Alena, di dunia ini, ada hal-hal yang bisa dilupakan dan ada pula yang tidak. Bagi sebagian orang, mungkin mudah untuk melupakan dan bagi sebagian yang lain mungkin saja tidak. Dalam berbagai hal, aku termasuk golongan yang pertama. Namun, perihal dirimu dan segala hal yang berkaitan denganmu, Alena, aku ragu. Apakah aku bisa melupakanmu?
Sudah tiga tahun berlalu sejak kau menghilang tanpa jejak. Kau pergi tanpa seucap kata dan setatap mata. Di dunia yang penuh informasi ini, di mana mata dan telinga ada di mana-mana, di manakah kau bersembunyi, Alena? Tak secuil kabar pun kudapat tentangmu. Apakah kau telah menjadi hantu? Karena sejak kepergianmu, bayanganmu selalu menguntitku.
Alena, Alena. Alenaku tersayang.
Bulan lalu aku berniat mengunjungimu. Menyambangi kenangan yang tak pernah terjadi namun ada dalam pikiranku. Aku ingin melihat senja di Carita. Bersamamu, lebih tepatnya bersama bayanganmu itu. Di sanalah ingin kukubur dirimu, lebih tepatnya kenangan tentangmu. Orang-orang dulu berkata ketika ada salah satu di antara kita yang kerasukan, “Buanglah setan itu ke laut!” Maka aku ingin membuang ruhmu ke laut. Agar aku damai dan terlepas dari prahara rasa yang membelenggu dari masa lalu.
Berhari-hari kuhitung, demi menanti datangnya hari itu. Hari di mana dalam imajinasi kulihat diriku sendiri duduk menatap nanar langit jingga bersemu kemerahan di cakrawala barat. Mentari senja di sana layaknya bola api, bulat merah berapi-api. Angin mendesau membawa hawa malam yang semakin dingin. Burung-burung pelikan menari-nari sejengkal di atas permukaan laut selat Sunda. Dan suara deburan ombak yang lidahnya menjilati bibir pantai.
Indah sekali, Alena. Bagiku yang selalu mengurung diri di kamar, atau bagi orang-orang kota yang selalu mengurung diri di bilik kantornya, bukankah panorama senja yang hadir di hadapanku adalah suatu keindahan yang sangat memesona?
Namun, kota ini tak mengijinkanku menziarahimu, Alena. Apalah dayaku sebagai karyawan bawahan. Tumpukan dokumen di meja kerja harus kucumbu satu persatu. Dari pagi hingga petang. Kalau tidak selesai, mau tak mau harus kubawa pulang dan kulanjutkan di kamar sambil menikmati akhir pekan. Itulah rutinitasku semenjak kepergianmu. Kepergian yang memutarbalikkan duniaku.
Alena, Alena. Alenaku yang cantik, bermata sipit, berkulit kuning langsat.
Sebenarnya aku suntuk dengan rutinitasku. Orang-orang mungkin merasakan hal yang sama. Manusia kota yang jiwanya kering kerontang akibat teriknya kehidupan di metropolitan. Perasaan yang tak terasah yang kemudian menjadi penyebab hilangnya kepekaan atas keindahan. Kecuali mereka yang memelihara keindahan itu sendiri di bilik otak mereka. Seperti aku yang selalu mengenang senyum menawan yang tergurat pada semesta wajahmu. Atau seperti aku yang selalu sayup mendengar tawamu yang mengudara, padahal tidak ada siapa-siapa.
“Kau gila, Sam,” kata Darmawan, teman kerjaku suatu waktu ketika kuutarakan bayangan keindahanmu padanya.
“Aku masih normal, Wan,” ujarku meyakinkannya.
“Kau gila, Sam. Cinta telah meracunimu. Kau butuh berobat agar waras.”
“Aku masih waras, Wan.”
“Oke, oke. Terserah kau saja, ya. Tapi, kalau kau mau cepat naik jabatan, kusarankan, lupakan wanita itu!”
