Disebutlah jalan miring; jalan yang tak pernah dilewati warga kompleks A, walau jalan itu berdekatan dengan mal, apartemen, jalan raya, dan hepymart, mereka lebih suka memutari jalan. Disebutlah jalan miring karena jalannya memang begitu. Barang tentu seorang yang lewat akan bermiring-miring, seperti jalan itu. Disebutlah jalan miring, dengan rumah-postur bangunan yang juga miring.
“Yang lebih merepotkan bila ada jalan jungkir balik,” pemilik kedai di jalan itu tertawa sambil menekan perutnya, mag-nya kambuh.
“Sudah lama tidak ada orang,” lirih Nami, pemilik kedai.
“Bukankah kedai ini selalu sepi?” Tanya Musafir ketika Nami meletakkan segelas air putih di depannya.
“Tidak. Dulu sebelum jalan berubah miring, kedai sangat ramai.”
“Apa kau tahu penyebabnya?” Selidik Musafir. Nami menggeleng. Musafir mencecap kopi. Dan memulai.
“Kukira benar, ada manusia yang sedang membangun kota di bawah tanah.” Tebak Musafir seraya menyipitkan sebelah matanya.
“Maksudmu?” Nami menatap Musafir serius.
“Ada segerombolan manusia membangun kota di bawah tanah.”
“Tidak mungkin….”
“…”
Pembicaran berhenti. Musafir melongok ke luar. Jalan miring itu tetap miring, walau sudah beberapa kali pemerintah memperbaikinya. Dan sudah empat kali jalan itu diperbaiki, tetapi belum ada hasil. Jalan itu masih miring. Dan mungkin akan tetap miring.
Musafir melanjutkan pembicaraan seperti yang ia dengar sepuluh tahun lalu.
“Bagaiamana pun alasannya, itu tidak boleh terjadi. Negara akan terbagi dua wajah. Di atas dan bawah.” Perempuan itu berhenti memberi jeda, dan mengatur pernafasan. “Kita pun sudah tahu bahwa bermuka dua itu tidak baik. Munafik.” Ia mencondongkan wajahnya ke Musafir.
“Tidak-tidak… kau salah paham. Sebenyarnya kota bawah tanah hanya ditempati oleh warga kalangan bawah, seperti pemulung, gembel, pengemis, pengamen, dan siapa pun yang hidupnya susah, bisa tinggal di sana.”
“Lalu bagaimana kalau mereka ingin bekerja?”
“Kerja saja. Di sana juga ada lapangan pekerjaan.”
Perempuan itu mengernyit. Dahinya seperti baru diiris. “Kapan kota bawah tanah itu selesai? Apakah sepuluh tahun lagi?”
Musafir menggeleng. Ia menunjukkan angka lima seraya mengangguk-ngangguk. “Dan bisa saja lebih cepat bila ada yang membantu menyelesaikannya.”
“Mengapa tidak meminta bantuan pemerintah biar lebih cepat?”
“Masalahnya, kota bawah tanah tidak mendapat izin pemerintah. Katanya, orang jalanan tidak pantas mendapatkan kota bawah tanah.”
“Memang. Kalau para pengemis dan pemulung pindah, wajah kota akan berubah dan bisa jadi kota yang sesungguhnya hilang.”
“Lagi-lagi kau salah maksud. Setelah orang jalanan pindah ke kota bawah tanah, bukan lantas wajah kota berubah menjadi desa. Bukan. Melainkan akan ada sedikit perubahan—“ Musafir tercekat.
“Contoh….” Perempuan itu memburunya.
“Angka statistik berubah, dan akan ada pendataan ulang.”
Sesuatu jeda membuat mereka saling tatap dan mencari sesuatu.
“Kemudian siapa yang akan memimpin kota bawah tanah?”
