Sejak menuai banyak kecaman dan protes dari kaum religius di Amerika Serikat karena buku perdananya terbit berjudul The End of Faith pada tahun 2004, dua tahun kemudian Sam Harris membalasnya dengan menerbitkan buku bernuansa pledoi pribadi dalam bentuk surat: Letter to a Christian Nation. Tidak kapok akan polemik tersebut, kini Sam Harris menulis karya Free Will (2012) yang tidak kalah menantang.
Melalui buku kecil ini Sam Harris menyuguhkan pada kita semacam dekonstruksi pemahaman akan kehendak bebas dalam diri manusia yang selama ratusan atau bahkan ribuan tahun telah terlanjur diterima tanpa reserve yang signifikan. Pusparagam pertanyaan berlompatan muncul dan melukis tanda tanya besar di benak saya untuk lantas beranak pinak menjadi tanda tanya-tanda tanya kecil.
Seperti, benarkah manusia memiliki kehendak bebas? Apakah ada semacam keleluasaan yang sadar dalam diri manusia saat memutuskan, umpamanya, untuk menjadi pencuri atau orang saleh dalam hidupnya? Atau ketika seseorang pergi ke sebuah kafe dan di antara deretan menu, misal kopi atau jus apel, kenapa orang tersebut memilih kopi dan bukan jus? Kemudian jika ia “bebas” mengubah pilihannya menjadi sebaliknya, yaitu jus apel, kenapa pikirannya bertindak demikian?
Sejak kapan niat itu muncul dan kenapa? Semua misteri yang terwakili oleh pertanyaan tersebut oleh Sam Harris dielaborasi secara sederhana sekaligus kompleks dalam buku Free Will yang cukup tipis namun berbobot ini.
Menepis Ilusi untuk Pemahaman yang Lebih Komprehensif
Buku ini mengulas kajian seputar kehendak bebas yang disoroti dari teropong neurosains. Beserta temuan-temuan terbaru, Harris juga menghubungkannya ke kriminologi, moralitas, konsesi sosial dan politik di sepanjang peradaban manusia. Secara garis besar, argumen utama buku ini hendak menepis ilusi free will yang seolah-olah kita miliki, padahal tidak. Dengan bahasa kaum psikolog, perilaku manusia pada dasarnya didominasi oleh hasil ‘metabolisme alam bawah sadar (subconscious) dan tak sadar (unconscious)’.
Semisal ketika kita gatal, kenapa kita menggaruknya? Atau begitu kita haus, mengapa muncul dorongan dalam diri kita untuk segera minum? Anda mungkin akan berpikir bahwa anda punya kehendak bebas untuk duduk diam tanpa gerak di sebuah kursi taman, namun anda tidak bisa menahan dorongan untuk menggeser pantat, membenarkan posisi punggung, dan aneka gerak kecil lainnya.
Maka di manakah kehendak bebas dalam hal ini? Kesemua itu di luar kendali sadar kita. Pemaparan analitis Sam Harris dalam buku ini juga diperlengkap dengan bumbu analogi sederhana semacam tamsil-tamsil partikular di atas.
Kajian seputar kehendak bebas dalam buku ini juga menguak hubungan antara neurosains dengan hukum. Secara ilustratif, bisa terwakili pada contoh berikut: jika kita ketahui ada lelaki yang memperkosa wanita muda dan lantas membunuhnya secara keji, kita sebagai masyarakat dengan aneka institusi moral yang ada, akan mengecapnya sebagai psikopat dan layak dijatuhi hukuman berat. Namun begitu uji klinis, psikologis dan bahkan neurologis dilakukan, ternyata ada tumor kecil di otaknya, tepatnya di wilayah korteks prefrontal medial (pusat pengendalian emosi).
Mendadak seketika itu pula penghakiman kita bergeser. Berubah. Bahwa dia hanyalah korban biologis atas dirinya sendiri. Atau dalam bahasa yang lebih menarik, secara acak dia ketiban apes. Sejenis kesialan kosmik yang entah bagaimana dari sekian juta orang, kok dia yang kena tumor.
Apalagi saat diinterogasi pun, pelaku tidak sadar kenapa melakukan hal sekeji itu. Dari contoh ini dapat disikapi bahwa kita tidak benar-benar berkehendak bebas. Mungkin kita bisa beralih dari yang awalnya memikirkan kuliah, lantas bergeser menjadi memikirkan rancangan bisnis baru. Meski begitu, kita sama sekali buta akan kenapa kita menggeser pemikiran itu atau kenapa kita memiliki niat untuk memikirkan sesuatu tersebut.
