Nanda, nama seorang gadis cantik yang juga anak semata wayang Ibu Selly dan Bapak Paulus. Ia hidup dalam keluarga yang sederhana. Hanya saja, pengalaman hidup sedari kecil hingga remaja, dilewatinya dengan duka yang dalam. Hari-hari hidupnya ia tandaskan untuk memungut sampah di sekitaran pasar dan tempat-tempat ramai. Sisa makanan yang masih layak dimakan dikumpulkannya di dalam satu tas plastik untuk dibawakan kepada ibunya yang sedang terbaring sakit di dalam pondok reyot.
Itulah aktivitas hariannya semasih berusia remaja. Segalanya dijalani dengan penuh syukur walaupun nampaknya getir. Baginya, itulah cara paling mulia untuk bertahan hidup dalam menghadapi derasnya realitas hidup. Benar apa yang dikatakan orang bijak, “hidup berawal dari langkah pertama untuk menjejaki tapak-tapak selanjutnya”. Barangkali ia akan menggapai hal yang lebih baik dari hari kemarin dan sekarang.
Ayahnya, Paulus, seorang buruh bersahaja. Tukang bangunan yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk membiayai makan dan minum keluarga setiap hari. Apalagi untuk pengobatan istrinya yang telah lama menahan sakit. Ibu Selly sakit dan tak berdaya di ranjang pondok kecil itu. Nanda si remaja kecil yang berhati polos ini terkadang tak kuasa menahan air mata saat menyaksikan derita kedua orang tuanya. Kala petang tiba ayahnya pun pulang dari kerja namun tak membawa makan untuk santapan malam. Padahal Nanda dan ibunya berharap sang ayah pasti pulang membawa makanan untuk hidangan bersama.
Hari demi hari Ibu Selly dan rasa sakitnya tak tertahankan. Kadang tiada makanan sedikit pun untuk dikonsumsi. Puasa sampai satu-dua hari penuh, kalau nasib tak beruntung. Kantong kosong. Uang tidak ada untuk biaya mengobati sakitnya itu. Sedih dan merana hidup keluarga Nanda gadis kecil yang tak pernah kalah hadapi badai musim dengan aneka tawarannya. Tangis dan air mata adalah rejeki sehari-hari baginya.
Kadang tiada lagi sisa makanan yang masih layak dimakan di kotak-kotak sampah yang dikoreknya. Bahkan dari sudut kota sampai ke ujung-ujungnya pun tak ditemukan lagi sisa makanan. Ah, betapa ganasnya hidup ini. Entalah dengan cara apakah mesti dilunakkan.
***
Kala itu senja makin pekat. Sedikit lagi hari akan berlalu. Namun sayangnya belum ada sedikit makanan yang ia kumpulkan untuk dibawa ke rumah. Pada senja yang lengang itu, ia berjalan melewati lorong pasar seperti biasanya. Terlihat di sana para pedagang sibuk mengatur barang-barang jualan. Nanda pun tanpa peduli pada orang banyak itu. Matanya tertuju pada tumpukan sayuran hijau di sudut bale-bale milik pedagang muda bersama istrinya. Ia menoleh ke kiri dan kanan. Para pedagang nampak hanyut dalam sibuk.
Nanda pun mengambil ikatan sayur di sudut itu dan bawa pergi tanpa peduli amat. Ekor mata dari bapak pemilik sayur itu melihatnya, namun bapak itu hanya diam saja. Lantas istrinya melihat tumpukan sayur itu sudah berkurang. Lalu ia mendesak suaminya untuk melihat situasi kompleks: pasti ada yang telah mencurinya. Suaminya pun bergegas untuk menemui gadis kecil itu. Namun oleh karena belas kasihan akan gadis mungil itu, ia pun membiarkannya pergi seolah-olah sengaja tidak melihatnya.
Nanda menjumpai ibunya di pondok itu dalam nuansa penuh cemas. Ibunya batuk tanpa henti dan diklaim oleh tetangganya ia terjangkit virus corona. Sandiwara gosip ini tak dihiraukan. Nanda dan Ibu Selly masak bareng malam itu dan makan bersama dengan penuh bahagia.