Darmawan berlalu meninggalkanku yang sedang termangu. Saat itu, bayanganmu berkecamuk dalam pikiranku. Bayanganmu mencoba menarik beberapa simpul saraf, mencomot beberapa memori dari situs-situs masa lalu yang tersempil di selaput otak, dan menayangkannya padaku.
Tiba-tiba aku mendengar alunan merdu gesekan biola. Gesekan yang menimbulkan nada-nada menukik indah nan menawan itu dimainkan oleh seorang lelaki di bawah tangga stasiun Palmerah. Permainan biola lelaki bertopi ala penyair Sapardi Joko Damono itu sungguh mengesankan. Benar-benar menarik perhatian di tengah keramaian. Namun, orang-orang kota itu terlalu sibuk hingga abai, atau sengaja mengabaikan. Mereka berlalu-lalang tanpa sedikitpun melirik dan menikmati keindahan yang disajikan.
Lantas aku melihat segerombolan pemuda memainkan angklung juga beberapa alat musik bambu lainnya di trotoar samping lampu merah. Suara lengkingan biola sayup-sayup diganti dengan suara tetabuhan yang serempak dan kompak. Aku mencoba mengingat-ingat. Lampu merah itu ada di dekat alun-alun kota Bangkalan, kota kelahiranku. Banyak pengendara motor dan kendaraan lainnya yang melintas, namun sedikit sekali yang peduli pada pentas keindahan jalanan itu. Indera mereka awas, sayang hati tak acuh.
Lalu, silih berganti aku melihat atraksi pecut di lampu merah Pemda Bogor, atraksi tarian kuda lumping di lampu merah salah satu kota di Jawa Tengah, suara parau dan sengau para pengamen bis kota Surabaya, hingga permainan kecapi di tengah kota ini. Semuanya berkelebat cepat tapi lambat, atau lambat tapi cepat, seakan-akan kejadian itu terulang kembali nyata di depan mata.
“Bukankah itu semua adalah keindahan?” Bisikmu padaku dalam khayal.
“Tapi mengapa orang-orang banyak mengabaikannya?” Aku balik bertanya.
“Orang-orang kota memang begitu, Sam. Mereka kerja seperti robot. Kehidupan mereka seperti kehidupan para zombie. Nah, kau tahu zombie, bukan?”
Aku mengangguk. Kau tersenyum. Maksudku, bayanganmu tersenyum. Lalu aku mendengar tawa renyahmu pecah. Menggema ke lorong-lorong jiwa. Mengisi ruang-ruang kosong, bilik-bilik yang usang. Padahal, saat itu tak ada siapa-siapa. Apakah aku benar-benar gila? Apakah gilaku sudah setaraf gilanya Majnun pada Layla?
Alena, Alena. Alenaku yang tak jemu kupandang.
Aku berusaha berdamai dengan bayanganmu. Bayang-bayang yang seringkali menyusup dalam otakku, mengkaburkan pandangan dunia nyataku. Bayang-bayang yang menciptakan dunia khayal yang samar dan remang. Bayang-bayang yang tak ayal membuatku kalang-kabut, hingga membuat segala pandanganku berkabut.
Berkali-kali kucoba melupakanmu. Tapi semua yang ada di kota ini tak memberi sedikit pun kesempatan padaku. Apakah itu berarti tak ada keindahan yang lebih indah selain dirimu? Atau memang kota ini tak pernah sekalipun memberi keindahan?
Aku tak tahu, Alena. Katanya, pemerintah telah berusaha membenahi dan memperindah kota. Kau tahu, warung-warung pinggir jalan tempat kita makan dulu sudah lama digusur. Kini bekas warung-warung itu disulap menjadi trotoar dengan sedikit taman kecil dan bangku panjang yang kadang dijadikan tempat orang berpacaran. Itukah keindahan, Alena? Atau kenangan kita makan bakso, lalapan lele, dan es bubur kacang hijau yang lebih indah? Atau senyuman manismu dengan bibir merah yang merekah basah?
