• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Jumat, 17 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Resolusi Parmin

A.M. Nizar Alfian Hasan by A.M. Nizar Alfian Hasan
6 Februari 2021
in Cerpen
0
Resolusi Parmin

Sumber gambar: https://dribbble.com/shots/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Malam pergantian tahun tinggal beberapa jam, tetapi petang ini Parmin terpaksa mendekam di rumah karena hujan tak henti mengguyur sejak siang. Matahari saja malas menampakkan diri sedari pagi, apalagi ia yang sudah jelas-jelas pengangguran.

Ia termenung di ruang tengah, seolah menghitung tetesan air hujan yang menembus genteng rumah. Ia cermati setiap kecipak butiran air mengenai baskom, menuntun irama kerisauan hatinya menunggu datangnya awal tahun depan. Ia terpaksa memeras ingatannya yang basah, hingga terpampang lipatan-lipatan kusut kemalangan hidupnya setahun ini.

Pertama, karena di awal pandemi ia terkena PHK dari gudang kargo tempat ia bertahun-tahun bekerja. Kedua, kematian istri yang sebelumnya memang sudah sakit-sakitan, memaksa ia tak bisa menolak tawaran santunan dari penetapan status positif istrinya sebagai penderita wabah. Yang ketiga, belum lama senar pancing import pemberian tetangganya yang juragan jamur—yang anaknya bekerja di pelayaran–ludes dipakai mainan layang-layang anaknya nomor dua, tanpa sepengetahuannya. Serentetan kejadian itu membuat Parmin memutuskan menitipkan ketiga anaknya ke rumah mertua untuk sementara waktu.

Terkait pemecatan dirinya, Parmin tak bisa mengelak sedikit pun. Kala itu atasannya menjelaskan, sejak dinyatakan wabah masuk ke Indonesia, semua layanan penerbangan terhenti, disusul terganggunya hampir semua kegiatan yang mengandalkan pengiriman barang, entah itu untuk mendatangkan bahan baku atau mengirimkan barang jadi.

“Semoga kita dipertemukan kembali sebagai tim yang solid di kemudian hari.” Pimpinan gudang menutup rapat terakhir hari itu, mewakili perusahaan.

Pada awalnya, Parmin berusaha menutupi kenyataan itu di depan istrinya yang sejak dua tahun lalu sering bermasalah dengan lambung. Ia tahu, istrinya tergolong perempuan yang tidak banyak mengeluh. Tetapi justru karena itu ia merasa kecolongan di bulan ketiga sejak ia dirumahkan. Ternyata perempuan yang telah mendampinginya hampir sepuluh tahun itu memendam kecemasan hingga merenggut nyawanya setelah sepekan dirawat di rumah sakit.

Istrinya pergi meninggalkan dirinya yang betul-betul habis, membuatnya tak bisa berpikir selain menerima tawaran pihak rumah sakit untuk menetapkan status istrinya positif. Pak Kadus, sebagai tetua lingkungan pun turut mendukung keputusan itu ketika ia mintai pendapat.

“Pak Kadus ada saran?”

“Nggak ada yang direpotkan, nggak ada juga yang dirugikan.”

“Maksud, Bapak?”

“Ya, terima aja.”

“Tapi saya kan harus karantina, Pak?”

“Kayak gitu kok dipikir. Kamu titipkan sebagian duitnya ke aku, beres.”

Dan betul, Pak Kadus menepati janjinya mengurus kebutuhan Parmin dan anak-anak selama karantina.

Parmin kembali merasa perjalanan tahun ini cukup melelahkan, batin dan pikiran. Sehingga ia pikir butuh beberapa waktu mendapat ketenangan dengan sedikit melepaskan beban. Ia ingat, tiap pagi buta ia sudah memasang mata kail dan umpan di bantaran sungai tak jauh dari rumahnya. Ketika matahari terasa sedikit menyengat—mungkin sekitar pukul sepuluh siang—ia baru beranjak pulang. Saat berikutnya ketika matahari mulai condong ke barat, ia telah kembali berangkat memancing dan baru pulang saat terdengar azan magrib dari seberang desa.

Sebaliknya, ia bisa berjaga sembari bertukar cerita dengan tetangga di pos ronda. Ia pun bisa tetap mengikuti kabar terbaru seputar keadaan kampungnya. Mulai dari persoalan wabah, bantuan dari pemerintah, hingga kabar tentang  warung milik Slamet yang mulai ramai. Ia jadi tahu, rata-rata lelaki di kampungnya kerap nongkrong di warung itu, sejak ia menjual togel belum lama ini.

“Mau ikut ndak, Min?” Salah seorang tetangga pernah mengajak.

“Nggak ah, tau sendiri,” jawabnya sedikit malas.

“Ee… belum tahu dia,” tukas tetangganya itu.

“Dasar, kamunya aja yang mata keranjang liat istri Slamet!” Balas yang lain.