Mereka tak berkedip. Mata mereka saling bertemu dan ada kilatan menyambar tempurung Musafir. Ia teringat dengan rasa khawatirnya sendiri sebelum ia memulai berjalan ke kota. Ia khawatir dengan ucapan kakeknya, “Akan ada kota baru yang suatu hari direbut orang kota,”
***
Namanya Musafir, Manif, Munir, dan banyak lagi. Dia selalu merubah namanya ketika bertemu dengan orang baru. Maka bisa dibayangkan berapa nama yang ia pakai, dan berapa orang yang ia bohongi.
Ia datang dari barat dan berhenti di kedai yang berada di jalan miring. Sangat kebetulan.
***
Kedai itu miring bahkan perempuan, pemilik kedai itu berjalan miring-miring. Ia berjalan cepat, dan tidak seperti Musafir yang pelan melewati kursi dan meja yang miring. Nami menaruh sepotong kentang goreng dan mengulang pertanyaan.
“Kira-kira siapa pemimpin kota bawah tanah?”
Musafir berdiam sejenak. Ia menanap mata perempuan itu dengan serius. Seperti ada rasa ingin tahu yang mendalam. Musafir angkat bicara.
“Mungkin tidak ada memimpin. Mungkin—“
“Kalau begitu biarkan aku saja yang memimpin. Kedaiku terlampau sepi dan sebenatar lagi gulung tikar. Aku akan buka lapangan pekerjaan untuk semua orang di sana.”
Jawaban itu sudah diperkirakan keluar dari mulut Nami. Musafir menggeleng cepat. “Tidak-tidak. Aku sudah katakan, tidak ada pemimpin di sana.” Kata terakhir ia tekan.
“Tapi itu tidak baik untuk suatu kota. Mereka akan berbuat sesukanya.”
“Kebebasan adalah yang mereka bangun. Sedangkan sistem hanya untuk orang-orang kota. Orang kecil seperti mereka tidak mengerti sistem. Buktinya mereka tidak patuh aturan negara, kan?”
Perempuan itu menyeruput air lantas mendorong ke depan dada Musafir.
“Bagaimana pun kota itu akan miring seperti jalan ini. Atau mungkin bisa lebih parah. Kau tahu kan adanya pemimpin untuk apa.”
“Aku tahu. Tapi nyatanya jalan ini saja tidak terurusi oleh pemimpinmu. Bagaimana kalau kau memimpin kota bawah tanah?”
Pembicaraan berhenti sejenak. Azan melengking aneh di timur. Kalimatnya miring-miring dan tak dimengerti oleh Musafir yang baru saja tiba di jalan miring.
“Sepertinya ada yang salah dengan azan. Tidak biasanya,” kata Musafir.
“Kau masih belum mengerti. Di jalan miring, apa pun miring termasuk azan.”
“Bagaimana bisa?” Musafir belum mengerti. Ia sudah tahu soal kota bawah tanah, tapi tidak dengan azan yang miring.
“Tapi kau dengar sendiri. Di jalan miring, apa pun bisa miring bahkan angin yang menyibak rambutku tanpa disadari bertiup miring.”
“Kota yang aneh.”
“Lebih aneh kota bawah tanah,” balas Nami. Percakapan berhenti dan mereka tertawa sambil memandang jalan miring.
Dikatakan jalan miring, jalan yang sepi nan sunyi, dan cuma ada kedai di kiri jalan. Itu pun kedai miring. Dikatakan jalan miring karena orang yang lewat selalu bermiring-miring, makanya jalan itu kini sepi. Di jalan miring terdapat lubang yang cukup dimasuki orang dewasa. Dikatakan bahwa lubang itu untuk masuk ke dalam kota bawah tanah.
Percakapan mereka tidak berhenti di situ. Mereka saling menuduh, menghina, dan akhirnya memaki-maki. Percakapan orang sinting tidak bisa dilerai oleh siapa pun, karena mereka hanya duduk berdua di kedai miring dan percakapan terus berlanjut.[]