Pada keesokan harinya, ia pergi lagi ke pasar itu dan berniat untuk mencuri sayuran dan buah yang ada di sana. Sasaran yang dituju masih sama seperti kemarin. Setibanya di sana ia melihat adanya sayuran dan buah yang sudah terisi di plastik. Nanda melihat pemiliknya lapak itu sedang sibuk atur barang-barangnya ke sana kemari. Tanpa peduli banyak, Nanda pun gesit mengambil sayuran itu dan pergi. Beberapa anak kecil seumuran sebayanya yang melihat dia dan meneriakinya, “Maling, maling, maling sambil mengejarnya!”
Ia bersembunyi dan lolos dari kejaran anak-anak kecil itu. Ia pun tiba di rumah dan menjumpai ibu yang sedang terbaring masih seperti kemarin. Nanda membuka isi tas plastik itu, di sana ada beberapa jenis sayur dan buah-buahan. Selain itu terselip juga sepotong kertas kecil yang bertuliskan, “Nak, bapak sengaja siapkan ini untukmu, jangan lagi pungut makanan di kotak sampah, ya!”
Air mata Nanda meleleh membacanya. Ibunya bertanya, “Nak, mengapa kamu menangis?”
“Tidak, Mak, aku dapat sayur. Ayo kita masak bareng ya, Mak!” Sang ibu yang dipanggilnya mamak pun lekas merangkul hangat tubuh kecil Nanda. Tak lama kemudian datanglah Paulus, ayahnya, tanpa membawa uang sepeser pun. Nanda hanya diam tanpa kata. Ia bersama ibunya memasak sayuran hasil pemberian dari seorang bapak yang baik hati itu dengan penuh semangat. Selanjutnya ketiganya menikmati makan malam apa adanya. Sedih menyayat hati karena hasil kerja dari Paulus tak menentu bahkan tak bisa menjamin keluarga kecilnya hidup bahagia.
***
Nanda adalah gadis sederhana yang tidak mau kalah dengan situasi. Ia tekun dan pekerja keras. Sepuluh tahun kemudian Nanda telah menjadi orang berhasil. Ia menjadi orang kaya yang memiliki segalanya. Semua persawahan dan perkebunan kelapa yang mengitari pinggiran kota itu adalah miliknya. Bahkan ia menjadi bos di kota itu. Pasar dan bangunan lapak untuk para pedagang itu menjadi miliknya. Nanda kini menjadi gadis yang sukses. Ibu dan ayahnya sangat bahagia menyaksikan pencapaian yang diraih oleh Nanda. Banyak lelaki yang datang mendekatinya untuk menjadi kekasih hatinya. Namun Nanda masih fokus membahagiakan kedua orangtuanya.
Suatu senja menjelang malam, teringatlah akan bapak yang pernah membiarkan dia mencuri sayurannya di lapak pasar kelolaannya kini. Ia berusaha menghadirkan lagi kisah pilu itu. Menangis pedih tak tertahankan. Ia berniat ingin mencarinya. Mentari pagi ini nampak cerah. Semua orang hanyut dalam kesibukannya. Nanda pun keluar dari tempat kerjanya untuk sekadar jalan-jalan di sekitar pasar sambil mengontrol situasi aktivitas pasar-pasar di awal hari ini.
Di sana terdengar teriakan suara, “maling, maling, maling,” teriakan sekelompok orang sedang mengajar pencopet. Tak sengaja Nanda melihat seorang anak bocah laki-laki yang sedang bersembunyi di balik kotak sampah. Ia pun mendekatinya secara perlahan-lahan dan menangkapnya, “heii, kamu yang mencopet ya!”
“Iya, kak, aku yang mencopet. Aku butuh uang ini untuk biaya pengobatan ayahku yang sedang sakit!” Jawab bocah kecil itu.
Nanda langsung mengambil dompet itu dari tangannya lalu menyerahkan kepadanya sejumlah uang dari sakunya. “Sekarang kamu jangan mencopet lagi, ya!”