“Lha daripada bengong gak ada kerjaan?!” Pungkas tetangganya itu lagi.

Sebetulnya bukan ia menolak setiap ada tawaran pekerjaan, tetapi memang nasib baru belum baik. Kemarin ia sedikit berharap pada tawaran Slamet, yang memintanya membantu di warungnya. Tetapi kenyataannya mendung sejak pagi tadi, selain mendukung larangan perayaan tahun baru kali ini,  rupanya turut pula mengantarkan kematian Slamet—yang dikabarkan terkena serangan jantung—dengan suasana yang pas. Parmin tak mengubah rencananya berangkat, tetapi bukan untuk menyambut malam pergantian tahun dengan bekerja di warung. Dia justru diminta Pak Modin bergegas mencarikan ubarampe[1] jenazah dan memastikan liang kuburan selesai tergali dua jam kemudian.

“Giliran ngurus orang mati saja kamu ajak-ajak, Min,” tetangganya yang sopir truk pasir kesal.

“Kebanyakan protes kamu,” tukas Parmin.

“Lho, kalau bukan Slamet yang mati, ogah juga aku ngeladeni ajakanmu,” timpal lelaki gempal di sampingnya yang kerap berseragam Satgas Partai Anu.

“Kalian bilang cinta tanah air, NKRI harga mati, diminta jadi gedibal[2] kampung saja, kebanyakan  mulut,” balas Parmin ketus.

Ia ingat, saat itu hanya ingin selekasnya menyelesaikan tugas dan segera melaporkannya ke Pak Kadus, sebelum upacara pemberangkatan jenazah dimulai.

Selain tercenung—karena begitu dalam—memikirkan perjalanan nasibnya tahun ini, rupanya Parmin masih terngiang perkataan tegas Pak Kadus sepulang dari makam siang tadi, “segera saja setelah empat puluh hari, kau urus warung, dan aku urus istrinya,” diam-diam sebelum mereka berpisah.

Kepalanya masih dipenuhi pikiran tentang hal itu, ketika tengah malam sebuah pesan WA masuk. Tetangganya yang juragan jamur mengabarkan, anak sulungnya baru pulang dari berlayar. Parmin seperti mendapat angin segar. Ia beringsut dari duduknya kini, meraih joran di atas meja sembari menyusun rencana barunya nanti.[]

 

[1] ubarampe = segala kebutuhan yang perlu disediakan dalam upacara

[2] gedibal = orang suruhan

Tags: cerpenhujanIndonesiaPHKResolusi Parminsastrawabah
ShareTweetSendShare
Previous Post

Jam Operasional Korona

Next Post

Pergantian Musim

A.M. Nizar Alfian Hasan

A.M. Nizar Alfian Hasan

Ian Hasan, lahir di Ponorogo, saat ini bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain terlibat di beberapa komunitas, termasuk Komunitas Kamar Kata. IG @ian_hasan

Artikel Terkait

Dua Jam Sebelum Bekerja
Cerpen

Dua Jam Sebelum Bekerja

21 September 2025

Hujan belum menunjukkan tanda reda. Aku menyeduh kopi lalu termenung menatap bulir-bulir air di jendela mess yang jatuh tergesa. Angin...

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
Cerpen

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

11 Juli 2025

Sore seperti keliru membaca waktu, demikian orang-orang bilang tentang udara di desa Watu Rinding. Ia terlambat panas, tergesa dingin. Kabutnya...

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
Cerpen

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

20 Mei 2024

“Ini sudah masuk bulan Agustus, Maemuna,” ucap Dae la One sembari membongkar perlengkapan sunat miliknya. “Aku ingat dua minggu lagi...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Monolog : Bersama Sangkala, Menuju Tiada

Monolog: Bersama Sangkala, Menuju Tiada

1 November 2020
Mati dan Pagi Hari di Cikajang

Mati dan Pagi Hari di Cikajang

24 April 2022
Gambar Artikel Lewat Tulisan Aku BerTuhan

Lewat Tulisan Aku BerTuhan

18 Desember 2020
Bersetubuh dengan Kata

Bersetubuh dengan Kata

24 Maret 2021
Pemimpin yang Ibda’ Binafsik

Pemimpin yang Ibda’ Binafsik

19 Juni 2021
Depresi Besar, Kaum Pekerja, dan Hilangnya Harapan

Depresi Besar, Kaum Pekerja, dan Hilangnya Harapan

30 April 2021
Gambar Artikel Bukan Cuma Positive Thinking, Negative Thinking Juga Perlu Cuks

Bukan Cuma Positive Thinking, Negative Thinking Juga Perlu, Cuks!

10 November 2020
Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

17 Maret 2024
Gambar Artikel Habis Sudah Setahun

Habis Sudah Setahun

31 Desember 2020
Kalporina

Kalporina

18 Juni 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.