Cinta Melekat pada Ubun Dada yang Membelah
Jangan mengira aku sanggup lupa
tindihan sujudmu di pundakku telah menyelaraskan
rindu yang tercacah dan harus kubayar mahal retak
dari sedap ludah yang keluar
cenderung berlabuh pada sebidang cinta
melekat pada ubun-ubun dadamu yang membelah
damai kutumpangi sukma tanpa perlu musyawarah
dugaan tubuhmu adalah jejal doa yang kusempuh
dari bedug rowatib yang sengaja dipancang tiap sudut
di sana kusangkalkan keluh dari aroma nadimu
harum kening makin mengundang selera jantungku
berdesing di luar batas ampun
Senyum yang kerap kau pajang
setiap mengawali musim memberi kelahiran nasib
yang tak bisa disandungkan. seperti katamu asmaraloka
tak hanya larut dalam alunan dansa, sekerat rasa yang dimuntahkan
bisa jadi limbah cinta paling hara
menjahit kisah yang kita bangun, tiba-tiba aku teringat adam-hawa
yang dahulu sempat tinggal di kebun ini, angslup dalam gendang
hingga mawar-melati terpenggal kemolekan duri
menoleh ke samping, beragam persoalan mendorong kita
merawat air mata, suara parau ibunda memanggil kita tak punya
pelabuhan di mana akhirnya kapal-kapal berlayar dan kembali ke tanah lapang
begitu sukar segala yang dirasakan tubuh harus menanam resah
sementara keyakinan bermukim di benakmu sudah tak terejawantahkan
menengok ke belakang, sepanjang jalan tetesan ngilu meremasi
pudar pelangi, kita saling merangkul dalam keraguan yang sama
–apakah ini musim yang menelantarkan adam hawa
hingga anaknya saling membunuh demi satu keadilan;
Tivani, begitu banyak prosa yang kita tinggalkan
tanpa terasa tangan kita menjalar dari waktu ke waktu
tiba-tiba aku sadar mawar-melati yang terkapar di kebun itu
bukan lagi atas namamu, tapi derita adam-hawa yang sengaja di putar tuhan
untuk edisi tahun ini.
–ijinkan kunikmati tragedi suci sembari mendesain istanamu dari daun khuldi yang gugur dari azali!
Madura, 7 Oktober 2021
Mimpi Perempuan Belantara
Bukan dirimu saja yang palang
eppa` embu` yang peduli tata krama
menderma dari buai air susu dan kakanan ringan
saban waktu tak kunjung terima disedahkan
ia memuja lewat segudang mimpi
berharap padamu; aku perempuan belantara
membawa mimpi anak ke nusantara
Madura, 4 Oktober 2021
Sangkal
Pada mulanya hanya ilusi
bermain romansa semacam mantan toddhu’
di depan langgar Ghâjâm, sebuah atlas pertemuan yang diarak
sekuat rombongan dipermak payung dan dirempal uang kertas
penanda kita akan diagungkan tuhan dan di saksikan
van der plaas yang pilar-pilarnya menyinggung abad XVI
waktu tak memberikan pilihan
jamuan yang disepakati sigap memaksaku
memberikan kalimat belit; gemetar dalam semu takdir
mencoba memahami beban yang datang, tatapmu yang teramat gigih
menolak mokhâ blâbâr yang kupapat
ada kelam ranggas di tengah jalan
menuju rumahmu;
—apa yang bisa kukatakan pada ibu
kalau tubuhmu adalah sangkal dari segala jaman
hadir sekedar menemui khidir
—bagaimana dengan bapa
sekelumit bujuk tak mampu derukan riuhmu
berselonjor dalam tegalan nikahan
Madura, 23 oktober 2021
Catatan:
mantan toddhu’: langgar ghâjâm: semacam surau yang beratapkan jerami, digunakan sebagai tempat peribadatan, yang kemudian sekarang masjid agung assyuhada` yang berlokasi di pamekasan
van der plaas : seorang penguasa pemerintah belanda yang menyetujui perluasan terhadap masjid assyuhada yang berlokasi di pamekasan-madura
mokhâ blâbâr : merupakan salah satu ritual dalam perkawinan dimana pihak pria harus menjawab pertanyaan dari pihak wanita dengan bahasa madura kuno dan didampingi kerabat yang dituakan. Pengantin pria diizinkan bertemu mempelai wanita setelah lolos melalui 7 tirai, tetapi dekadi ini mulai memudar.