• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 25 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Resensi

Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

Kukuh Basuki Rahmat by Kukuh Basuki Rahmat
24 Agustus 2025
in Resensi
0
Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

Sumber gambar: dokumentasi pribadi penulis | Kukuh Basuki Rahmat

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dalam hidup ini, pastinya kita pernah mengalami situasi keterburu-buruan. Waktu seolah-olah mengejar kita. Tak ada waktu lagi untuk sekadar duduk dan berbicara hangat dengan orang-orang di sekitar kita. Sisa waktu seperti akan hilang jika tidak kita kejar. Oh, apakah waktu yang mengejar kita atau kita yang mengejar waktu? Kita akan selalu bingung karena waktu dalam benak kita antara entitas nyata dan abstraksi konseptual.

Setiap manusia mempunyai jumlah waktu yang sama dalam satu hari, yaitu 24 jam. Namun, mengapa sikap orang terhadap waktu berbeda? Ada yang mengeluhkan bahwa waktu itu berjalan lama. Di sisi lain, ada orang yang selalu merasa kehabisan waktu sehingga selalu terburu-buru dalam menjalankan segala sesuatu.

Waktu adalah entitas yang sangat akrab sekaligus misterius. Keberadaanya mempermudah hidup kita, tapi terkadang juga bisa mengantarkan kita pada masalah. Dalam kisah Momo, kita diajak merenungkan lagi hakikat waktu sekaligus juga memahami bagaimana perubahan lanskap sosial politik juga merubah manusia dalam mempersepsikan waktu.

Sekilas Tentang Kisah Momo

Momo adalah seorang anak kecil perempuan miskin yang hidup menggelandang di sudut kota. Ia tinggal di reruntuhan artefak kuno berupa ampiteater yang tidak terurus. Ia hanya punya sepasang pakaian: jas pria bertambal, rok panjang bertambal pula, dan tanpa alas kaki. Walau tidak jelas orang tuanya siapa dan hidup sebatang kara, Momo mempunyai banyak teman yang sering bermain di ampiteater itu. Datang dari latar belakang berbeda-beda, mereka bermain bersama dengan penuh gembira hampir saban hari.

Momo adalah pribadi yang tenang dan suka mendengarkan. Itu sebabnya ia sangat disayangi banyak orang. Setiap ada permasalahan, orang-orang selalu bilang, “cari saja Momo!” Setelah ketemu dengan Momo, mereka akan menceritakan segala permasalahannya, dan Momo hanya mendengarkan saja. Walau Momo tidak memberikan solusi, anehnya mereka yang datang bisa menemukan jawaban dari permasalahannya sendiri. Hampir mirip Socrates yang lebih suka membantu orang-orang disekitarnya menjawab dan menemukan solusinya sendiri ketimbang memberi petuah.

Walaupun mempunyai banyak teman, Momo punya dua teman paling akrab. Mereka adalah Beppo Sipenyapujalan dan Giorlamo (Gigi) Sipemanduwisata. Keduanya mempunyai sifat dan karakter yang berbeda. Giorlamo adalah seorang pemuda yang suka mendongeng dan membuat cerita. Setiap hari ia rajin membuat cerita atau sesekali menjadi pemandu wisata orang-orang yang bertamasya di sekitar ampiteater dan di pinggiran kota. Sedangkan Beppo adalah seorang pria tua ompong yang tidak banyak bicara. Ketika ditanya pun ia mungkin hanya tersenyum ramah. Menjawab pun butuh waktu yang lama. Barangkali itulah mengapa ia sering dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, Momo menjadi teman baiknya. Momo selalu sabar menunggu Beppo memberikan jawaban walaupun lama.

Masalah mulai muncul ketika seorang demi seorang di kota itu mulai jarang muncul di ampiteater. Mereka seperti hilang dalam aktivitas pribadinya. Mereka telah terjerat perjanjian dengan Tuan Kelabu. Tuan Kelabu datang di tiap-tiap penduduk kota dan menawarkan jasanya untuk mengelola dan menyimpankan waktu untuknya, sehingga dapat diambil ketika mereka membutuhkannya nanti.

