Saat itu pukul tiga sore, aku memasuki rumah makan Bakmi GM di sekitar jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta. Dari sebuah meja di dekat jendela, seorang lelaki yang sebenarnya kukenal dengan baik dan sudah sangat terkenal di negara ini memberiku isyarat: Sssttttts! Aku pun segera menghampirinya. Ia duduk menghadapi meja di mana ada mangkok dan gelas kosong di atasnya. Kemudian aku berkesimpulan, ia sudah terlalu lama menungguku. Dengan memakai kaca mata kebiruan, ia mempersilakan aku duduk, kemudian memberikan isyarat agar aku memesan. Kopi saja, ketusku.
“Aku harus memastikan kalau kau datang sendiri, kan?”
Aku mengangguk sambil berkedip pelan. Kemudian tatap mataku tak bisa kulepaskan darinya.
“Kau sudah tahu reputasiku. Kau pun sudah menuliskannya dalam berbagai berita. Aku tak bisa menghakimimu, namun aku hanya ingin tahu tentang kebenaran karanganmu itu.” Tanpa basa-basi ia membuka percakapan yang menikam.
Ia berusaha menanyakan terkait berita-berita yang kutulis tentangnya. Wajahnya nampak gelisah, beberapa kali ia menyapu pandangan ke area rumah makan.
“Maaf, kupikir hari ini giliranmu yang bercerita.” Jawabku kemudian, kulihat senyum kecut lahir di bawah kumisnya yang telah memutih. Ia mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, dan mengisap dalam. Kemudian, ia mulai bercerita.
***
Sekali lagi, kau sudah tahu kan reputasiku. Dan sebelum peristiwa ini semakin menggila, bahkan kita masih satu pikiran, satu hati, dan satu rasa. Kau tak akan pernah tahu betapa susahnya menanggung jabatan di negara kita. Sepertiku misalnya.
Jika boleh mengenang, tentu kau masih ingat, betapa kompaknya kita merancang pergerakan di Jogja tahun ’98. Rasanya baru kemarin, namun ternyata sudah hampir 21 tahun lamanya, ya?
Entah bagaimana mulanya, setelah kita berpisah, maksudku kita telah memilih berkesibukan di jalan masing-masing, Ibu menyuruhku agar segera menyelesaikan studiku. Bermodal gelar S1 saat itu, tentu menjadi sesuatu yang luar biasa, apalagi lulusan dengan predikat pujian. Setelah lulus, atau tepatnya setelah upacara wisuda, perlahan namun pasti, Ayah dan Ibu seringkali mengajakku ke pertemuan-pertemuan penting. Kau tahu kan, kedua orang tuaku adalah salah satu kader partai besar di negara kita. Dan saat itu aku mulai dikenalkan dengan partai politik.
Melihat minatku yang tinggi, serta berbekal rayuan dari Ibu, aku didorong masuk ke partai G. Kau tentu paham, ini tidaklah mudah bagiku. Bagi kita juga. Dan ternyata, dua tahun setelah aku resmi masuk sebagai kader partai, barulah aku tahu kalau kau telah resmi menjadi wartawan koran. Sejujurnya, aku ikut merasakan dukamu ketika dipaksa masuk menjadi pegawai BUMN oleh kedua orang tuamu. Namun yang mengejutkanku, tiba-tiba orang tuamu menelpon ibuku, mengabarkan kalau kau tiba-tiba minggat tanpa kabar hingga waktu yang lama. Entah bangga atau kecewa, namun seharusnya mereka bangga ketika mendengar kabarmu diterima kerja di salah satu media cetak besar di Indonesia.
Tidak perlu waktu lama, berbekal pengalaman di organisasi kampus dulu, aku mulai bergerilya dari satu proyek ke proyek yang lain. Kemudian menjadi tim sukses dari satu daerah ke daerah yang lain. Tanggung jawab yang semakin besar lambat laun dipercayakan padaku. Puncaknya, entah keajaiban dari mana, tiba-tiba aku menjadi salah satu perwakilan partai yang dinominasikan masuk ke kursi DPR. Di usia semuda itu. Hingga akhirnya di pemilu 2000 aku jebol masuk ke Senayan. Tentu berita ini dirayakan meriah oleh Ayah dan Ibuku. Dari sinilah, awal mula segalanya berubah.
