• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Tuesday, 02 December 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Resolusi Parmin

A.M. Nizar Alfian Hasan by A.M. Nizar Alfian Hasan
6 February 2021
in Cerpen
0
Resolusi Parmin

Sumber gambar: https://dribbble.com/shots/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Malam pergantian tahun tinggal beberapa jam, tetapi petang ini Parmin terpaksa mendekam di rumah karena hujan tak henti mengguyur sejak siang. Matahari saja malas menampakkan diri sedari pagi, apalagi ia yang sudah jelas-jelas pengangguran.

Ia termenung di ruang tengah, seolah menghitung tetesan air hujan yang menembus genteng rumah. Ia cermati setiap kecipak butiran air mengenai baskom, menuntun irama kerisauan hatinya menunggu datangnya awal tahun depan. Ia terpaksa memeras ingatannya yang basah, hingga terpampang lipatan-lipatan kusut kemalangan hidupnya setahun ini.

Pertama, karena di awal pandemi ia terkena PHK dari gudang kargo tempat ia bertahun-tahun bekerja. Kedua, kematian istri yang sebelumnya memang sudah sakit-sakitan, memaksa ia tak bisa menolak tawaran santunan dari penetapan status positif istrinya sebagai penderita wabah. Yang ketiga, belum lama senar pancing import pemberian tetangganya yang juragan jamur—yang anaknya bekerja di pelayaran–ludes dipakai mainan layang-layang anaknya nomor dua, tanpa sepengetahuannya. Serentetan kejadian itu membuat Parmin memutuskan menitipkan ketiga anaknya ke rumah mertua untuk sementara waktu.

Terkait pemecatan dirinya, Parmin tak bisa mengelak sedikit pun. Kala itu atasannya menjelaskan, sejak dinyatakan wabah masuk ke Indonesia, semua layanan penerbangan terhenti, disusul terganggunya hampir semua kegiatan yang mengandalkan pengiriman barang, entah itu untuk mendatangkan bahan baku atau mengirimkan barang jadi.

“Semoga kita dipertemukan kembali sebagai tim yang solid di kemudian hari.” Pimpinan gudang menutup rapat terakhir hari itu, mewakili perusahaan.

Pada awalnya, Parmin berusaha menutupi kenyataan itu di depan istrinya yang sejak dua tahun lalu sering bermasalah dengan lambung. Ia tahu, istrinya tergolong perempuan yang tidak banyak mengeluh. Tetapi justru karena itu ia merasa kecolongan di bulan ketiga sejak ia dirumahkan. Ternyata perempuan yang telah mendampinginya hampir sepuluh tahun itu memendam kecemasan hingga merenggut nyawanya setelah sepekan dirawat di rumah sakit.

Istrinya pergi meninggalkan dirinya yang betul-betul habis, membuatnya tak bisa berpikir selain menerima tawaran pihak rumah sakit untuk menetapkan status istrinya positif. Pak Kadus, sebagai tetua lingkungan pun turut mendukung keputusan itu ketika ia mintai pendapat.

“Pak Kadus ada saran?”

“Nggak ada yang direpotkan, nggak ada juga yang dirugikan.”

“Maksud, Bapak?”

“Ya, terima aja.”

“Tapi saya kan harus karantina, Pak?”

“Kayak gitu kok dipikir. Kamu titipkan sebagian duitnya ke aku, beres.”

Dan betul, Pak Kadus menepati janjinya mengurus kebutuhan Parmin dan anak-anak selama karantina.

Parmin kembali merasa perjalanan tahun ini cukup melelahkan, batin dan pikiran. Sehingga ia pikir butuh beberapa waktu mendapat ketenangan dengan sedikit melepaskan beban. Ia ingat, tiap pagi buta ia sudah memasang mata kail dan umpan di bantaran sungai tak jauh dari rumahnya. Ketika matahari terasa sedikit menyengat—mungkin sekitar pukul sepuluh siang—ia baru beranjak pulang. Saat berikutnya ketika matahari mulai condong ke barat, ia telah kembali berangkat memancing dan baru pulang saat terdengar azan magrib dari seberang desa.

Sebaliknya, ia bisa berjaga sembari bertukar cerita dengan tetangga di pos ronda. Ia pun bisa tetap mengikuti kabar terbaru seputar keadaan kampungnya. Mulai dari persoalan wabah, bantuan dari pemerintah, hingga kabar tentang  warung milik Slamet yang mulai ramai. Ia jadi tahu, rata-rata lelaki di kampungnya kerap nongkrong di warung itu, sejak ia menjual togel belum lama ini.

“Mau ikut ndak, Min?” Salah seorang tetangga pernah mengajak.

“Nggak ah, tau sendiri,” jawabnya sedikit malas.

“Ee… belum tahu dia,” tukas tetangganya itu.

“Dasar, kamunya aja yang mata keranjang liat istri Slamet!” Balas yang lain.

“Lha daripada bengong gak ada kerjaan?!” Pungkas tetangganya itu lagi.

