Hujan turun perlahan ketika Sosro mengamati kepiawaian gadis itu menggesek biola elektriknya. Begitu mulus, ritmis dan menghanyutkan. Ada daya tarik tersendiri dari setiap alunan dawai biola itu. Ia tunjukkan kemahirannya saban sore di hari Sabtu. Sosro segera ke luar kantor dan diam-diam mengintai si pemusik jelita. Jikalau beruntung, Sosro juga bisa menguping dengan jelas apa yang dibicarakan perempuan itu. Sosro betah berlama-lama menyimaknya, sekalipun membicarakan topik-topik yang jauh dari jangkauan. Sosok menawan itu bernama Caitlin.
***
Di sebuah toko musik tak jauh dari studio milik Caitlin, Sosro sibuk berpikir di seberang jalan. Ia habiskan waktu berjam-jam, menyusun rencana ini dan itu tapi gagal dilaksanakan. Sosro rela bolos kerja, demi mengintai toko musik, kalau-kalau sosok rupawan itu datang. Hasilnya nihil. Padahal niat semula ia ingin membeli biola, agar bisa ikut kursus yang dibimbing langsung oleh Caitlin. Sayang, Sosro tak punya nyali.
Hingga rasa lapar akhirnya tak tertahankan, Sosro pergi tanpa masuk ke toko musik itu. Sepanjang malam ia tak tidur menyesali diri. Kenapa tadi ia tak langsung membeli biola? Jantan sedikitlah jadi pria, rutuknya dalam hati.
***
Tepat pukul sepuluh, Sosro kembali bertandang ke toko musik dan langsung membeli biola sewarna dengan sang pujaan hati. Sosro rela merogoh kocek yang lumayan menguras kantong hanya untuk entah apa. Ia tidak yakin, apakah beberapa bulan mendatang biola tersebut siap dimainkan atau hanya menjadi pajangan. Nyatanya, belajar musik di usia matang tak semudah dibayangkan, namun semua ini demi bisa berdekatan dengan Caitlin.
Rasa penasaran Sosro padanya tak dapat lagi dibendung. Kepribadiannya begitu anggun menawan. Melalui cuitan rekan-rekannya, Caitlin pernah menjadi peragawati pada sebuah lukisan yang dilukis pemuda asal Indonesia yang berkiprah di Jerman. Sang pelukis memberi judul lukisan itu ‘Sehangat Senyuman Mentari’.
Konon, kabarnya lukisan itu menjadi sorotan beberapa kolektor. Tidak sedikit yang menanyakan nomor telponnya. Apalagi, sang pelukis membeberkan kepada pengunjung galeri seni, bahwasanya Caitlin belum memiliki pasangan dan diimingi-imingi kata ‘masih’ perawan. Tentunya menjadi incaran lelaki berhidung belang dan pemburu wanita di luar sana. Caitlin menolak mereka secara cerdik dan cerdas.
Pasangan tidak selamanya membahagiakan, begitu tanggapan Caitlin kepada setiap lelaki yang mengajaknya berkencan. Caitlin mengabaikan semuanya, lantas hanya menggapai cita-citanya semata. Caitlin sempat tinggal puluhan tahun di benua hitam. Menomorduakan Eropa yang lebih menjanjikan kariernya sebagai profesional violinis. Ada hal yang membuatnya vakum sejenak dari aktivitas sebagai pemusik. Setelah Sosro mencari tahu seluk beluk, rupanya Caitlin didapuk menjadi relawan, pada salah satu yayasan tunarungu di Johannesburg. Bagi Caitlin, ia begitu diberkahi Tuhan. Sudah saatnya, membagi keberkahan juga kepada orang yang kurang beruntung.
Begitu banyak pria dari bau kencur, sampai tua-tua keladi berusaha mendekat dan menaklukkan hatinya. Sosro yang baru merintis karier, bukan apa-apa bila dibandingkan dengan mereka. Kebanyakan dari mereka biasanya pengusaha tajir, orang yang bekerja di industri kreatif dan atau seniman tenar. Oke, kemungkinan aku hanya mampu sebatas memuji tanpa bisa memiliki, batinnya.
Terbesit keinginan menyerah dan memendam cinta tak berujung selamanya. Namun, bayang-bayang Caitlin tak bersedia membawa diri jauh dari kehidupan Sosro. Berdasarkan silogisme berpikir, Sosro menganggap Caitlin cinta matinya.
Sosro bahkan hapal kapan dan jam berapa Caitlin pulang-pergi ke studio. Merelakan berjam-jam menanti di sisi tembok studio Caitlin, demi melihat sang pujaan melenggang pulang. Sosro menikmati kembali dawai biola yang samar-samar terdengar. Ia kerap bertanya-tanya, sesungguhnya, apa musik yang sering Caitlin dengar setiap hari. Termasuk buku-buku yang ia bawa menuju studio musik.