Dengan perhitungan matematis yang rumit, rigid, dan terlihat masuk akal, Tuan Kelabu membuktikan betapa borosnya orang-orang menggunakan waktu. Inilah alasan Tuan Kelabu menyarankan mereka untuk mulai menabung waktu. Hal itu bisa dilakukan dengan mengurangi waktu bicara dengan orang-orang di sekitarnya. Semakin banyak waktu yang dihemat akan semakin besar waktu yang berhasil ditabungnya. Begitulah bujuk Tuan Kelabu.

Pada akhirnya hampir satu kota telah dikuasai oleh Tuan Kelabu. Semua orang hilang satu per satu ketika terdaftar menjadi nasabah Bank Waktu. Hanya ada satu orang yang sulit dikelabui Tuan Kelabu yaitu Momo. Oleh sebab itu Tuan Kelabu ingin selalu mencelakai Momo agar tidak menghambat Bank Waktu. Setelah begitu frustrasi mempengaruhi Momo tapi tetap gagal, akhirnya Tuan Kelabu mencari cara lain. Momo dijauhkan dari semua teman-temannya, termasuk Giorlamo dan Beppo. Momo dibuat sendirian.

Lelah dengan cara-cara halus, Tuan Kelabu ingin melenyapkan Momo dengan cara-cara yang lebih kasar. Dengan mengerahkan salinan dirinya yang cukup banyak, gerombolan Tuan Kelabu tak henti-hentinya mengejar dan ingin mencelakai Momo. Ketika keadaan semakin genting, seekor kura-kura bernama Cassiopeia datang menolong Momo. Momo diajak ke kediaman Empu Secundus Minutius Hora, tuan yang menyuruh Cassiopeia menyelamatkannya. Di sana Momo mendapatkan misi penting untuk membebaskan lagi kembang-kembang waktu yang dicuri Tuan Kelabu dari tiap-tiap manusia yang terbujuk menjadi nasabah Bank Waktu. Sebuah tugas berat yang harus dilaksanakan Momo seorang diri.

Sindiran Terhadap Kapitalisme

Sang penulis, Michael Ende, pertama kali mempublikasikan karyanya di Jerman tahun 1973. Hidup di negara yang berganti-ganti ideologi membuat ia mengalami perubahan-perubahan sosial dan perilaku masyarakat secara nyata. Setelah dikuasai rezim fasis, tahun ’70-an Jerman dikuasa dua ideologi besar yaitu komunis di Jerman Timur dan Kapitalis di Jerman Barat. Michael Ende hidup di bagian yang kedua.

Di tengah alam yang kapitalistik, pasar bebas menghendaki semua masyarakat untuk terus berbelanja. Masyarakat yang konsumtif adalah roda penggerak dari sistem kapital. Dengan itu roda produksi akan terus lancar dan penumpukan kapital pemodal semakin besar. Sebaliknya, buruh dan pekerja diberi upah semurah-murahnya. Adapun peningkatan gaji yang diterimanya tidak sebanding dengan grafik naik pendapatan pemilik alat produksi.

Keadaan itu membuat orang-orang harus semakin rajin memerah keringat. Semboyan waktu adalah uang dan kesuksesan harus diraih oleh kerja keras membuat masyarakat semakin memfokuskan hidupnya pada dunia kerja. Hal itu membuat aktivitas alami manusia seperti mengobrol, bermain, dan merenung boleh dikurangi asalkan aktivitas itu menghasilkan uang. Mereka akan selalu bergegas jika urusannya itu tentang uang. Uang adalah nilai dan kearifan tertinggi dalam dunia kapital.

Dengan tiga tokohnya yaitu Momo, Giorlamo, dan Beppo, Michael Ende seolah menyindir kehidupan kapital yang serba materialistik, cepat, dan kompetitif. Banyak nilai-nilai kehidupan non-materi seperti kesabaran, ketenangan, kebersamaan, kemendalaman, dan kedermawanan mulai hilang. Segala hal yang tidak berujung pada uang dianggap buruk, pemborosan, bahkan kejahatan. Ini bisa kita lihat dari dialog ketika Paolo menerangkan pada Momo mengapa ia tidak mau diajak bermain lagi.