Dimulai dari Pak Sumadi, tentu kau masih ingat, kan? Tetangga tuaku yang begitu menyebalkan itu. Di hari setelah pelantikanku, ketika aku baru pulang ke rumah, ia datang menghampiri ke depan gerbang—sebelum aku masuk.
“Sudah besar, malah jadi sombong ya, Nak Surya.” Katanya membuka percakapan. “Tak baik lho seperti itu, melupakan sejarah masa kecil. Kenapa tak pernah singgah? Dosa, lho. Sekarang pemuda-pemuda sering kumpul di rumah. Mereka sangat antusias untuk berdiskusi hal-hal positif untuk perumahan kita.” Aku tentu saja mengernyitkan dahi, entah kerasukan setan apa Pak Tua ini.
“Ingat Lasi, kan? Masa lupa dengan teman masa kecilmu. Ia seringkali menanyakan kapan mampir lagi ke rumah. Jangan jual mahal, ingat, siapa dulu yang sering kau tumpangi ketika perutmu lapar.” Sungguh di luar dugaan saat itu! Pak Sumadi yang dikenal sebagai pemakan orang—lantaran suka marah-marah–mendadak memiliki sayap di punggung dan cincin di kepalanya bak seorang mailaikat yang turun ke bumi.
Hal serupa pun juga terjadi di rumah. Awalnya, rumahku selalu sepi tamu. Sejak saat itu, telepon rumah tak pernah berhenti bernyanyi. Ibu bahkan sampai kerepotan. Tidak hanya itu, mendadak rumahku hujan kiriman barang-barang dan makanan. Banyak yang mulai menerbangkan kabar ke rumah. Mulai dari hal yang penting dan mendadak seperti dibuat-buat hingga kabar-kabar sepele yang sebenarnya tak perlu dikabarkan.
Hal-hal mengejutkan terus datang. Kau masih ingat Raka? Kakakku yang kawin lari dengan pacarnya itu, mendadak menelpon mengabarkan keadaannya. Ia sudah punya rumah, katanya juga istri dan anaknya pun sehat. Aku senang lantaran tali persaudaraan kami terhubung kembali. Hingga pada akhirnya, ia mengabarkan berniat menyekolahkan anaknya di salah satu SD swasta ternama di Jakarta: paling tidak 500 ribu, Sur. Tidak lama kemudian aku kirim uang padanya.
Belum cukup sampai di situ, tak genap satu tahun setelah pelantikan, Ira menghubungiku. Bisa kau bayangkan, seorang Ira, perempuan yang dulu seringkali masuk di mimpi-mimpi indah kita. Sekaligus orang yang ketus melantangkan haram menikah dengan mahasiswa pergerakan. Nyatanya, sebulan setelah ia menelponku, hingga sekarang, aku telah satu rumah dengannya. Dan telah dihadiahi tiga anak yang tak kalah cantik dari Ibunya.
Rudy, barangkali memang lebih enak dan nyaman menjadi dirimu. Atau aku saja yang tidak pernah merasa cukup. Belum genap dua bulan kami menikah, Ira minta beli rumah. Awalnya ia mengaku tak cocok dengan Ibuku. Puncaknya, katanya, ia merasa diguna-guna oleh Pak Sumadi, ayah Lasi. Lantaran, menurut pengakuannya, ia seingkali merasa pening di kepala.
“Bagaimana bisa, gajiku hanya 2 juta, dan kau tahu kan, dengan tunjanganku juga belum cukup untuk ambil rumah.” Ucapku saat itu.
“Kau kan bisa ambil utang gajimu bulan depan,” ucapnya enteng.