Jalanan kumuh yang dulu kita lalui, Alena, kini menjelma tol-tol yang membentang lebar dan panjang. Tak ada lagi tukang es dawet di sana, tak ada lagi cimol, batagor, atau makanan-makanan pinggiran lainnya. Jika kita lewat jalan tol itu nanti, kita harus makan di tempat yang berkelas, yang mungkin akan menguras kantong kita. Tapi, aku sengaja tak pernah lewat jalan tol itu lagi sebelum berdamai dengan bayanganmu..
Masalahnya, ke mana pun aku pergi dan di mana pun aku berada, pikiranku tak bisa lepas darimu, Alena. Kota ini boleh saja berubah. Pemerintah bisa saja melakukan apa saja. Namun kenangan kita tak pernah mau berpisah dari ruang dan waktu.
Tapi aku bisa apa, Alena? Di sinilah tempatku menyambung kehidupan. Segala yang kubutuhkan ada di sini kecuali keindahan. Hingga aku menemukan suatu keindahan baru yang mampu menandingi keindahanmu. Itulah senja. Senja yang menyapaku dengan cahaya keemasannya. Cahaya yang kala itu menembus kaca lantai 35 tempatku bekerja. Cahaya jingga yang menerpa keningku dan membuatku terpesona. Itulah cahaya kehidupan yang membuat batinku berbinar-binar.
Semenjak itu, pada akhirnya, aku lebih suntuk memikirkanmu, Alena. Aku suntuk. Kau candu. Aku pecandumu. Aku sakau. Dan kau tak pernah peduli. Kau tuli. Kau telah mati. Sama seperti sikap kota ini yang selalu mengingatkanku padamu. Candu dan tuli. Kota mati. Satu-satunya obat adalah senja itu. Dan kudengar, senja terindah adalah senja di tepi pantai. Dan kudengar, pantai terindah di sini adalah pantai Carita. Maka, sejak itu aku ingin melihat senja di pantai itu.
O, Alena, Alena. Alenaku yang menghilang tanpa kabar!
Setelah sebulan berlalu dan berhari-hari kunanti kedatangan hari itu, maka lihatlah aku yang sedang berlari-lari sambil sesekali menari dengan wajah berseri-seri. Orang-orang kantor memandang jijik dan sebagian menatapku sinis.
“Orang gila baru,” bisik mereka.
“Ia stress!” seru yang lain.
“Cari sensasi!”
“Kurang ngopi!”
“Kurang kerjaan!”
“Hah?” Orang-orang berpaling. “Ia kelebihan kerjaan kali, dan kurang ngopi, makanya stress!”
Aku tak peduli. Persetan apa kata orang. Kutinggalkan tumpukan dokumen di meja kerja. Kubiarkan komputer kantor menyala. Aku segera turun ke lobi. Lalu pergi mengambil motor butut di seberang jalan yang kutitipkan pada seorang penjaga kios pulsa. Aku pulang meski jam masih menunjukkan pukul 11.20 WIB. Tak lama singgah di kontrakan, setelah itu, aku langsung bertolak ke Carita.
Alena, Alena. O Alenaku yang tinggal kenangan!
Lihatlah, Alena. Sore ini aku sedang duduk menatap binar langit jingga bersemu kemerahan di cakrawala barat. Mentari senja layaknya bola api, bulat merah berapi-api. Angin mendesau membawa hawa malam yang semakin dingin. Burung-burung pelikan menari-nari sejengkal di atas permukaan laut selat Sunda. Dan suara deburan ombak yang lidahnya menjilati bibir pantai membuat jiwaku terbuai ke alam damai.
Inilah senja Carita, Alena. Tanpa bayanganmu. Tanpa keindahan semu.
Ciputat, 2019