Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum terjawab sekarang. Namun, setidaknya ada kenangan yang masih tertinggal di sana. Yang terserap di akar-akar pohon durian, manggis, dan duku. Yang mengambang di udara bersama cericit prenjak di dahan-dahan. Yang melintang di atas jembatan Palpitu di atas aliran ingatan dari pucuk pegunungan menuju lembah-lembah. Sebuah ingatan lampau bahwa kau dan Pran, serta tiga teman yang lain, pernah berenang mengeja dinginnya air di bawah jembatan di belakang rumahmu. Hanya berjarak sepuluh langkah kaki.
“Kapan pulang Rin?”
Pertanyaan itu mengambang di awang-awang, di sela gemericik air di bawah jembatan dengan pagar bercat hitam kuning belang-belang serupa ular weling.
“Pertanyaanmu selalu sama Pran. Delapan tahun lalu. Bahkan saat kau masih kurus dan aku lihat dada dan perutmu masih serupa papan pencucian. Rata. Sekarang agak sedikit maju. Apa istrimu rajin memompa tubuhmu atau eh… maaf aku bercanda Pran … ha-ha-ha ….”
Kaulihat Pran nyengir. Ia masih memandangmu dengan mata membulat bening. Di belakang tubuh Rin, ada cahaya redup kekuningan di kejauhan. Dari balik bukit-bukit yang jauh di sana, barangkali matahari ingin mengintip dan menguping percakapan kalian.
“Istrimu tak marah?”
“Ia sudah tenang bersama anak keduaku di surga.”
“Ya Tuhan! Maaf, aku bahkan sampai tak tahu keadaan kampung ini. Kapan? Aku turut berdukacita untukmu. Sekali lagi aku minta maaf tak mendengar berita ini. Anakmu yang pertama umur berapa? Kulihat istrimu baik dan sehat-sehat saja kala itu.”
“Istriku pendarahan saat hendak bersalin. Dua tahun lalu. Anakku pertama kelas 6 SD.”
“Kau tak menikah lagi?”
Kali ini wajah Pran kaulihat begitu datar. Seolah sebuah pertanyaan itu tak pernah butuh jawaban. Kedua tangannya masih menggenggam besi pagar jembatan. Kalian masih saja berdiri di situ, serupa dua menara di antara latar belakang dahan dan pepohonan rimbun di tepi sungai yang hijau mencolok. Melihat air bening mengalir di bawah, menghantam bebatuan, menghanyutkan dedaunan kering, seolah air itu pula yang ingin Pran gunakan untuk menghanyutkan segala kenangan di kepalanya. Membawanya menuju muara, menuju samudra, menuju entah, agar hilang segala gundah.
Deru motor berbunyi. Pran menoleh, melempar senyum. Seseorang melewati mereka di belakang menuju arah naik. Membawa ikatan ramban, daun-daun segar dari atas pegunungan untuk pakan kambing. Pran menoleh lagi, melihatmu yang dengan raut wajah yang masih sama dengan delapan tahun lalu sebelum kau pergi meninggalkan kampung ini. Wajah yang seolah menolak tua, dengan kulit putih bersih rambut hitam legam dan tahi lalat di dagu.
“Setelah ini, kita tak akan pernah tahu Tuhan menuliskan takdir bukan? Jatuh cinta lagi kadang begitu mudah serupa di film-film. Begitu asyik, ya. Namun, aku tidak. Kau sendiri kapan mau mengenalkan pacarmu. Kudengar di Malaysia banyak warga India, Cina dan Bangla, kau tak ingin punya pacar brewokan seperti yang kauidamkan dulu. Daguku polos bersih seperti kaki meja bukan?”
Kali ini Rin yang nyengir. Menahan agar tidak terbahak, menghormati hati Pran yang sepenuhnya belum bebas dari kepedihan masa silam. Lalu Rin bercerita betapa bosannya makan nasi lemak di sana. Ia ceritakan jika puluhan tahun lalu, kita bisa ekspor guru ke sana. Sekarang, kita kalah saing, kita hanya bisa mengirim pekerja buruh ke sana.