Sosro pernah mendapati gadis itu menenteng buku Guns, Germs and Steel karya Jared Diamond. Berangkat dari sana, Sosro menyimpulkan seberapa inteleknya Caitlin.
Banyak orang sependapat, Caitlin sungguh memiliki kepribadian anggun. Tentunya kami satu frekuensi. Aku pun tak peduli jikalau menjadi sinting. Ya begitulah aku dan karakterku, imbuh Sosro dalam angan-angan.
Apalagi, karakter seseorang bisa dipindai dari musik apa yang ia dengar. Juga dari film jenis apa yang ditonton. Begitupula dari buku bacaan, bisa diketahui jenis buku apa yang dibaca. Sastrawan senior pernah mengatakan, sejatinya para penulis jauh lebih ahli memahami karakter, ketimbang psikolog dan psikiater. Berdasarkan penelitian kecil-kecilan, perempuan penyuka warna pastel itu gemar membaca buku sastra kanon. Ini terbukti dari postingannya di sosial media, juga cuitan rekan-rekan klub motor.
Adapun hal yang membuat Sosro takjub bukan main. Dua belas tahun lalu, Caitlin sempat menerbitkan buku cerita anak, dipasarkan secara terbatas. Maka, rasa kekaguman padanya semakin menjadi. Caitlin satu-satunya alasan Sosro mengenal musik. Sosro membayangkan, bagaimana jadinya bila hidup tanpa alunan musik. Barangkali, manusia bakal kehilangan kepekaan atau rasa empati. Orang bilang, kebaikan hati seseorang terlahir dari kepekaan. Berbekal pengetahuan ini, Sosro serius belajar. Setidaknya menjadi pribadi yang lebih peka.
***
Seorang teman menyarankan Sosro berkonsultasi ke psikolog. Kegilaannya harus segera disembuhkan, Sosro jengkel setengah mati pada teman sepermainan yang ia kenal sedari kecil itu. Si kawan berubah menjadi sosok kekanak-kanakan. Tak memanusiakan manusia seperti omongannya dulu sewaktu kuliah. Dengan segala tudingan yang si kawan lontarkan, Sosro enggan bertatap muka kepada semua kawan lamanya. Siapa pun itu. Di mata Sosro, semua sama saja, gemar menyakiti perasaan orang lain.
Sosro berusaha membesarkan hatinya sendiri. Setidaknya, kalimat itu membantu untuk tidak hidup dalam keputusasaan. Ya. Seperti yang dilakukan salah seorang sahabatnya terdahulu. Sosro mengingat kembali kehidupan lampaunya di masa-masa galau dan menyimpulkan, karakter seseorang terbentuk dari masalah juga masa lalu.
***
Caitlin kembali menggesek biola elektriknya di sebuah festival. Sosro begitu bersemangat mengetahui pertunjukan seni Caitlin dari sebuah poster di alun-alun kota. Sosro absen pertemuan rutin Klub Motor Gede yang diadakan setiap bulan. Bahkan, ia sudah lama tak menyentuh motor Harley Davidson warisan ayahnya. Andaikata boleh dijual, Sosro ingin menjual Harley tersebut dengan harga miring. Berangkat dari mandat sang ayah tak boleh dijual, akhirnya si Moge kini hanya terpajang di ruang tamu dekat pintu.
Setali tiga uang, Sosro mangkir dari jadwal rutin Temu Teman bulan depan. Padahal, komunitas itu dulunya membuat Sosro merasa bahagia. Sosro dikenal suka menjelajahi pulau, pegunungan dan berarung jeram. Semenjak jatuh cinta pada Caitlin, ia enggan lagi bepergian. Tidak lagi ingin berbuat sesuatu yang hanya hasrat sesaat. Sudah begitu lama, ia tak merasakan hal-hal semacam ini. Seingatnya ia tak pernah merasa sebegitu bahagianya. Seingatnya dahulu ketika remaja, ia begitu pemurung, jarang tersenyum dan gemar berpikir tak senonoh.
Sabtu malam itu, Caitlin menyeringai senyum yang membikin dada Sosro serasa sesak. Bahkan dihantui perasaan cemas dan takut akan sesuatu hal yang mendadak muncul. Dari alam bawah sadar, Sosro menyelami kebisingan dalam keramaian festival seni, dan dawai biola itulah hal terakhir yang didengar. Dengan segala tuduhan yang membenarkan bahwa gadis itu merasuk ke dalam diri, lantas menstigmakan sebagai gejala gangguan kepribadian menahun.
2020