravo penyair Facebook!