Data Buku
Judul Buku : Tuhan Maha Asyik 2
Penulis : Sujiwo Tejo dan Dr. Muhammad Nursamad Kamba
Penerbit : Imania
Tahun Terbit : 2020
Tebal : 366 halaman
Sujiwo Tejo hampir selalu menekankan narasi ‘cinta’ dalam cerita-ceritanya atau di sejumlah seminar dan talkshow. Sebagaimana juga dalam buku Tuhan Maha Asyik #2, kata Asyik tersebut dapat dimaknai sebagai kata Bahasa Arab ‘isyq yang bermakna rindu atau cinta. Buku tersebut berisikan 25 bab. Masing-masing bab tersusun atas cerpen dengan tokoh-tokoh di atas disusul dengan refleksi dari cerpen tersebut. Bagian awal, cerpen tertulis dalam tidak lebih dari 4-5 halaman, sedangkan refleksi dituliskan dalam 9-12 halaman. Buku ini mengandung beberapa kritik sosial keagamaan. Haidar Bagir dalam pengantar buku ini menyampaikan bahwa ungkapan sufi laa ilaha illa al-isyq (tiada Tuhan selain cinta) dapat menjadi dasar munculnya buku ini. Bahwa beragama seharusnya dipenuhi dengan rasa cinta, bukan dengan kekerasan bahkan terorisme.
Cerita-cerita menarik disajikan melalui tokoh Christine, Parwati, Dharma, Samin, Kapitayan, Pangestu dan Buchori yang dibimbing oleh Bu Guru Matematika dan Pak Guru Biologi. Nama-nama murid tersebut seolah mewakili—dalam konteks ini dapat kita sebut ‘merepresentasi’—beberapa kepercayaan yang ada di Nusantara. Melalui kisah-kisah dan refleksi, dua penulis buku ini menawarkan pada kita sebuah transformasi keberagamaan pada era ini—saat agama dijadikan alat politik, kepentingan atau bahkan alat pelegalan kekerasan bahkan pembunuhan. Nilai dan hikmah cerita tersebut semakin terasa ketika kita baca bagian refleksi yang ditulis oleh Nursamad Kamba. Dengan latar belakang beliau yang merupakan cendekiawan bidang Akidah dan Filsafat, refleksi yang ditulisnya kental akan nilai-nilai tasawuf dan filsafat tentang pemaknaan agama. Tak heran karena beliau menghabiskan jenjang pendidikan tingginya sampai doktoral di Universitas Al-Azhar Kairo.
Tak dapat dipungkiri, pluralisme tampaknya harus lebih dipahami lagi, namun dengan cara pandang dan persepsi yang baru. Kembali pada memahami agama, tidak hanya sebagai ‘formalitas’, itulah yang dapat menjadi kuncinya. Artikel ini, sekali lagi, ditujukan untuk membuka kunci-kunci itu sehingga ‘cinta’ sebagai agama dapat ‘dibadani’ dan bukan hanya suatu sistem keagamaan semata.
Teladan Beragama Melalui Cerpen
“Seseorang yang beragama pastinya membaca kitab suci. Dan kitab suci tersebut pastinya memiliki unsur keindahan, baik dalam cerita kenabian, kerasulan, utusan Tuhan ataupun dalam cerita lain di kitab suci. Namun pada realitasnya, umat beragama kelihatan menyedihkan. Dari gap tersebutlah ada sesuatu yang salah. Tuhan menganjurkan untuk melakukan sesuatu begini dan juga melarang sesuatu begitu. Dalam tradisi Islam misalnya, Allah menganjurkan seseorang untuk melakukan salat, lalu mengapa kemudian ada sekumpulan orang yang merasa pantas untuk memberikan kriteria-kriteria atau persyaratan-persyaratan bahwa pengabdian seorang hamba pada Tuhannya itu sah atau tidak.”
“Padahal yang memerintah itu Tuhan, Dia tidak mempersoalkan ibadah hamba-Nya itu sah atau tidak sah, diterima atau tidak diterima, tapi kemudian muncul sekumpulan orang-orang tadi mengatasnamakan diri mereka untuk mewakili Tuhan. Kelompok tersebut yang disebut sebagai otoritas keagamaan dalam buku ini (Tuhan Maha Asyik #2). Yang pada kesimpulannya, mengarah pada bahwa otoritas keagamaan ini menafsirkan keindahan-keindahan kitab suci, keindahan biografi nabi dan rasul sesuai dengan kecenderungan mereka sendiri. Terutama agama itu diarahkan untuk mendapat kekuasaan; kekuasaan sosial, politik, ekonomi dan kekuasaan lainnya. Seakan-akan mereka mengambil wewenang Tuhan. Dan sepanjang wewenang tersebut diambil oleh manusia, Tuhan tidak menjadi ‘asyik’.”
