• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 25 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Resensi

Menyoal Tirani: Pelajaran Penting Demokrasi Abad Ini

Kekerasan yang terjadi di masyarakat dewasa ini yang melibatkan pemerintah, bisa ditutupi oleh media yang boleh jadi media tersebut adalah “pesanan” penguasa.

Fahrul Anam by Fahrul Anam
9 Agustus 2022
in Resensi
0
Menyoal Tirani: Pelajaran Penting Demokrasi Abad Ini

Sumber gambar: dok. pribadi penulis

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Pada abad ke-21 ini, kita menghadapi pelbagai persoalan demokrasi di Indonesia—merujuk kepada kebebasan berpendapat dan pemenuhan hak-hak masyarakat—menjadi indikator penting suasana kehidupan bangsa dan negara dewasa ini. Apakah sedang baik-baik saja atau malah sebaliknya?

Lantas kita teringat ungkapan klise ini: “Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rayat”. Namun, apakah yang dikatakan Abraham Lincoln itu benar? Mengingat, sengkarut permasalahan demokrasi di Indonesia semakin kesini semakin tidak karuan, dan seolah-olah negeri kita sudah berasaskan tirani.

Menyoal permasalahan di atas, Timothy Snyder dalam bukunya bertajuk Tentang Tirani (On Tyranny): Dua Puluh Pelajaran dari Abad Kedua Puluh. Penulis yang merupakan Profesor Housum Sejarah di Yale University itu, mengajak khalayak pembaca untuk mengingat-ingat masalah yang bersinggungan dengan politik dan kemanusiaan yang terjadi di Eropa dan Amerika pada abad ke-19 dan ke-20. Yang kemudian, bisa menjadi perenung buat meratapi nasib demokrasi di Indonesia yang dibelenggu otoritarianisme.

Hari ini, kita membayangkan pengawasan oleh diri kita sendiri yang bersifat baik dan mengarah ke luar, terhadap pihak lain yang salah jalan dan bermusuhan. Kita memandang diri sendiri seperti kota di atas bukit, banteng demokrasi, mengawasi ancaman yang datang dari luar. Hakikat manusia itu sedemikian rupa, sehingga demokrasi Amerika yang bakal mengeksploitasi kemerdekaan untuk mengakhiri demokrasi.

Abolisionis Amerika, Wendell Phillips memang berkata bahawa: “pengawasan terus menerus adalah harga kemerdekaan”. Dia menambahkan bahwa: “kemerdekaan rakyat harus dipupuk setiap hari, kalau tidak dia akan membusuk.”

Riwayat demokrasi Eropa modern membenarkan kebijaksanaan kata-kata tersebut. Abad ke-20 menyaksikan upaya-upaya serius untuk memperluas hak suara dan mendirikan demokrasi yang kuat. Namun demokrasi-demokrasi yang berdiri sesudah Perang Dunia I dan II, sering kali ambruk ketika suatu partai meraih kekuasaan dengan gabungan pemilu dan kudeta. Partai yang didukung hasil pemilu yang menguntungkannya atau termotivasi ideologi, atau kedua-duanya, bisa mengubah sistem dari dalam.

Waktu kaum fasis atau Nazi, juga komunis menang dalam pemilu pada 1930-an atau 1940-an, yang terjadi selanjutnya adalah kombinasi pamer kekuatan, penindasan, dan taktik melucuti oposisi selapis demi selapis. Sebagian besar orang tak memperhatikan, sebagian dipenjara, dan lainnya dikalahkan. (hlm. 10-11)

Taktik di atas kiranya dapat menjadi sebuah cermin bagaimana satu partai akan menodai citra demokrasi dengan cara-cara yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Maka, oposisi dilemahkan dengan unsur-unsur keamanan, yaitu para militer maupun orang-orang bersenjata. Hal itu dilakukan negara atau pemerintah dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan negara, yang itu salah satunya memakai kekerasan.