Sulitnya lapangan kerja membuat anak-anak yang lulus sekolah biasanya enggan melamar kerja di negara sendiri. Rumitnya birokrasi, batasan umur, banyaknya preman dan pungli untuk setor sejumlah uang ke yang punya kawasan perusahaan dan syarat yang aneh-aneh membuat mereka memilih kerja di luar negeri. Anehnya, negeri ini tak mau berbenah. Hal menguntungkan dan demi uang yang masuk pribadi tak perlu diubah.
“Bungkusan bunga itu?”
“Untuk mengunjungi ibu. Ke tempat di mana kematian selalu jadi pengingat bagi yang hidup. Kau sendiri mau ke mana? Tak jadikah mencari ramban untuk kambingmu?”
“Nanti sore bisa. Kau tak lupa makam ibumu bukan? Kalau berkenan mari kuantar.”
“Boleh.”
Disaksikan gemericik air di bawah jembatan Palpitu, kalian perlahan berjalan ke atas. Jembatan penghubung kampung Jeketro dengan kampung Kedungrante. Menemui jalan setapak bercabang dengan kanan kiri pohon-pohon durian, kopi, dan manggis, kalian harus memilih. Belok kanan menuju curug, air terjun di mana kau dan Pran serta teman-teman yang lain pernah berbasah-basahan di sana sepulang sekolah. Namun, kalian memilih jalur arah kiri. Di sana, seorang ibu disemayamkan dalam kematian yang membuatmu selalu ingin menangis jika mengingatnya. Kau pergi ke negeri tetangga, demi melupakan masa lalu, demi hidup yang lebih layak dan tidak diremehkan tetangga.
Di tepi tebing yang ditumbuhi bambu-bambu tinggi menjulang, kalian berjongkok di depan makam dengan rumput sedikit rimbun. Sebuah nama tertulis di nisan cetakan dari semen. Kau taburkan bunga mawar dan kenanga di atasnya. Aroma semerbak wangi menguar ke udara. Menusuk-nusuk hidung kalian. Lalu doa-doa mengambang. Melayang di awang-awang.
Ada bulir bening menetes lalu turun di pipimu tanpa kau sadari sebelumnya. Kau anak haram, kau lahir tanpa tahu ayahmu di mana. Kau tak pantas bersama Pran yang seorang anak kiai di kampungnya. Anak Pak Dum. Kau benar-benar tak pantas.
Bahkan ketika tahu, ibumu sering mencuri bawang di pasar. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ibumu lolos dari penglihatan. Empat kali, lima kali, enam kali, baru semesta menyuruh ibumu berhenti melakukannya. Ibumu ketahuan. Ibumu diarak ramai-ramai, dilaporkan Pak RT dan Pak Dukuh atas kasus pencurian yang tak pernah ketahuan. Atas persetujuan warga, kalian dimaafkan. Namun, ibumu mengulang hal serupa untuk ke tujuh kalinya. Warga geram. Beramai-ramai memukul seorang wanita renta yang tak berdaya.
Kau masih belum pulang sekolah kala itu. Pasar pagi masih ramai orang-orang. Keributan tak terhindarkan. Dari pelipis ibumu keluar darah segar begitu banyak bahkan sampai menutupi mata kirinya. Hingga di tengah keributan, Pak Sudar datang, tetanggamu yang sering menyisihkan makanan untukmu itu berteriak-teriak di tengah keramaian, “Hei kalian semua? Tahu kenapa ia melakukan ini? Karena kalian tak peduli dengan kerepotan pada sesama. Suaminya tak ada. Ia butuh makan. Mencuri memang perbuatan cela. Namun, lebih tercela mana, bisa berangkat haji berkali-kali tetapi tetangganya masih kelaparan?”
Di tengah keributan itu, Pak Dum tahu ia memang bergelar haji. Ia tak terima ucapan itu. Walau dalam hati membenarkan. Apalagi setelah tahu anaknya Pran, suka dengan Rin. Anak si pencuri dan anak haram yang tak jelas bapaknya di mana.
“Sesuci itukah kalian? Dengan pencuri bawang dan beras kalian perlakukan seperti ini? Kenapa kalian tak melakukan hal sama pada koruptor-koruptor itu? Kalian lempari mobilnya dengan batu atau kalau perlu bakar rumahnya. Mereka lebih menyengsarakan rakyat. Saya yakin kalian tak bakal berani. Kalian hanya berani pada maling miskin! Seperti dia. Sadar kalian?!”
