• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Monday, 01 December 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Milenial Gaya Hidup

Ada Nafas Sahara di Hutan Amazon

Ulasan Dokuseries “Connected: The Hidden Science of Everything” (2020)

M. Naufal Waliyuddin by M. Naufal Waliyuddin
30 April 2023
in Gaya Hidup
0
Ada Nafas Sahara di Hutan Amazon

Sumber gambar: dari Netflix (dengan penyesuaian)

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

[Spoiler Alert!]

Pernahkah kita terbesit secara sadar kalau udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan itu berasal dari belahan dunia yang sama sekali berbeda? Bahwa di mangkok soto yang kamu konsumsi pada suatu momen itu mengandung keringat petani yang memanen kol dan padi, juga jasa cacing, tanah, buruh pabrik mie, matahari, dan wujud-wujud lain yang jauh dari ranjang kita.

Adegan semacam itu adalah tamsil atas apa yang saya serap dari film dokumenter series Netflix berjudul “Connected: The Hidden Science of Everything” (2020). Sebuah karya audio-visual enam episode besutan Latif Nasser, seorang jurnalis sains yang juga mendapat PhD dalam departemen History of Science di Harvard University. Mungkin latar keilmuan pria yang menulis disertasi tentang Wabah Tawa Tanganyika Afrika itu turut berkontribusi pada corak dokumenter yang tarik-ulur dari jejak historis, riset saintifik dan konteks masa kini.

Serasa Bertualang

Mengikuti tayangan Connected, kita akan mengembarai beragam tempat, tokoh/pakar, waktu dan suasana. Diiringi ‘mantra’ di setiap pembuka episode: “Saya Latif Nasser, dan ini acara tentang hubungan menakjubkan di sekitar kita. Hubungan antara Anda, saya, dan dunia kita…yang akan membuat Anda melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru.”

Setiap ganti pembahasan, penonton dapat terkesiap lewat hal-hal kecil. Bisa lewat tinja (bab Poop), kita bisa tau kondisi penduduk satu kota tertentu, beserta pola hidupnya, apa yang mereka konsumsi, kesehatannya, situasi mentalnya. Juga tidak ketinggalan update terbaru, teknologi pengenalan muka terhadap binatang pun disuguhkan. Mengurutkan penelitian termutakhir tentang mikroekspresi babi, kesejahteraan psikologis mereka, sampai mengaitkannya ke dokumen CIA lawas tentang proyek pengenalan wajah orang yang belakangan ini semakin terbantu dengan adanya Artificial Intelligence (AI).

Belum termasuk burung mungil yang mendeteksi badai lebih akurat melampaui BMKG. Awan hingga hujan buatan, sampai persoalan nuklir dan hukum Benford yang memetakan pola angka dalam setiap benda dan peristiwa. Namun, melebihi semua itu, saya terisap oleh satu momentum puitik, yakni tentang debu.

Benda Kecil, Dampak Besar

Masuk pertengahan doku-series, Latif Nasser mengajak penonton menuju tempat paling berdebu di dunia. Narasi awal: “Ini adalah kisah tentang planet kita yang dinamis dan labil, di mana benda terkecil dapat membuat perubahan besar.” Lokasinya di Chad, Afrika. Sang pembawa acara bersama Dr. Moussa Abderamane, seorang geolog, menyetir selama 4 hari ke gurun Sahara untuk mencari ikan.

Ke padang pasir mencari ikan? Iya, anda tidak salah baca. Ribuan tahun lewat, tempat yang kini menjadi gurun gersang itu mulanya adalah danau raksasa: Lake Mega-Chad. Danau ini dahulu seluas Jerman modern, dan kedalamannya setinggi monumen Washington. Dahulu kala ia dipenuhi ikan dan kehidupan.