“Kata orang tuaku, kalian hanya pemalas yang tak berguna. Mereka bilang kalian mencuri waktu dari Tuhan. Karena itu kalian selalu banyak waktu. Dan karena orang seperti kalian terlalu banyak, orang lain semakin kehabisan waktu, kata mereka. Dan aku tidak boleh kemari lagi, sebab aku nanti jadi seperti kalian.” (Momo, hal. 96).

Dalam dunia kapital, kerja dianggap sakral sehingga setiap orang harus melakukannya. Kehilangan banyak waktu karena beberja dianggap heroik dan sudah semestinya. Sebaliknya, Momo dan teman-temannya yang miskin dan tidak punya pekerjaan tetap dianggap rendah dan mendapatkan stigma.

Teman-teman Momo yang tadinya sangat hangat bermain dan menciptakan permainan, semuanya tiba-tiba ‘menghilang’ dan asyik dengan mainan yang sudah jadi dan lebih bagus yang diberikan oleh Tuan Kelabu. Mainan pabrikan itu dianggap lebih aman dan menarik dibandingkan mainan di ampiteater kumuh yang harus membuat sendiri. Dari sini kita melihat bahwa kapitalisme, di balik wajahnya yang sangat gemerlap, menyimpan efek disrupsi imajinasi. Jika mainan yang diciptakan sendiri, misal dari kayu, kita bisa mengimajinasikannya menjadi beragam kemungkinan, mainan pabrikan sudah ada aturan-aturan permainannya. Semua sudah “tinggal jalan” dan membuat pemainnya tidak imajinatif.

Kesuksesan yang dicapai orang di dunia kapital juga sangat ilusif dan manipulatif. Itu digambarkan oleh dua teman Momo yaitu Gigi (Giorlamo) si pendongeng dan Nino si pemilik kedai. Dalam puncak kesuksesannya, Gigi mempunyai jadwal pertunjukan padat dan ketat. Ia tak punya lagi waktu untuk membuat cerita-cerita baru seperti dulu. Kini ia hanya mengulang-ulangi cerita yang disukai oleh penonton di setiap pertunjukan. Gigi kin menjadi selebritas namun kemampuan imajinatifnya jauh menurun. Mungkin itu juga karena waktu untuk berimajinasi sudah habis direbut oleh Tuan Kelabu dan ditabung di Bank Waktu.

Nino tak jauh beda. Setelah berhasil mendirikan restoran mewah, ia menjadi orang yang sangat sibuk. Pembeli di restorannya terus berdatangan dan seolah tanpa putus. Nino melayani antrian pembeli itu sampai kewalahan. Hal itu membuat Momo kesulitan hanya sekadar untuk ngobrol singkat dengannya. Sesuatu yang sangat jauh berbeda ketika Nino masih hanya seorang penjual makanan di kedai kecil. Walau sederhana, kedai kecil itu menjadi tempat yang hangat ketika Momo datang ke sana dan memulai obrolan-obrolan santai.

Kapitalisme yang menjanjikan kesuksesan dan kekayaan bagi setiap orang yang mau berusaha keras nyatanya juga membawa efek samping yang tidak bisa dianggap remeh. Ketergesaan, individualisme, dan alienasi membuat manusia-manusia yang berhasil mendapatkan uang di sana belum tentu mendapatkan kesejahteraan. Waktu untuk mengobrol dan merenung habis dieksploitasi oleh pemodal atas nama kelancaran produksi. Tentu saja nilai lebih produksi itu sebagian besar masuk ke kantong pemodal. Pekerja hanya mendapat sepersekian persen nilai dalam bentuk upah yang tak sepadan dengan alokasi waktu yang diberikannya.