Selorohnya enggan terhenti, “Lurah desa sebelah hanya dihukum 5 bulan penjara setelah ketahuan korupsi dana desa 800 juta lebih. Bawang merah 1 kilo 40 ribu, anggaplah jika tak ketahuan 10 kali, ia mencuri 400.000. Lalu, besar mana, hah? Sadar kalian?”
Mereka berhenti ketika teriakan Pak Sudar berapi-api. Bahkan ia yakin ada serbuk air liur yang tak sengaja ia semprotkan ke udara di tengah-tengah keramaian, keributan, dengan gemuruh di dada yang terus bergetar.
“Cukup sampai di sini. Biar ibu ini yang aku bawa ke rumah sakit. Nanti aku ganti uangnya kepada para pedagang yang merasa kehilangan.”
Setelah tabuh zuhur, setelah kau pulang, kau lihat rumahmu sudah ramai orang-orang. Dengan bendera sobekan kain kuning kecil di ujung halaman depan. Melambai-lambai mengabarkan duka. Lalu kau berlari masuk ke dalam rumah dengan gemuruh dada yang bergetar hebat. Kau lihat tubuh yang terbaring tetutup jarit kain batik Sidomukti. Kau pasti tahu itu siapa sebelum membukanya. Kau sudah mendengar bisik-bisik pedih dari para tetangga di halaman yang menyelinap masuk di telingamu dalam langkah setengah berlari saat mau masuk rumah.
“Ibu, maafkan segala salah Rin.” Kau berbisik pada angin, pada rumput-rumput kecil yang mengelilingi makam ibumu. Belasan tahun lalu, kau pernah berucap sama di depan seonggok daging yang membeku. Hari ini, kau ulang sekali lagi ucapan itu. Setelah kau bisa membeli motor baru. Mengganti genting rumah yang banyak bocor. Melapisi lantai tanah dengan keramik yang mengilat. Mengisi isi perabotan rumah dari kaca-kaca yang bening. Namun, sekarang rumah itu hampa. Kau seolah bingung untuk siapa segala kerja kerasmu itu kau persembahkan.
Kali ini pun, kau sebenarnya tak tahu untuk apa pulang selain rindu pada ibumu. Rumah ibumu yang sekarang sudah kau titipkan pada Pak Sudar untuk merawatnya, makin bersih dan mengilap. Kau pun kadang bersedia membantu biaya sekolah anak Pak Sudar. Sebagai ucapan dan balas budi untuknya walau lebih sering Pak Sudar menolaknya.
Setelah ini, setelah segala rindumu terobati, kau hanya perlu kembali. Kembali ke luar negeri. Kau tak cukup punya alasan untuk apa terus ada di kampung ini.
Langkahmu tertahan. Kau membalikkan badan. Melihat makam ibumu yang sekarang agak bersih dari rerumputan. Di sebelahnya, ada satu makam baru. Gundukannya tak lebih dari seminggu. Masih tercium aroma tanah basah yang menguar dari sana. Nisannya dari bambu yang ukiran namanya begitu unik. Barangkali jika kau tak rindu pada orang itu, untuk apa repot-repot mengajukan cuti yang itu begitu susah saat bekerja di negeri orang.
Namun, kau tahu, orang yang tertanam di dalam tanah yang bersebelahan dengan makam ibumu, adalah alasan kau kembali pulang. Kau belum tahu kenapa ia bisa pergi secepat itu. Kau juga tak tahu kenapa ia ada di samping makam ibumu.
Apa kalian bersaudara? Entah. Ada kabar selentingan jika ia overdosis obat terlarang saat bermalam dengan pacar barunya di hotel. Lagi-lagi hanya entah. Kau tak ingin memperkeruh dan membuat luka keluarganya. Kau hanya bisa tersenyum. Kacang yang halus kulit luarnya ternyata bisa busuk isi dalamnya. Ia anak seorang kiai pula. Kau seolah tak percaya. Tetapi yang pasti, terkadang Tuhan memilihkan jalan yang membuatmu sakit dan pedih. Padahal itu baik untukmu.
Kau membalikkan badan dan nisan bambu berukir nama Pran terus memandangmu dari belakang.[]