Bertemulah mereka berdua dengan fosil ikan. Termasuk renik-renik hewan mati, alga, hingga kerangka individu uniseluler lain yang berwujud diatom hingga jadi debu. Di titik ini, fakta-fakta lanjutan sukses membesarkan pupil mata saya. Bahwa remahan fosil dan renik alga mati itu menjadi debu dan lekas diterbangkan badai topan hingga ke atmosfer. Jumlahnya tidak main-main. Sekitar 50 juta gajah setiap tahunnya. Alias 150 juta ton/tahun!

Dari pengamatan satelit Calipso milik NASA, debu yang kawin-mawin dengan hurricane itu seolah katastrofi, seperti bencana. Namun pada kenyataannya ia menjadi berkah untuk samudra Atlantik. Debu itu kaya nutrien. Karena di tengah samudera penghuninya butuh makanan dan di sana mencari makanan tidak semudah di habitat karang-karang tepi laut. Di sinilah fitoplankton memanfaatkan debu tersebut.

Takjubnya, fitoplankton ini berfotosintesis—menyerap sinar matahari, mengeluarkan zat yang membuat kita semua hidup: oksigen. Fakta baru lagi: hampir separuh oksigen di planet ini berasal dari samudera. Itu berarti sebagian ketersediaan oksigen yang kita hirup tak lain adalah berkat debu gurun Sahara.

Interkoneksi: Ada Nyawa Sahara di Setiap Pohon Hutan Amazon

Belum stop di situ, usai debu terbang di angkasa, menghujani samudera Atlantik dan terpantau satelit, sisa dari pleton itu mendarat di hutan Amazon. Sebuah wilayah yang masyhur dengan keanekaragaman hayati. Pasukan debu itu mendarat di tempat yang berbeda total dari tempat asalnya. Puluhan ribu kilometer.

Ada sejumlah 27 juta ton debu turun pertahunnya di sini. Itu setara dengan 2 x (Gedung Sydney Opera House + Piramida Giza + Bendungan Hoover + Stadion Nasional Beijing + Burj Khalifa). Jumlahkan gedung-gedung itu lalu gandakan. Debu telah berperan sebagai nutrisi bagi ekosistem penghuni Amazon.

Terlebih hutan Amazon punya rahasia kotor: tanahnya sangat tidak subur. Curah hujan tinggi menyapu nutrisi penting seperti fosfor yang diperlukan tanah. Tebak apa yang bisa menyediakan fosfor baru? Bangkai penghuni Danau Mega-Chad yang sudah mati. Dengan kata lain, setiap pohon di Amazon telah bercumbu dengan debu gurun Sahara.  Debu-debu yang telah berpetualang jauh, menempuh perjalanan panjang, asyik menari-nari di langit, di atas kepala kita.

Dr. Moussa tersenyum takzim di tengah gurun sembari jongkok memegangi debu fosil: “Ikan dan alga yang mati ribuan tahun lalu telah menyuburkan Hutan Amazon. Mereka tidak mati sia-sia.” Mereka menempuh suluk lintas benua dan samudera, menyuburkan organisme lain dengan kematiannya. Bagi saya, inilah momentum puitik. Sepercik contoh konkret dari kebangkitan: dari yang hidup menuju mati menuju hidup kembali.

Latif pun memungkasi babak dengan kalimat: “Di manapun anda menghirup nafas, anda menghirup udara dari tempat lain yang jauh berbeda. Baik atau buruk, kita semua saling terhubung.” Ini selanggam-makna dengan ungkapan Rumi:

“Do not feel lonely, the entire universe is inside you.”

Kacamata Penikmat

Meski ada secuil review di IMDb yang menyebut host doku-series ini sebagai orang kekanak-kanakan, over dan annoying, tapi bagi saya tidak. Ini memang terasa seperti video doku-podcast. Mungkin tidak se-epik serial documenter alam yang dibawakan oleh David Attenborough secara magis. Atau kualitas gambar dengan footage-footage karya Tim Laman yang lama di Natgeo dan jam terbang tinggi dalam jurnalisme alam liar. Namun konten doku-series Connected telah lulus menyerap saya, memukaukan mata kanak-kanak saya.