Kemudian dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, kuputuskan untuk mengambil rumah. Barangkali kau tak tahu rumah pertamaku, karena di tahun kedua pernikahan, Ira minta beli rumah yang lebih besar lagi. Lalu kemudian aku tak pernah merasa cukup dengan gaji dan tunjanganku itu.
Puncaknya adalah ketika di perjamuan makan bersama presiden. Di sana berkumpul semua pejabat dari ekselon satu hingga pejabat daerah. Dari pengusaha hingga taipan-taipan negeri jiran. Aku yakin kau tak akan bisa membayangkan, betapa cantiknya istriku saat itu. Meski kami sudah beranak satu, namun Ira masih rajin merawat tubuh.
Ketika aku datang, semua mata tertuju padanya. Ia seperti primadona yang berjalan di atas karpet merah. Sedangkan aku layaknya penjaga keamanannya saja.
Di perjamuan itu, istriku seringkali digoda macam-macam. Tak perlu kau tanyakan bagaimana cara menggodanya, yang jelas beraneka ragam. Hingga puncaknya, ia berbisik kepadaku, “Pah, Papah ngga ingin belikan Mamah mobil baru?” Aku diam sejenak. “Seperti mobilnya Pak Zainal itu, lho, Pah,” aku masih diam juga.
“Pah, jangan salahkan Mamah lho ya, kalau minta mobil ke orang lain.” Wajahnya ternyum menjijikkan saat itu. Namun apalah dayaku, Rud. Aku sudah benar-benar menaruh seluruh hidupku padanya.
Barangkali memang benar, cinta mampu membutakan segalanya. Sejak saat itulah, setiap waktu, aku berpikir untuk mencari penghasilan tambahan untuk menutup kebutuhan mewah istriku. Dan kini juga menular pada ketiga anakku.
Jadi, ketika, saat itu Pak SN mencari tim untuk pengembangan proyek di salah satu Bank Bali awal tahun 2000-an. Aku terima pinangannya itu. Aku adalah tim tetap Pak SN dalam merancang segala rencananya. Hingga puncaknya adalah mega proyek E-KTP di tahun anggaran 2011 – 2012. Yang kemudian, berkat karangan-karanganmu di berbagai opini koran, telah membongkar dan memporak-porandakan segalanya, hingga menggila seperti sekarang.
***
“Kau tahu, yang sampai saat ini kupercaya adalah bahkan seorang perampok yang kejam sekali pun, pasti punya sebuah pembenaran atas alasannya merampok. Paling menjijikkan adalah alasan untuk membiayai kesenangannya. Namun yang paling mulia adalah untuk membiayai hidup keluarganya.” Surya mengakhiri pembicaraannya. Diambilnya sebatang rokok lagi, kemudian dinyalakan, dan diisap dalam-dalam.
Aku masih terdiam, agak berat sebenarnya melepas kepergiannya kali ini.
“Sekarang, segala keputusan berada di tanganmu. Maaf, aku harus segera pergi, keretaku berangkat sebentar lagi.” Belum genap aku akan mengeluarkan suara, ia sudah akan undur diri.
Dadaku berkecamuk. Ada perasaan aneh yang menjalar di sana. Surya, buronan koruptor paling dicari kini berada di hadapanku. Tatap matanya masih sama, selalu menyimpan keluguan yang tak pernah dibuat-buat.
“Tunggu sebentar!” Ujarku sambil menahannya yang sudah berdiri. Tangan kananku menarik tangan kanannya. Kemudian ia menahan langkah dan menatapku penuh pertanyaan.
Sambil menahan getar ponsel yang sedari tadi bergetar di saku celanaku, aku berusaha berbisik padanya.
“Sebaiknya kau batalkan saja keretamu.” Bisikku.
Wajahnya tambah heran. Kemudian, kukeluarkan ponselku. Kubuka sebuah pesan dan kutunjukkan padanya.
“Beri kode kalau ia akan pergi. Ada tiga polisi di warung yang sudah siap.” Sebuah pesan berinisial Elang 1.
(Ponorogo, Maret 2022)