Perdu hias yang menjalari peri persinggahanku
Tumbuh ranum menjadi bunga latar di bibir bahar
Berlayar mengarungi selat menyelisik silang siur perkotaan
Tunggang-langgang dari getirnya hilir kasta perkampungan
“Tak sudi ku jadi babu!” Tukasnya padaku tandas
Karena hidup di bawah tekanan seratus ribu
Laksana seonggok pendulang batu, berat dan terinjak sewaktu-waktu
Kiranya jua, termarginalkan dari ulayah sang adiwangsa
Aus diseret gelombang arus strata cendana
Berjibaku di malam yang paling buta
Adalah solusi durjana tawaran Ibu kota
Mengumbar suara guna membius tamu adigung yang kalap belaian
Demi carik rupiah bercoreng paras pahlawan
Dia bunga mawar yang tumbuh liar
Mekar di bawah siraman lampu dan gaungnya lagu
Mengajak sinuhun berdendang girang
Tatkala upah sawer kian tak terbilang
Raganya limbung, terhuyung-huyung irama musik tagar
Alkohol sebagai pemutus urat malu Kala goyang senggol kian beradu
Merayu paduka raja mendaki bukit nafsu Agar tarikan nafas terus memburu
Sukmanya tungkus lumus dalam lembah hitam kesangsian
“Aku ingin layu dari tangkai duriku.” Sesalnya padaku
Berjihad lepas landai meninggalkan puncak nista praja buana
Bersimpuh terpekur nan tersujud sungkur Tersedu-sedu meratapi sumpah serapah di hulu
Hingga aku mafhum, aku hanyalah anak Tuhan yang rantau