• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Selasa, 14 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi Cangkem

Metafora Mutualisme

Serangkum Cangkem Puitis

Tokoh Fiksi by Tokoh Fiksi
8 November 2020
in Cangkem
0
Gambar Artikel Metafora Mutualisme

Sumber Gambar : https://id.pinterest.com/pin/819092250974860603/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Obituari Mutualisme 1

Pernahkah kau cabut sejuntai rambut secara acak di ujung ubunmu? Mengingatkan pada masa yang telah berlalu. Menggiring estafet yang kian berganti, menggilir kasih sepasang hati di tepi penantian hanya untuk bertimbal perhatian. Sampai bersikap naif sebab terlalu takut dianggap kesepian.

Pernah suatu masa engkau kehabisan nomor urut pasien, kau pun sekarat mencari cara supaya laku kembali, hingga tiba saatnya kita dipertemukan lagi berulang kali dalam wujud air dan api, saling bersulut debat yang tak kunjung usai. Yang satu selalu jatuh membumi, satunya lagi selalu berkelana mengudara.

Anehnya bagiku kita tetaplah sama, meski tak ubahnya bersalah-sangka hadirkan kembali masa kelam itu, terus berkutat tak goyah pada sudut kepala masing-masing. Bergelora menggebu-gebu. Mencuat beribu kata dari panjang lidahmu yang siap menerkamku. Menjulur meliak-liuk diiringi riak yang dipaksakan keluar.

Lalu apa salah jika aku mengadumu seperti domba, mengkambing-hitamkan pada Sang Kuasa lewat buah karya yang katamu terkutuk itu? Aku akan terus memburumu bagai kutukan yang berhutang budi padamu, tanpa sadar tak pernah padam engkau beri nafas pada tiap karya yang telah abadi.

 

Obituari Mutualisme 2

 Jangan. Janganlah cepat beranjak pada alunan manja musik pengiring di hari bahagiamu. Duduk terpangku manis di atas singgasana megah bertatap ratus pasang mata yang ikut merayakan. Bersahut menyoraki kemenangan atas terjalinnya ikatan baru dengan sumpah sorai yang sah. Padahal, siapa sangka engkau sudah berulah lagi di esok pagi.

Jangan, Janganlah cepat. Bukan karena aku benci, lantas segera menyuruhmu berpaling dari sudut bola mataku sampai pudar menghilang sekalipun. Bukan karena aku tetap ingin bersimpuh, mengiba belasmu untuk kembali kauberi rasa pada tulus kasihmu. Bukan pula karena hatiku mulai lelah menyanggupi segala derai tusuk yang kian mengarat di setiap harinya.

Mustahil bagiku. Sebab jiwaku seolah terlanjur menyatu, beranak-pinak dengan lebam derita yang berhasil kukais tiap jentik waktuku. Telah mati rasa meski coba kau tikam berjuta kali menembus, menerobos nadi dan tulang ringkih kecilku. Berdentum. Semakin kencang bergema mendobrak masuk gendang telinga.

Aku menikmatinya. Kian hari semakin membuncah, berlipat ganda dalam putaran waktu yang terasa melambat. Harusnya kupanjatkan syukur atas rindu pada lara yang tertumpuk, terlanjur membentuk nanar gunduk yang kian membusuk. Meletus. Darah bercampur nanah. Tepatnya, cuma itu alasan terbaik menyambung hela nafas walau harus menggaruk getir di setiap aliran darahku.

Tenang, yang pernah ada akan tetap aku rawat.

 

Metafora Mutualisme

Tubuhku belum habis digerogoti. Sedangkan dua tubuh lain setelahku telah usai diserap hingga ampasnya. Habis. Tak menyisakan bekas. Seolah tak pernah terjadi apa-apa pada kedua jasad itu, mungkin bisa dikatakan hilang begitu saja tanpa sebab. Dimanipulasi supaya disangka lenyap ditelan bumi, atau dapat kau temui seketika sedang mengudara di angkasa. Melayang bebas tanpa arah, layaknya hologram organ tubuh yang bermandikan darah. Tak seorang pun mengenali.

Sementara jasadku tadi belum tuntas dikunyah habis. Terkulai lemas di sini. Mati rasa sebagian, tergeletak begitu saja. Entah apa yang membuatnya lantas beralih meninggalkan jasadku. Pikirku, apa mungkin memang sebegitunya terasa hambar? Atau bahkan terlalu pahit? Lalu kelimpungan mencari penetralisir kerongkongan dan semerbak aroma lain untuk menutupinya. Hahah, ternyata siluman juga butuh makanan penutup. Tukasku dalam benak memaksa menghibur diri.