Kiamat Sudah Datang

Kekerasan dalam proses berdemokrasi sebut saja demo atau unjuk rasa adalah hal yang lumrah dilakukan oleh aparat. Namun, bagi Snyder hal itu menjadi tanda bahwa kiamat sudah datang. “Ketika orang-orang bersenjata yang selalu mengaku melawan sistem mulai mengenakan seragam dan berbaris membawa obor dan gambar seorang pemimpin, kiamat sudah dekat. Ketika para militer pro-pemerintah bercampur dengan polisi dan militer resmi, kiamat sudah datang.”

Sebagian besar pemerintah biasanya berusaha memonopoli kekerasan. Bila hanya pemerintah yang boleh menggunakan kekerasan, dan penggunaan itu dibatasi hukum, maka bentuk-bentuk politik yang kita anggap sudah sewajarnya pun menjadi dimungkinkan. Mustahil dalam melaksanakan pemilihan umum demokratis, menyidangkan kasus di pengadilan, merancang dan menegakkan hukum, atau mengelola segala urusan pemerintah lain ketika pihak-pihak selain negara juga punya akses ke kekerasan.

Karena alasan itulah orang-orang dan partai-partai yang ingin merusak demokrasi dan supremasi hukum menciptakan dan mendanai organisasi-oraganisasi pelaku kekerasan yang melibatkan diri dalam politik. Kelompok-kelompok seperti itu bisa berupa sayap para militer partai politik, pengawal pribadi seorang politikus—atau gerakan yang kelihatannya adalah inisiatif spontan warga, yang biasanya terbukti di organisasi oleh suatu partai atau pemimpinnya. (hlm. 22-23)

Media dan Kekuasaan

Kekerasan yang terjadi di masyarakat dewasa ini yang melibatkan pemerintah, bisa ditutupi oleh media yang boleh jadi media tersebut adalah “pesanan” penguasa. Dengan media, rasa sakit dan huru-hara yang sebenar-benarnya terjadi terselubung. Sehingga apa, yang nampak di layar kaca kita, tidak sepenuhnya terjadi di situ. Lalu, apakah memang media yang memberitakan kejadian kekerasaan itu telah di-setting oleh pemerintah yang memegang kendali penuh atas negeri ini?

Perntanyaan di atas, seringkali mencuat dari mulut ke mulut. Namun, satu hal yang paling penting dalam menilai suatu kejadian yang melibatkan pemerintah dan masyarakat, yaitu memeriksan kebenaran dan kesahihan sebuah berita. Karena pada zaman internet kita semua menjadi penerbit, maka kita memiliki tanggung jawab pribadi atas pemahaman kebenaran masyarakat.

Jika kita serius mencari fakta, maka masing-masing kita membuat revolusi kecil dalam cara kerja internet. Bila Anda mengecek kebenaran informasi untuk diri Anda sendiri, maka Anda tak akan mengirim berita palsu ke orang lain. Bila Anda memilih mengikuti para reporter yang Anda bisa percayai, maka Anda juga bisa menyampaikan apa yang telah mereka temukan kepada orang lain. Bila Anda hanya me-retweet hasil kerja orang yang telah mengikuti protokol jurnalistik, maka Anda lebih kecil kemungkinannya merendahkan kemampuan otak Anda dibanding berinteraksi dengan robot dan troll. (hlm. 55)

Singkirkan Layar, Mulai Membaca Buku

Maka, dewasa ini, yang mana kebenaran akan sebuah informasi adalah relatif. Snyder menuntut kita untuk menyingkirkan layar dua dimensi dan kemudian segeralah membaca buku.

