Kontradiksi Interminus
dua lembar daun mangga tua
telah lepas dari tangkainya
namun tak pernah sampai ke tanah
: sebut saja itu rindumu yang tak pernah mencapai aku
“batu mengasah pisau,
hati menajamkan hati”
meski hari-hari kehilangan humus
musim-musim mengerang gersang
pohon-pohon kesabaran tumbang
dua lembar daun mangga tua
yang telah lepas dari tangkainya
namun tak pernah sampai ke tanah itu tahu
bahwa keberterimaan atas keberadaan ialah keberuntungan
Pada Suatu Kangen
pada suatu kangen
aku pergi ke dalam diri
memeriksa kembali berkas-berkas rindu
yang sempat kau tandai
pada suatu kangen
di rongga dadaku dipenuhi orkestrasi
serangga nokturnal di ambang dini hari
bulan abu-abu di langit kampungku
bintang terang meriap langit kotamu
dan hujan turun sesekali
tempiasnya sama-sama kita kenali
tapi jarak tetaplah jarak, yang selalu galak
bagi rasa yang mendesak
dan waktu hanya bisa bergerak maju
mengacuhkan rindu yang gagal mencapai cumbu
Titik Dua Bintang
cantikmu tak menua
meski rekah bunga azalea
bakal gugur juga ditikam cuaca
dan waktu menetaskan tahun
dan tahun memperanakkan bulan
dan hari-hari menetaskan keraguan
dan jam-jam hanya malam
dan menit-menit hanya merumrum sakit
tapi di kalenderku tak pernah ada
tanggal merah untuk mengingatmu
Rutinitas Rita
alarm jam 6 pagi
setumpuk berkas kerja menggugahnya
ia masih ingin tidur menyambung mimpi semalam
: sebuah tamasya—ret ret di hutan pinus berkabut
suara sungai di jauhan dan hujan dan suara burung murai.
ia membuat perapian. membakar ikan sambil menghirup harum kopi robusta
tapi pagi selalu turun tergesa
seperti bunyi terompet yang memekakkan telinga
rita tergeragap. ia berjalan langsam ke meja makan
berharap menemu sekerat roti atau gurih telur mata sapi
tapi hanya secangkir sepi ia tuang lagi ke dalam diri
di hadapan meja rias
ia tak tahu pasti untuk apa
bedak di pipinya dan lipstik di bibirnya
yang ia tahu hanya jam kerja bakal segera meraihnya
hingga alarm jam 6 pagi membangunkannya lagi