Barangkali narasi yang jitu mengemas ilustrasi di atas bisa diwakili oleh kutipan filsuf Arthur Schopenhauer, “Der Mensch kann was er will; we kann aber nicht wollen was er will”. Yang jika mengacu pada terjemahan G. E. Murty dalam buku ini, kalimat itu bermakna: manusia dapat melakukan apa yang dia kehendaki, tetapi dia tidak bisa menghendaki apa yang ia kehendaki. (hlm. 71)
Manusia ‘Budak Selera’ (Genom dan Otak)
Dalam sebuah diskusi bertema Spiritualitas dan Neurosains Bersama Dr. Ryu Hasan di kanal Youtube (CakNurian Urban Sufism, 2020), ada kalimat menarik dari Dokdes—panggilan akrab Ryu Hasan: “di saat kita senang, itu senang dulu, baru alasannya muncul belakangan. Seperti saat kita melihat lukisan, itu kita senang dulu, baru mencari-cari, ooo, komposisinya itu begini begitu. Jadi, senang dulu, alasannya kita cari-cari.”
Bertumpu pada uraian di atas, kita menjadi tahu bahwa telah ada suatu default setting dalam pikiran setiap homo sapiens yang tidak disadarinya, dan berada di luar kendali, namun sudah terwariskan sejak lama secara evolusional. Selanggam dengan narasi itu, Sam Harris mengartikulasikan bahwa sejatinya kita bukanlah “pengarang atau penggagas bebas atas pikiran dan tindakan kita sebagaimana yang dipahami orang pada umumnya” (hlm.12). Telah lebih dulu ada anasir sifat, preferensi, dan kecenderungan behavioristik dalam diri manusia. Atas dasar itulah, saya juduli bagian ini dengan frasa: manusia budak selera.
Kita terjajah oleh selera—atau dalam bahasa yang lebih ilmiah: kita diperkuda oleh genom dan neuron dalam otak yang sama sekali bukan hasil request masing-masing individu. Preferensi muncul nyaris di banyak sektor. Selera memperalat kita dalam aneka bentuk, mulai dari selera makan minum, genre musik, corak lukisan, gaya berpakaian, selera bacaan, kecenderungan tema riset, kriteria lawan jenis idaman, sampai bahkan cara mengupil dan cebok yang baik dan benar. Merambah banyak hal, selera tanpa kita sadari ikut mendikte diri kita, sehingga di mana kehendak bebas manusia?
Kenapa saya menulis resensi ini? Karena saya ingin. Tapi kenapa saya ingin? Misteri dan biasanya kita akan mengerahkan kemampuan otak beserta neuron di dalamnya untuk mencari, menghubung-hubungkan, atau bahkan mengarang alasannya. Dari uraian dalam buku Harris ini, saya jadi membuka kembali ungkapan Richard Dawkins dalam The Selfish Gene (Oxford University Press, Cet.III, 2006) pada bab The Gene Machine (hlm.52): “the genes too control behaviour of their survival machines, not directly with their fingers on puppet strings, but indirectly like the computer programmer.”
Memang cara kerja otak manusia mirip komputer. Dan tentu saja pembahasan begini akan bersinggungan dengan paham determinisme dan indeterminisme. Dua corak madzhab pemikiran yang memandang manusia telah ‘ditakdirkan’ sejak awal jalan hidupnya sehingga tidak bisa mengelak, dan pandangan bahwa manusia masih bisa memutuskan apa yang ingin dilakoninya dalam hidup.
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, kita mengenal istilah aliran qadariyah dan jabbariyah. Hanya saja di buku ini Sam Harris mengambil posisi selaku ilmuwan neurosains, dan karenanya, ia mendeduksi sekaligus menginduksi sebuah narasi berdasarkan fakta-fakta saintifik, baik riset laboratorium melalui CT-Scan atau fMRI (functional Magnetic Resonance Image) dan EEG (electroencephalography), maupun temuan neurososiologis dan neuropolitik yang terbaru.
Bidikan yang dituju olehnya adalah sebuah pemahaman yang lebih jujur, komprehensif, dan akurat mengenai manusia. Sebab dari hal-ihwal yang begitulah peradaban manusia akan relatif lebih stabil, maju, dan tidak meleset dalam mengambil keputusan—baik dalam ranah hukum pidana, moralitas, maupun politik. Maka sebelum anda keliru mengambil keputusan, misalnya, untuk melamar gadis mana dan menikah di kota mana, alangkah lebih berfaedah jika anda membaca buku ini.[]
_____________
Data Buku:
Judul: Free Will | Penulis: Sam Harris | Penerjemah: G. E. Murty | Penerbit: CV. Global Indo Kreatif | Kota: Manado| Tahun: Januari 2019 | Tebal: 78 halaman (14 x 20 cm) | ISBN: 978-602-53696-0-5
NB: Edisi asli terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2012.