Satu lagi hal yang dikritik Michael Ende dengan sangat cerdik adalah “ketergesa-gesaan”. Hal itu digambarkan dalam adegan ketika Momo diantar Cassiopeia ke rumah Empu Hora. Dalam perjalanan itu, Tuan Kelabu dengan semua personelnya mengejar anak kecil dan kura-kura itu dengan berlarian. Hal itu membuat Momo takut. Tapi dengan bijak Cassiopeia menenangkan Momo dan meyakinkannya untuk tidak perlu berlari. Momo diminta jalan saja sesuai kecepatan kura-kura yang terkenal super lambat itu. Di sini Michael Ende seolah mengingatkan pada kita bahwa ketergesa-gesaan itu tidak membawa kita ke mana pun dan justru membuat kita melewatkan banyak hal.

Kapitalisme seolah meberikan prototipe manusia sukses yang seragam. Hal itulah yang digambarkan Michael Ende pada Tuan Kelabu yang mempunyai dandanan sama. Rumah-rumah di pinggiran kota menuju gang antah berantah juga digambarkan sama, baik dalam segi warna ataupun bentuk. Setiap orang selalu terpaku dengan standar sukses itu. Apabila tidak bisa mencapainya, mereka dianggap manusia gagal.

Kehidupan alternatif seperti yang ditawarkan Momo, Giorlamo, dan Beppo di era sekarang dianggap ganjil. Itulah sebabnya mereka dicap buruk, dilabeli sebagai pemalas, dan bahkan dianggap gila. Namun dari ketiga tokoh itulah kita justru belajar keterampilan untuk mendengarkan, berimajinasi, dan kesederhanaan. Tiga hal yang semakin langka di era yang semakin kompetitif dan konsumtif.[*]

Data Buku

Judul buku          : Momo

Penulis                 : Michael Ende

Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit       : 2024

Penerjemah       : Hendarto Setiadi

Tebal buku         : 330 halaman

ISBN                      : 9786020677590

Tags: bukukukuh basuki rahmatmichael endemomoresensiwaktu
ShareTweetSendShare
Previous Post

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya

Kukuh Basuki Rahmat

Kukuh Basuki Rahmat

Penulis dan musisi alumnus Magister Psikologi UGM. Aktif menulis cerpen, esai, resensi buku, dan sedang berusaha menyelesaikan novel dan buku teks. Kini menjadi kontributor di Tirto.id dan anggota komunitas Radio Buku. Dapat disapa via IG @basczky.

Artikel Terkait

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
Resensi

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

26 April 2025

 “Manungsa kuwi gampang lali, Le. Mula kowe kudu sregep nyatheti. Nyatheti opo wae kanggo pangeling-eling. Mbesuk yen simbah lan ibumu...

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas
Resensi

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas

28 Maret 2024

Deretan kasus perundungan akhir-akhir ini terus bermunculan. Belum lama ini ramai tajuk berita seputar kasus perundungan di Binus School Serpong,...

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard
Resensi

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022

Judulnya Educated. Buku memoar yang mengantongi lika-liku kehidupan sebuah keluarga ‘penjaga’ lembah indah, Buck’s Peak, Idaho Amerika Serikat. Tara Westover...

Menyoal Tirani: Pelajaran Penting Demokrasi Abad Ini
Resensi

Menyoal Tirani: Pelajaran Penting Demokrasi Abad Ini

9 Agustus 2022

Pada abad ke-21 ini, kita menghadapi pelbagai persoalan demokrasi di Indonesia—merujuk kepada kebebasan berpendapat dan pemenuhan hak-hak masyarakat—menjadi indikator penting...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Di Balik Senyum Warga Desa

Di Balik Senyum Warga Desa

13 Juli 2021
Nyala Lilin dan Puisi Lainnya

Nyala Lilin dan Puisi Lainnya

14 Maret 2022
Win-Win Corruption

Win-Win Corruption

30 Mei 2021
Gambar Makanan dan Orang Jawa

Makanan dan Orang Jawa

4 Februari 2021
Surat dari Eretria

Surat dari Eretria

7 Februari 2021
Di Kemanggisan

Di Kemanggisan

22 Desember 2021
Dari Nafas Malamku

Dari Nafas Malamku

11 Mei 2021
Cerpenis Itu Bernama Raa

Cerpenis Itu Bernama Raa

15 September 2021
Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

22 Maret 2023
Anjing dan Kupu-kupu

Anjing dan Kupu-kupu

27 April 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.