Memandang layar barangkali tak bisa dihindari, tapi dunia dua dimensi itu tak banyak bermakna kecuali kalau kita bisa menggunakan perlengkapan mental yang kita kembangkan di tempat lain. Ketika kita mengulang kata-kata dan kalimat-kalimat yang muncul di media harian, kita menerima ketiadaan kerangka yang lebih besar. Anda memiliki kerangka kata itu, kita butuh lebih banyak konsep, dan agar punya lebih banyak konsep kita butuh membaca. Jadi singkirkan layar dari kamar Anda dan penuhi kamar Anda dengan buku. (hlm. 39-40)

Begitulah. Perihal nestapa demokrasi yang berangkat dari kekuasaan media dan kekerasan aparat berseragam terhadap masyarakat sipil, menjadi sebuah sungai yang tiada ujung. Semoga, di abad ke-21 ini, kita dapat “berdemokrasi” sebagaimana mestinya dan posisinya.[]

_______________

Data Buku:

Judul: Tentang Tirani (On Tyranny): Dua Puluh Pelajaran dari Abad Kedua Puluh | Penulis: Timothy Snyder | Alih Bahasa: Zia Anshor | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Tahun Terbit: 2020 | Jumlah Halaman: xiv+98 halaman | ISBN: 978-602-03-7973-9

 

[Editor: M. Naufal Waliyuddin]

Tags: demokrasifahrul anamOn Tyrannyresensi bukuTimothy Snyder
ShareTweetSendShare
Previous Post

Tamu

Next Post

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

Fahrul Anam

Fahrul Anam

Penulis kelahiran Ngawi yang kini berdomisili di Sukoharjo. Bergiat di pustaka swadaya Taman Pustaka, Mantingan, Ngawi (IG: @tmnpustaka). Dapat disapa lewat Instagram @fahrulanam346.

Artikel Terkait

Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
Resensi

Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

24 Agustus 2025

Dalam hidup ini, pastinya kita pernah mengalami situasi keterburu-buruan. Waktu seolah-olah mengejar kita. Tak ada waktu lagi untuk sekadar duduk...

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
Resensi

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

26 April 2025

 “Manungsa kuwi gampang lali, Le. Mula kowe kudu sregep nyatheti. Nyatheti opo wae kanggo pangeling-eling. Mbesuk yen simbah lan ibumu...

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas
Resensi

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas

28 Maret 2024

Deretan kasus perundungan akhir-akhir ini terus bermunculan. Belum lama ini ramai tajuk berita seputar kasus perundungan di Binus School Serpong,...

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard
Resensi

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022

Judulnya Educated. Buku memoar yang mengantongi lika-liku kehidupan sebuah keluarga ‘penjaga’ lembah indah, Buck’s Peak, Idaho Amerika Serikat. Tara Westover...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Konsep al-Kasb sebagai Obat Pandemi Covid-19

Konsep al-Kasb sebagai Obat Pandemi Covid-19

17 Desember 2020
Kebanyakan Fafifu

Kebanyakan Fafifu

3 Mei 2021
Buku Mengajak Bicara dengan Diri Sendiri

Buku Mengajak Bicara dengan Diri Sendiri

17 Desember 2021
Mencintaimu Bagi yang Mampu

Mencintaimu Bagi yang Mampu

16 Maret 2021
Buya Syakur Yasin: Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

Buya Syakur Yasin: Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

10 Februari 2021
Gambar Artikel Tut Wuri Golek Rai

Tut Wuri Golek Rai

25 November 2020
Makassar dalam Arus Niaga Internasional

Makassar dalam Arus Niaga Internasional

13 Maret 2022
Kalaulah Sebab Langit Tergelar Kembali

Kalaulah Sebab Langit Tergelar Kembali

16 April 2021
Membaca Pikiran Atheis Sam Harris: Manusia Bebas atau Terjajah Selera?

Membaca Pikiran Atheis Sam Harris: Manusia Bebas atau Terjajah Selera?

19 April 2022
Cyber-Religion: Webinar Menemukan Sanad Belajar Agama di Jagat Maya

Cyber-Religion: Webinar Menemukan Sanad Belajar Agama di Jagat Maya

27 Februari 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.