Wasilah doku-series ini, yang saya tonton dua tahun lalu saat pandemi, saya terpicu untuk menulis di Twitter saat itu. Agaknya ini relevan mengingat sebentar lagi Hari Buruh.

“Dalam sehelai benang di baju yang kau kenakan sekarang, ada jejak ratusan keringat manusia: buruh, pemanen kapas, petani, peternak, sopir, pedagang, admin, sales, bakul nasi yang rutin diutangi, dst. Bagaimana bisa kau begitu congkak dan merasa sangat mandiri?”

(Twitt Madno, 2021)

Bagi anda yang religius atau spiritualis, doku-series ini sangat ampuh menambah nutrisi batin dan mempermesra hubungan anda dengan Tuhan. Sedang untuk anda yang agnostik atau bahkan atheis, kekaguman anda pada semesta ini akan tambah membuncah dan memantik rasa penasaran yang lebih subtil, hingga membekas.

Seakan memberi isyarat secara halus, betapa kita bisa belajar dari alam—yang sudah jelas lebih tua dari kita. Ia menyimpan memori raksasa tentang sejarah kehidupan ini. Ia merekam munculnya kehidupan sekaligus kematian, kebangkitan-kehancuran, keputusasaan, cinta, perang, dan dendam, hingga kepunahan dan seminya berjuta kehidupan baru.[]

Tags: connected the hidden science of everythingfilm dokumentergaya hidupulasan film
ShareTweetSendShare
Previous Post

Belajar Mengitari Israel

Next Post

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual

M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Tim Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
Gaya Hidup

Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman

31 October 2025

Menunda-nunda, atau prokrastinasi, adalah fenomena yang tampaknya sepele tetapi sesungguhnya sangat kompleks. Data menunjukkan bahwa 95% orang melakukannya pada tingkat...

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual
Milenial

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual

8 May 2023

Peringatan: tulisan ini mengandung konten sensitif yang barangkali dapat mengganggu dan memicu trauma Anda. _ Pada tahun 2022 kemarin, Netflix...

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!
Gaya Hidup

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

13 April 2022

Perdebatan tentang jumlah rakaat tarawih yang mewarnai jagat maya tampaknya tak berlaku di Masjid Al-Hikmah Kampung Islam Lebah, Klungkung. Pasalnya...

4 Suguhan Apik yang Ditawarkan Film “Don’t Look Up”
Gaya Hidup

4 Suguhan Apik yang Ditawarkan Film “Don’t Look Up”

27 March 2022

Pada Desember 2021 lalu, Netflix merilis film Don’t Look Up. Sebuah film fiksi ilmiah yang berbumbu komedi. Beberapa nama yang...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Gambar Artikel Puisi untuk Ibu : Mamak dan Kudapan Hina

Mamak dan Kudapan Hina

1 December 2020
Penjaring Ikan di Laut

Penjaring Ikan di Laut

2 April 2021
Seorang Lelaki dan Sungai

Seorang Lelaki dan Sungai

3 January 2022
Gambar Artikel Senyuman Malaikat Maut

Senyuman Malaikat Maut

20 December 2020
Gambar Artikel Game yang lagi viral tahun 2021. Higgs Domino. Chip. Spin. Game yang menghasilkan Uang

Game yang Lagi Viral di Tahun 2021

23 April 2021
Narasi tentang Rahmah dan Gaza

Narasi tentang Rahmah dan Gaza

30 May 2021
Pulang

Pulang

22 April 2022
Di Atas Sebuah Kertas

Di Atas Sebuah Kertas

13 September 2021
Kepalamu dan Isinya

Kepalamu dan Isinya

3 April 2021
Gambar Artikel Menghindari Kata Sibuk

Menghindari Kata Sibuk

22 January 2021
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina
  • Antony Loewenstein: “Mendekati Israel adalah Kesalahan yang Memalukan bagi Indonesia”
  • Gelembung-Gelembung
  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

Kategori

  • Event (14)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (12)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (217)
    • Cerpen (55)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (49)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (13)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kontributor
  • Hubungi Kami

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.