Padahal, yang kuingin sekarang mending mokat saja sekalian. Ketimbang menahan perih yang teramat di sekujur tubuh. Tak utuh, tersisa hampir separuh. Jiancukk, siluman macam apa kau ini, meninggalkan mangsanya begitu saja. Dibunuh perlahan dibiarkan mengerang kesakitan. Tapi ini berbeda. Sayup-sayup deritanya membelas, terselip di sela-sela jaringan otot lunak yang berhasil ia koyak. Psikopat pun harusnya perlu berguru kepadanya. Ah, sungguh memilukan. Malang sekali nasibku.

Namun, ada yang lebih mengagetkanku kali ini. Kini ia dengan gemulai dan sigapnya malah sudah beranjak lagi pada tubuh selanjutnya. Mangsa keempat. Namun yang lebih menjengkelkan, sekarang lebih terlihat dibuat-buat mempermainkan sang mangsa. Seperti dua korban sebelumnya, makhluk ini tak berkutik dibujuk rayu oleh siluman itu. Dibuatnya kebingungan. Mematung. Ke mana akan melarikan diri nantinya. Itu yang bisa aku pahami dari gerik kecilnya. Gelisah kepayahan.

Sial, dasar siluman pelacur. Bentakku hanya dengan nanar mata tajam ke arah punggungnya yang membelakangiku, meskipun sesekali ia menengok ke belakang. Memastikan bahwa aku sudah benar-benar tak akan berkutik. Sontak, tiba-tiba kelopak mataku tak bisa digerakkan sedikit pun. Melotot dan mulai menghitam. Di sisi lain aku bersyukur. Sebab yang terakhir kali kulihat sebelum ajal, siluman itu telah memulai ritual busuknya lagi sebelum akhirnya menggerayangi makhluk keempat tadi.

Cukup melegakan melihat pola tingkahnya tak pernah berubah. Berandai suatu saat dengan mudah ia akan lenyap oleh mangsanya sendiri yang berhasil kabur. Meyakinkan di ujung kesadaranku bahwa sesuatu yang pernah ada tak akan bisa dihilangkan begitu saja di ingatan. Kecuali hilang ingatan. Mencoba terus membunuh tetapi ada yang tak pernah benar-benar mati. Sekarang coba kau tanyakan pada dirimu. Bukankah semakin kau bunuh semakin ia tumbuh?

 

2020

Tags: catatankehidupankeluhmetaforamutualismeobituaripengalaman
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pecel Lele Batas Kota

Next Post

Pak Soesilo Toer: “Homo Alalu” dan Doktor yang Memulung

Tokoh Fiksi

Tokoh Fiksi

Nama pena dari Afif Asari. Mahasiwa Arsitektur di Malang yang menyukai dunia fiksi dan puisi. Penulis buku "Damai dan Abadi dalam Selimut Gelap" (Guepedia, 2020).

Artikel Terkait

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 Maret 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan
Cangkem

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

21 Maret 2022

Silakan kalau anda ingin memfitnah saya sebagai orang yang sedang misuh atau berkata kasar sejak dari judul. Tapi kontol sebagai...

Cengkraman Lelaki Idaman
Cangkem

Cengkraman Lelaki Idaman

18 Januari 2022

Mbak, kalau kamu dapat dentang chat yang sibuk mengajakmu munajat tengah malam. Aku bisiki dulu ‘ndak ada jaminan, kalau doi...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Anomali Rokok dan Sepak Bola

Anomali Rokok dan Sepak Bola

8 Januari 2021
Pemimpin yang Ibda’ Binafsik

Pemimpin yang Ibda’ Binafsik

19 Juni 2021
Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!

9 April 2022
Gambar Artikel Berguru pada Sherlock Holmes

Berguru pada Sherlock Holmes

8 Desember 2020
Di Balik Senyum Warga Desa

Di Balik Senyum Warga Desa

13 Juli 2021
Pop Culture Buat Isti

Pop Culture Buat Isti

3 April 2021
Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

9 Agustus 2021
Fenomena ‘Ngapak’

Fenomena ‘Ngapak’

26 November 2021
Beberapa Adegan di Balik Pintu yang Tak Terkunci

Beberapa Adegan di Balik Pintu yang Tak Terkunci

7 Februari 2021
Gambar Artikel Teori Resep Rahasia Membuat Krabby Patty Laris

Teori Resep Rahasia yang Membuat Krabby Patty Laris

15 November 2020
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.