Hisap Aku hingga Putih
bulan merabun
serbuk langit bebal
pohon dan batu tak bergaris hitam
coreng malam yang sumuk
punggung merindukan dekapan hujan
cuma kilatan dan gemuruh di selatan
aduh, kasih
hisap gelap yang pekat ini
besok atau lusa
dengan dua matahari di pangkuanmu itu
hingga putih
di pembaringan
di balik pintu tanah
tanpa jendela, tanpa kunci
yang hangat dan erat
Almanak Tua
di malam yang bernama-nama
kau mendongak
lempengan cahaya langit yang kilat-kilat
kau hitung-coret buntung dan untung almanak tua
gugusan benda langit
gerak edar ekor naga
tujuh rasi bintang timur laut
bapak tani menabur benih di ladang
ibu tani membuntalnya jadi bekal di perjalananmu
kau susuri hembusan arah mata angin
terbuka lembaran kitab pedoman diri
Di Punduk Bulan
di punduk bulan yang cekung
semalaman kita bercinta
di kepungan hangat tubuhmu yang tak berlebihan
lekat tanpa celah
cekung bulan yang menawan
juga wewangian rempah di tubuhmu mengaduk dalam cawan
aku teguk kau
kau teguk aku
termandam diri di langit paling atas
malayang-layang hingga diri pun hilang
Kapak dan Mawar
kau dijaga semut berpayung besi
dari toa pagi kabarkan maut
malaikat dengan kapak dan mawar
tersenyum di pojok-pojok jalan
siap membelah dada
dan selipkan harum di antaranya
getar jiwamu di penghabisan malam
berdesakan di tengadah tangan
menjorok ke langit
menggelepar harum serbuk-serbuk cintamu
kau menunggu kapak dan mawar
di waktu rahasia
Terjerat
aku terperangkap di kolong langit
terjerat rantai-rantai kitab asal mula dan akhir
di tengah kabut pekat Kurukshetra dan bimbang Arjuna
Kresna bersabda; kau kesatria
bertempurlah
di garis-garis penghabisan
berserak kabung dan sukacita
kulilit erat rantai-rantai di tubuhku
dan sepi
2025