Sebetulnya bukan ia menolak setiap ada tawaran pekerjaan, tetapi memang nasib baru belum baik. Kemarin ia sedikit berharap pada tawaran Slamet, yang memintanya membantu di warungnya. Tetapi kenyataannya mendung sejak pagi tadi, selain mendukung larangan perayaan tahun baru kali ini,  rupanya turut pula mengantarkan kematian Slamet—yang dikabarkan terkena serangan jantung—dengan suasana yang pas. Parmin tak mengubah rencananya berangkat, tetapi bukan untuk menyambut malam pergantian tahun dengan bekerja di warung. Dia justru diminta Pak Modin bergegas mencarikan ubarampe[1] jenazah dan memastikan liang kuburan selesai tergali dua jam kemudian.

“Giliran ngurus orang mati saja kamu ajak-ajak, Min,” tetangganya yang sopir truk pasir kesal.

“Kebanyakan protes kamu,” tukas Parmin.

“Lho, kalau bukan Slamet yang mati, ogah juga aku ngeladeni ajakanmu,” timpal lelaki gempal di sampingnya yang kerap berseragam Satgas Partai Anu.

“Kalian bilang cinta tanah air, NKRI harga mati, diminta jadi gedibal[2] kampung saja, kebanyakan  mulut,” balas Parmin ketus.

Ia ingat, saat itu hanya ingin selekasnya menyelesaikan tugas dan segera melaporkannya ke Pak Kadus, sebelum upacara pemberangkatan jenazah dimulai.

Selain tercenung—karena begitu dalam—memikirkan perjalanan nasibnya tahun ini, rupanya Parmin masih terngiang perkataan tegas Pak Kadus sepulang dari makam siang tadi, “segera saja setelah empat puluh hari, kau urus warung, dan aku urus istrinya,” diam-diam sebelum mereka berpisah.

Kepalanya masih dipenuhi pikiran tentang hal itu, ketika tengah malam sebuah pesan WA masuk. Tetangganya yang juragan jamur mengabarkan, anak sulungnya baru pulang dari berlayar. Parmin seperti mendapat angin segar. Ia beringsut dari duduknya kini, meraih joran di atas meja sembari menyusun rencana barunya nanti.[]

 

[1] ubarampe = segala kebutuhan yang perlu disediakan dalam upacara

[2] gedibal = orang suruhan

Tags: cerpenhujanIndonesiaPHKResolusi Parminsastrawabah
ShareTweetSendShare
Previous Post

Jam Operasional Korona

Next Post

Pergantian Musim

A.M. Nizar Alfian Hasan

A.M. Nizar Alfian Hasan

Ian Hasan, lahir di Ponorogo, saat ini bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain terlibat di beberapa komunitas, termasuk Komunitas Kamar Kata. IG @ian_hasan

Artikel Terkait

Gelembung-Gelembung
Cerpen

Gelembung-Gelembung

19 November 2025

Gelembung-gelembung itu terus mengudara dan semakin tinggi diterpa angin pagi. Perlahan satu per satu jatuh dan pecah, namun ada yang...

Dua Jam Sebelum Bekerja
Cerpen

Dua Jam Sebelum Bekerja

21 September 2025

Hujan belum menunjukkan tanda reda. Aku menyeduh kopi lalu termenung menatap bulir-bulir air di jendela mess yang jatuh tergesa. Angin...

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 July 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
Cerpen

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

11 July 2025

Sore seperti keliru membaca waktu, demikian orang-orang bilang tentang udara di desa Watu Rinding. Ia terlambat panas, tergesa dingin. Kabutnya...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Pakai Tangan Kiri Itu Tidak Selalu Buruk

Pakai Tangan Kiri Itu Tidak Selalu Buruk

6 December 2021
Melepas Kasih dalam Balutan Sastra

Melepas Kasih dalam Balutan Sastra

23 October 2021
Truk Berlin: Bincang Cerpen Karya Hassan Blasim

Truk Berlin: Bincang Cerpen Karya Hassan Blasim

26 May 2023
Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

22 March 2023
Gambar Artikel Syafaat Rasul Menurut Abu Mansur al-Maturidi

Syafaat Rasul Menurut Abu Mansur al-Maturidi

3 December 2020
Gambar Artikel Bias Kegelisahan dan Kenangan

Bias Kegelisahan dan Kenangan

17 November 2020
Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

15 June 2025
4 Alasan Fundamental Mengapa Kita Perlu Membaca

4 Alasan Fundamental Mengapa Kita Perlu Membaca

3 April 2022

Bahagia itu Sederhana

3 July 2021
Haruskah Ulang Tahun Selalu Dirayakan?

Haruskah Ulang Tahun Selalu Dirayakan?

5 August 2021
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina
  • Antony Loewenstein: “Mendekati Israel adalah Kesalahan yang Memalukan bagi Indonesia”
  • Gelembung-Gelembung
  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

Kategori

  • Event (14)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (12)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (217)
    • Cerpen (55)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (49)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (13)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kontributor
  • Hubungi Kami

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.