Demikian yang dikatakan oleh Dr. Nursamad Kamba dalam sebuah webinar via aplikasi Zoom yang saya ikuti beberapa waktu di masa lalu. Singkatnya potongan kalimat tersebut adalah latar belakang penulisan buku Tuhan Maha Asyik #2 sebagai kritik atas agama yang oleh otoritas keagamaan dijadikan alat kepentingan dan mengonsepsi Tuhan ke dalam batasan-batasan, padahal Tuhan itu absolut. Yang menjadi spot–light di sini adalah kata-kata beliau bahwa ada sekelompok orang yang menentukan sah-tidaknya ibadah seseorang. Bisa dikatakan bahwa beliau kurang setuju jika ada sekelompok orang yang menjadi ‘hakim’ atas ibadah orang lain.
Menurut beliau, beragama yang ideal adalah beragama dengan laku baik tanpa melihat ibadah itu diterima atau ditolak oleh Tuhan. Hanya saja, pandangan ini tentunya sangat mengedepankan substansi agama dan sedikit menghilangkan sisi formalnya. Laku baik dan tindakan cinta menurut beliau adalah representasi dari beragama itu sendiri. Beribadah dan pengabdian kepada Tuhan. Jadi bisa dikatakan bahwa laku baik adalah cerminan ibadah. Seseorang yang melakukan salat, namun tidak berlaku baik, tidak bisa dikategorikan sebagai ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Ma’un: “…orang-orang yang lalai akan salatnya”.
Selanjutnya beliau mengatakan pula, “kemudian para otoritas keagamaan tersebut merumuskan teologi. Teologi sendiri adalah persepsi dan konsepsi tentang Tuhan, padahal Tuhan Yang Absolut tidak dapat dikonsepsikan dan dipersepsikan. Dan adapun hubungan kita pada Tuhan itu hanyalah refleksi, yakni merefleksikan Tuhan dalam laku kebaikan dan laku cinta. Orang beragama atau orang yang berbakti pada Tuhan adalah ketika ia merefleksikan cinta absolutnya Tuhan dan menyebarkannya pada seluruh manusia. Dari situlah agama akan menjadi asyik.”. Perkataan beliau ini sesuai dengan yang ada dalam Tuhan Maha Asyik #2 pada bab pertama yang berjudul ‘Nikmat Teh Mana Lagi Yang Engkau Dustakan?’ yang mendayagunakan format cerpen untuk menyajikan kisah teladan dalam beragama.
Harmoni dalam Suluk dan Syair
Dalam kitab atau serat Suluk Linglung, Sunan Kalijaga mengatakan hal menarik tentang konsep salat da’im: “Salat daim tan kalawan, met toya wulu kadasi, salat batin sabenernyo, mangan turu sahwat ngising.”. Salat daim adalah ketiadaan hambatan dalam melakukan salat, tidak perlu wudu, dan salat yang sebenarnya dapat dilakukan saat makan, tidur, bercinta, atau bahkan saat membuang hajat. Dapat diartikan bahwa sesuatu yang dinilai ibadah semacam salat, dapat dilakukan tanpa henti–di mana pun, kapan pun, dan apa pun keadaannya. Meski barangkali hal ini akan rentan kontroversial, namun menarik dibahas.
Ada poin relevan yang terkait dengan ‘ibadah terus-menerus’ ini dalam Suluk Wijil: “pangabektine ingkang utami, nora lan wektu, sesolahira punika mangka sembahe, meneng muni puniku, sasolahe raganireki, tan simpang dadi sembah, iku ingaran niyat kang sejati, puji tan papegatan.” Bahwa bakti yang utama adalah bakti yang dilakukan kapan saja, hendaknya setiap yang dilakukan adalah menjadi doa (ibadah), baik dalam diam atau ketika bersuara, dan itulah sejatinya doa yang tak terputus (da’im).
Apabila ditarik lebih jauh lagi, pandangan-pandangan beragama dalam Tuhan Maha Asyik #2 ini menyerupai apa yang disenandungkan oleh sufi besar Ibnu Arabi dalam kitabnya Tarjuman al-Ashwaq:
“Kini kalbuku bisa menampung semua, ilalang perburuan kijang atau biara pendeta,
Kuil pemuja berhala atau Ka’bah para orang thowah, atau lauh Taurat, atau mushaf al-Qur’an,
Aku lah pemeluk agama cinta ke mana pun kendaraan-kendaraan menghadapa, karena cinta adalah agamaku dan imanku”