Sorot mata bocah itu tampak terenyuh. Ia lantas membalas, “Iya, Kak.”
Nanda tersenyum, kemudian teringat, “Oh, ya, di manakah kamu tinggal?”
“Aku tinggal di sana, Kak.” Telunjuknya sambil menunjuk ke arah selatan dari pasar itu. Lalu keduanya berjalan melewati keramaian pasar dan menuju rumah bocah kecil.
Tepat melewati lorong lapak tempat ayah dan bundanya berjualan, ia tunjuk lapak jualan ayah dan ibunya itu kepada Nanda, “Kak, ini lapak tempat ayah dan bundaku dulu berjualan di sini. Sekarang tidak lagi seperti yang dulu karena ayahku jatuh sakit dan lapak ini sudah diambil oleh pemiliknya.”
Mendengar itu sedihlah hati Nanda. Nanda teringat lagi saat ia mencuri sayuran di lapak itu dan kebaikan bapaknya yang selalu membiarkan dia mengambil sayur. Hati Nanda tersayat. Air matanya menetes tanpa suara isak tangis.
Mereka berdua terus berjalan hingga pinggiran pasar. Dari kejauhan nampaklah gubuk reyot. Keduanya makin bergegas. Setibanya di sana terdengar suara batuk panjang ayah si bocah yang sedang sakit. Nanda memutuskan untuk pulang kembali walaupun bocah kecil itu mengajaknya mampir sejenak. Nanda pulang dengan hati penuh berbelaskasih dan air mata masih tersisa di pipi.
Sesampainya di rumah, Nanda bercerita akan semuanya yang terjadi itu dengan ayahnya. Lalu suatu hari Nanda dan ayahnya memutuskan untuk pergi ke pondok reyot di pinggiran pasar tersebut. Nanda dan ayahnya pergi dan setiba di sana mereka bertemu dengan bapak dan ibu yang dulu pernah berjualan di lapak pasar miliknya sekarang.
“Selamat pagi…”
“Selamat pagi juga.”
“Apakah kami boleh masuk?” Demikian pinta Nanda.
“Silakan, masuklah.” Bapak mempersilahkan mereka masuk.
Sambil menangis Nanda mengakui, “Bapak, ini aku si bocah kecil yang dulu pernah bapak biarkan mencuri jualan sayur di lapak itu. Apakah Bapak masih ingat saya?”
Dengan raut wajah sedikit terkaget, Bapak itu menjawab, “Kamu yang waktu itu mencuri sayuran di lapak itu kan?”
Sembari teringat kembali, Bapak itu melanjutkan, “Dahulu aku sengaja membiarkan kamu ambil karena hatiku tak tega melihat kamu pungut makanan di kotak sampah.”
Nanda terharu. Ada sedikit keheningan terasa di ruangan itu.
“Iya, Bapak. Kini sebagai ungkapan terima kasih dariku untuk kebaikanmu waktu itu, aku berikan sedikit uang untuk bantu biaya pengobatan bapak. Dan ini kunci lapak. Kalau sudah sembuh boleh kembali berjualan lagi di sana, ya…” Nanda menyerahkan amplop dan kunci lapak.
Mata bapak itu membasah, ia mengucapkan doa pada gadis kecil yang dulu sempat ditolongnya, “Terima kasih banyak, ya Nak, semoga Tuhan membalas amal kasih anak ya.”
Memberi sesuatu kepada seseorang jangan karena ada apanya dia, tapi berikanlah apa yang ada padamu kepada siapa pun dengan apa adanya karena hidup tidak selesai hari ini.
Riverside-Zimbabwe-Afrika, 05/07/2021
Catatan:
- Nanda, Selly dan Paulus bukanlah nama sebenarnya.
- Bale-bale adalah sebutan untuk tempat jualan yang terbuat dari bamboo atau kayu.
- Lapak adalah sebutan untuk tempat yang digunakan oleh penjual untuk meletakkan barang-barang jualan.
Good job Johan.. congratulations